Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 17

Akhirnya Yuni menerima uangnya dan berjanji akan mengenbalikannya di kemudian hari. Tentu saja, seperti Selina, Yuni menganggap perkataan Yulius hanyalah omong kosong dan tidak serius menanggapinya. Orang terkaya di Denara? Betapa kayanya seseorang hingga bisa menjadi yang terkaya di Denara? Orang biasa bahkan tidak bisa membayangkannya. Setelah memberikan uangnya kepada Yuni, Yulius meninggalkan rumah dan pergi ke kebun sayur di belakang gunung. Di pintu kebun sayur, terparkir sebuah mobil mewah berukuran panjang. "Kenapa ada orang lagi?" Yulius mengernyit dan mendekat. Sepasang suami istri yang berpakaian mewah turun dari mobil, diikuti oleh dua pengawal dari belakang. "Siapa kalian? Apa yang kalian lakukan di sini? Jangan bilang kalian ingin mencuri sayuran?" Yulius bertanya dengan serius. "Hai, kami adalah orang tua Ruby. Mas, kamu orang yang menyelamatkan putri kami beberapa hari yang lalu, 'kan?" Daniel berkata sambil tersenyum. Ruby bercerita padanya bahwa penyelamatnya adalah seorang pria yang terlihat sangat muda dengan aura santai. Sementara Yulius yang berdiri di depan, jelas memenuhi ciri-ciri tersebut. "Ruby?" Yulius teringat kejadian beberapa hari yang lalu. "Kami datang untuk membalas budi. Kamu sudah menyelamatkan nyawa putri kami, ini adalah budi yang sangat besar bagi keluarga Jacinda …" kata Liliana, istri Daniel. "Sudahlah, palingan kalian hanya ingin memberiku sedikit uang sebagai balas budi. Aku nggak tertarik dengan uang, kalian pulang saja," kata Yulius. Daniel dan Liliana saling memandang. Mereka merasa bahwa kepribadian Yulius agak aneh. Biasanya orang normal mana mungkin tidak tertarik dengan uang? "Kalau begitu … apa yang kamu sukai? Selama masih dalam kemampuan Jacinda, kami akan berusahan untuk memenuhinya," kata Daniel. Keluarga Jacinda mewarisi nilai selama ratusan tahun, dan salah satu ajaran inti mereka adalah membalas budi. Hari ini, karena telah menemukan orang yang menyelamatkan Ruby, mereka harus membalas budi! "Apa yang aku sukai? Pil Inti Monster. Kalian bahkan mungkin belum pernah mendengarnya." Yulius menghela napas, lalu berbalik dan berjalan masuk ke kebun sayur. "Pil … Inti Monster?" Daniel mengernyit, sepertinya dia pernah mendengar istilah ini di suatu tempat. Di sampingnya, Liliana pun berbisik, "Aku ingat, beberapa tahun yang lalu ketika ulang tahun besar kakek, ada seorang master yang datang dari Utara dan memberikan kakek sebuah kotak hadiah. Di dalam kotak hadiah itu, sepertinya ada yang disebut inti apa, ya ..." "Kamu yakin nggak salah ingat, 'kan?!" Belum selesai Daniel berbicara, Yulius sudah berlari dua langkah ke depan Liliana dengan sangat cepat. Kecepatannya membuat dua pengawal di belakang pasangan tersebut terkejut hingga hampir mengeluarkan senjata. "Benar Pil Inti Monster? Kamu nggak salah ingat, 'kan?" Yulius bertanya dengan cemas. "Aku, aku hanya ingat kata "inti", tapi nggak tahu apakah itu yang dimaksud olehmu," jawab Liliana. "Ayo, bawa aku ke rumahmu untuk melihatnya," ujar Yulius. Daniel dan Liliana saling memandang. Yulius yang tadi tampak tidak sabar dan menyatakan tidak tertarik dengan uang, malah menjadi terburu-buru karena Pil Inti Monster yang disebut-sebut, sungguh mengejutkan. Namun, alangkah baiknya jika Yulius bersedia menerima balas budi dari keluarga Jacinda. "Oke, kami akan membawamu ke rumah kami," kata Daniel. Setelah mobil mewah melaju pergi, sosok seseorang melintas dari pohon besar di samping kebun sayur. Dia mengeluarkan ponsel dan menelepon sebuah nomor. "Nona Yuanita, target telah dibawa pergi oleh anggota keluarga Jacinda." … 40 menit kemudian, Yulius tiba di kediaman keluarga Jacinda. Mansion keluarga Jacinda berdekatan dengan pantai. Dari segi pemandangan, jauh lebih baik ketimbang mansion keluarga Tanadi, meskipun luasnya jauh lebih kecil. Namun, Yulius tidak sempat memikirkan pemandangan. Begitu turun dari mobil, dia segera meminta Daniel untuk mengeluarkan Pil Inti Monster. Lima menit kemudian, Yulius duduk di ruang tamu keluarga Jacinda dan menikmati teh yang diseduhkan oleh pelayan. Daniel turun dari lantai atas dengan membawa sebuah kotak kayu. Belum juga mendekat, Yulius sudah bisa merasakannya. Benar-benar Pil Inti Monster! Yulius merasa sedikit bersemangat, sudah hampir 10 tahun dia tidak menelan Pil Inti Monster. Daniel meletakkan kotak kayunya di depan Yulius dan langsung dibuka oleh Yulius. Benar saja, di dalamnya terdapat sebuah bola berwarna cokelat tua berukuran setengah kepalan tangan. Dari aura yang dipancarkan oleh inti ini, diketahui bahwa inti itu adalah Pil Inti Monster tingkat dua. Dilihat dari penampilannya, tampaknya inti ini sudah disimpan dalam waktu yang cukup lama. "Master itu menyuruh kita untuk menggiling inti ini menjadi bubuk dan memakannya agar dapat meningkatkan kebugaran tubuh. Hanya saja, kamu melihat inti ini agak … aneh, jadi kami nggak berani mengonsumsinya," kata Daniel. "Syukurlah kalian nggak menggilingnya, kalau nggak, hanya akan menjadi pemborosan," ujar Yulius sembari memegang inti itu. Meskipun tingkatan pil ini tidak tinggi, bagi Yulius ini adalah seperti hujan setelah kekeringan, yang tidak boleh disia-siakan. "Berikan inti ini padaku, aku anggap sudah cukup untuk membalas budi." Yulius berkata sambil memandang Daniel. "Nggak masalah, Pak Yulius. Toh, kami juga nggak akan …" Belum selesai Daniel berbicara, dia melihat Yulius langsung mengambil inti itu dan langsung menelannya. "Eh …" Daniel dan Liliana saling memandang dengan kaget. "Nyaman." Yulius menghela napas lega. Inti itu larut di dalam tubuhnya, melepas aliran besar energi spiritual yang diserap oleh titik energi. Melihat ekspresi Daniel dan istrinya yang masih terkejut, Yulius seketika teringat sesuatu yang belum dipikirkan sebelumnya. Sekarang, jumlah monster di dunia ini sudah makin sedikit, tetapi belum tentu dengan Pil Inti Monster. Apakah masih banyak Pil Inti Monster yang jatuh ke tangan keluarga seperti halnya keluarga Jacinda? Saat ini, kebanyakan orang tidak menyadari nilai dari Pil Inti Monster, jadi mengumpulkannya seharusnya tidak sulit. Jika bisa mengumpulkan lebih dari 100, itu akan sangat membantu peningkatan kultivasi Yulius. Memikirkan kemungkinan itu, Yulius menjadi sangat bersemangat. "Kepala Keluarga Jacinda, aku ingin minta bantuanmu …" … Yulius meninggalkan kediaman Jacinda dan kembali ke pinggiran kota. Saat hanya tinggal dua gang lagi untuk sampai ke rumah, Yulius melihat seorang gadis yang membawa tas ransel, berdiri diam di depan tembok. Dari siluet dan tas gadis ini, Yulius tahu bahwa gadis itu adalah Yura. Yulius melihat jam, sekarang sudah pukul 19.10. 'Bukannya Yuni bilang bahwa Yura sudah bisa pulang pukul setengah tujuh?' 'Sekarang sudah pukul 19.10, kenapa dia masih berkeliaran di sini?' Yulius mendekat dan menepuk bahu Yura. Yura terkejut hingga gemetar. Saat berbalik dan melihat Yulius, dia pun merasa lega. Namun, di bawah lampu jalan, Yulius langsung melihat bahwa ada bekas tangan berwarna merah dan sedikit bengkak di pipi kiri Yura. Sementara itu, mata Yura juga terlihat sedikit bengkak dan merah, jelas sekali baru saja menangis. "Kak Yulius, kenapa kamu bisa ada di sini?" Sepertinya takut Yulius melihat bekas di wajahnya, Yura cepat-cepat menunduk dan bertanya dengan suara pelan. "Aku baru saja selesai mengurus sesuatu. Kamu gimana? Kok baru pulang? Latihan di sekolah udah selesai daritadi, 'kan?" tanya Yulius. "Setelah selesai latihan, aku, aku pergi jalan-jalan sebentar dengan teman-teman, jadi pulangnya terlambat," jawab Yura. "Terus kenapa masih berdiri di sini? Tante Yuni pasti khawatir karena dia pikir kamu pulang pukul setengah tujuh." "Aku, aku ..." Yura gelisah memutar-mutar tangannya, tidak tahu harus berbuat apa. Yulius menepuk bahunya dan berkata, "Bilang padaku, siapa yang menamparmu?" Yura terkejut. Dia mengangkat kepalanya, matanya berair, tetapi menggeleng dan berkata, "Nggak, nggak ada yang menamparku …" "Kalau kamu bilang padaku, aku nggak akan beri tahu Tante Yuni, bahkan aku bisa menghilangkan bekas tamparan di wajahmu," kata Yulius. Yura menatap Yulius, air matanya berputar di matanya. Akhirnya, Yura tidak bisa menahan diri lagi, lalu memeluk Yulius dan menangis tersedu-sedu, melepaskan kesedihan di hatinya. Dari ucapannya yang terputus-putus, Yulius akhirnya mengerti kronologi kejadiannya. Pertunjukan yang diikuti oleh Yura melibatkan tiga tingkat kelas. Setiap tingkatan akan memilih lima siswi, dan Yura adalah salah satu yang terpilih. Sore ini adalah latihan pertama, dan di depan Yura berdiri seorang kakak senior dari tingkat tiga. Selama proses latihan, kakak senior ini berulang kali salah gerakan, membuat kemajuan latihan terhenti. Namun, kakak senior ini justru cuek dan bercanda dengan beberapa senior lainnya dengan sikap yang sangat santai. Saat itu, waktu makin larut, Yura ingin segera menyelesaikan latihan dan pulang, jadi dia mengingatkan senior itu. "Jadi, maksudmu … kalau aku menghambat waktu semua orang?" senior itu menatap Yura dengan muram. "Nggak, aku hanya ingin segera menyelesaikan latihan hari ini karena sudah cukup larut …" Yura buru-buru menjelaskan. "Kalau ingin cepat selesai, ya udah, pergi saja! Kamu nggak usah datang latihan lagi!" Senior itu berkata sambil menatap Yura dengan marah. Yura sedikit takut, tetapi dia menggigit bibirnya dan berkata, "Aku, aku nggak bermaksud begitu. Aku hanya berharap Kakak bisa lebih serius dalam latihan …" Belum selesai berbicara, Yura sudah ditampar oleh senior itu hingga terjatuh ke lantai. "Cepat pergi dari sini! Jangan biarkan aku melihatmu lagi!" teriak senior itu dengan mengacungkan jari telunjuknya ke arah Yura. "Mengajariku, ha? Beberapa hari ini suasana hatiku sedang buruk, sedangkan kamu sebagai adik kelas satu berani mengajariku? Sungguh terlalu!" bentak senior itu. Lalu, senior lain di sebelahnya langsung menarik senior itu dan meminta Yura untuk pergi. "Apa kamu pernah menyinggung kakak senior itu sebelumnya?" tanya Yulius. Yura menggeleng dan menjawab, "Dia adalah siswi tingkat tiga kelas dua, aku belum pernah bertemu dengannya …" Tingkat tiga kelas dua? Bukannya itu kelasnya Yulius? "Apa kamu tahu namanya?" tanya Yulius sembari mengernyit. "Aku, sepertinya mendengar beberapa senior memanggilnya Yasmin." Yura berusaha mengingat. "Yasmin? Apa nama belakangnya?" Yulius terus bertanya. Yura berusaha untuk mengingatnya dan teringat saat guru pembimbing memanggil namanya. "Kalau nggak salah, nama belakangnya adalah Jazali …" jawab Yura. Yasmin Jazali?! Ternyata dia! Tatapan Yulius seketika berubah dingin.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.