Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 16

Tatapan Yulius begitu kosong, tetapi terdapat rasa dingin yang tak berujung di matanya. Sulit untuk membayangkan bahwa inilah sorot mata seorang pemuda dengan usia di bawah 20 tahun. Yulius dengan cepat memalingkan wajahnya. Wafa gemetar, memohon ampun berulang kali hingga celananya basah karena mengompol. Yulius tanpa ekspresi pun menendang lutut kanan Wafa. Krak! Terdengar suara retakan tulang yang mengerikan. Wafa memeluk lututnya dan berteriak dengan keras. "Kalau masih berani melakukannya lagi, aku akan patahkan lehermu," kata Yulius dengan dingin. Setelah mengatakannya, Yulius berbalik dan melihat Selina, lalu berkata, "Ayo pergi, rumahku tidak jauh dari sini." Adapun ekspresi Sandi yang terkejut, Yulius mengabaikannya. Dia sudah tahu bahwa Sandi mengikuti mereka dengan mobil dari belakang. Selina menjawab dengan suara lirih. Dia mendadak teringat sesuatu, lalu menoleh ke arah Sandi dan bertanya, "Paman Sandi, bagaimana kamu bisa di sini?" "Aku khawatir tentang keselamatanmu, Nona. Jadi, aku mengikutimu," jawab Sandi. "Oh … kalau gitu, kamu ikuti kami saja dengan mobil. Setelah aku mengambil obatnya, aku akan pulang bersamamu," kata Selina, lalu berlari kecil untuk menyusul Yulius. Mata Sandi dipenuhi dengan rasa terkejut saat melihat lebih dari 20 preman tergeletak di tanah. Sebagai seorang petarung bawaan tingkat delapan, dia sudah dianggap sebagai seorang ahli. Di tengah serangan lebih dari 20 preman bersenjata, Sandi yakin bisa menghadapinya, tetapi tidak mungkin melakukannya tanpa luka sedikit pun. Namun, Yulius berhasil melakukannya dan terlihat sangat santai. Saat Sandi menyadari adanya masalah, dia turun dari mobil. Hanya dalam waktu dua menit yang singkat ini, Yulius berhasil mengalahkan lebih dari 20 preman. Bukannya ini sangat hebat? Apalagi dengan tatapan Yulius yang tidak sengaja dia tunjukkan sebelumnya … "Anak itu, bukan orang biasa!" … Selina mengejar Yulius, melihat ke lengan kanan Yulius dan bertanya dengan suara pelan, "Yulius, lenganmu baik-baik saja, 'kan? Apa kita perlu ke rumah sakit?" "Aku baik-baik saja," jawab Yulius. "Bagaimana mungkin baik-baik saja?!" seru Selina dengan sedikit cemas. Tadi Yulius melindunginya dari serangan itu, bahkan tongkat besinya sampai patah. Bagaimana mungkin lengan Yulius baik-baik saja? "Kalau aku bilang baik-baik saja, ya baik-baik saja," jawab Yulius dengan dingin. Selina masih ingin bicara, tetapi dia takut membuat Yulius marah dan tidak membawanya pergi mengambil obat, jadi akhirnya dia memilih untuk diam. Mengikuti Yulius dari belakang, mata Selina berbinar saat dia memperhatikan punggung Yulius dengan penuh perhatian. Mengingat keberanian Yulius yang berani melawan banyak orang sendirian, jantungnya berdebar lebih cepat. 'Dia seumuran denganku, bagaimana bisa begitu hebat?' pikir Selina sembari menggigit bibirnya. Tiga menit kemudian, Yulius membawa Selina sampai di depan rumah. "Jadi, kamu tinggal di sini …" Selina mendongak dan melihat bangunan kecil yang reyot dengan halaman. "Aku tinggal di lantai dua," kata Yulius sambil membawa Selina naik ke atas. Pintu rumah pun terbuka. Yulius langsung menuju ke ruang penyimpanan. Sementara itu, Selina yang penasaran pun melihat ke sekeliling. Sejujurnya, rumah Yulius sangat sederhana. Ruang tamunya kosong tanpa perabotan, bahkan tidak ada TV. Yulius biasanya tinggal di sini, lalu hiburan apa yang dia andalkan? "Sini." Saat Selina sedang bingung, Yulius memanggilnya. Selina segera menghampirinya. Begitu sampai di ruang penyimpanan, dia mencium aroma obat yang menyegarkan. Lalu, Selina melihat tumpukan tanaman herbal di dalam ruang penyimpanan. "Rumput Sembilan Bintang …" Yulius seperti sedang mencari barang berharga di tumpukan tanaman herbal itu. Sebenarnya, setiap tanaman dalam tumpukan "sampah" itu adalah harta yang sangat berharga. Satu menit kemudian, Yulius menyerahkan sebatang Rumput Sembilan Bintang dan sebatang Bunga Bulan Sabit kepada Selina. "Jemur dan haluskan jadi bubuk, lalu rebus obat sesuai dengan dosis yang ada di resepku," kata Yulius. "Oke, aku ngerti!" Selina memegang dua tanaman herbal itu, wajahnya tampak bersemangat dan memerah. Selama ada dua tanaman herbal ini, umur kakeknya bisa diperpanjang 10 tahun! "Terima kasih, Yulius," kata Selina dengan tulus. Yulius tidak hanya menyelamatkan nyawa Chairil, tetapi juga melindunginya dari tongkat besi dengan menggunakan lengannya. "Sebenarnya kamu nggak sedingin penampilanmu, kamu benar-benar orang yang baik." Tatapan Selina berbinar saat menatap Yulius. Tatapan itu membuat Yulius mendadak teringat pandangan seorang wanita yang menatapnya dengan cara yang sama bertahun-tahun yang lalu. Wanita itu juga suka menatapnya seperti itu. Yulius sangat tidak suka dengan kenangan yang mendadak muncul ini, dia segera menggelengkan kepala dan berkata," Cepat pergi, aku nggak membiarkanmu makan di sini." Ucapannya benar-benar merusak suasana. "Siapa yang mau makan di rumahmu! Huh!" Selina mengentakkan kakinya dan berbalik hendak pergi. Namun, setelah berjalan dua langkah, Selina menoleh dan bertanya, "Yulius, bukannya ayahku memberimu cek? Kenapa kamu masih tinggal di tempat seperti ini?" "Apa kamu tahu di mana mansion paling mewah dan terbesar di Denara sekarang?" Yulius balik bertanya. Selina menggeleng. "Di Zendara, nomor 101. Dari segi luasnya, mansion itu puluhan kali lebih besar daripada rumahmu. Di dalamnya ada mata air pegunungan dan taman, pokoknya segala sesuatu yang bisa kamu bayangkan, semuanya ada di sana … tapi, sudah lebih dari 100 tahun mansion itu nggak ditinggali," Yulius menjelaskan. "Jadi, kamu bermaksud untuk membeli mansion itu? Itu mungkin akan sangat mahal …" kata Selina sembari membeliak. "Nggak. Maksudku, aku pemilik mansion itu dan aku sudah lama nggak tinggal di sana," jawab Yulius sambil tersenyum. … Setelah Selina pergi, Yulius berpikir untuk menyiram kebun sayurnya. Saat hendak keluar, Yulius mendengar langkah kaki dari bawah. Seketika, dia teringat dengan isak tangis Yuni yang tertekan tadi malam. Berdasarkan pengalamannya selama ini, Yulius tahu bahwa di dalam masyarakat, 95 persen orang biasanya mengalami kesulitan karena masalah uang. Artinya, uang dapat menyelesaikan sebagian masalah. Bagi Yulius, uang adalah hal yang paling mudah didapatkan di dunia ini. Kemudian, Yulius kembali ke kamar dan mengambil setumpuk uang tunai sekitar 200 juta dari laci meja. Yulius sudah lupa bagaimana dia mendapatkan uang ini. Yulius memasukkan setumpuk uang itu ke dalam saku bajunya, lalu dia turun ke bawah dan mengetuk pintu rumah Yuni. "Sebentar!" Yuni keluar dari kamar mandi sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk. Tadi dia sepertinya sedang keramas. "Oh, Yulius, ya." Yuni membuka pintu sambil tersenyum, kemudian mempersilakan Yulius untuk masuk. "Bukannya peringatan ulang tahun SMA Jayandra sudah dekat? Yura perlu latihan untuk pertunjukannya, jadi dia baru bisa pulang pukul setengah tujuh. Aku belum masak, apa kamu lapar? Aku bisa masak mi untukmu sekarang," kata Yuni, dia mengira Yulius datang untuk numpang makan. "Tante Yuni, aku nggak lapar. Aku datang hari ini untuk bertanya apakah belakangan ini kamu sedang mengalami kesulitan?" Yulius langsung bertanya. "Kesulitan?" Ekspresi Yuni sedikit berubah, lalu dia menggeleng dan tersenyum. "Yulius, aku nggak mengalami kesulitan apa pun." "Aku nggak bisa tidur tadi malam, sepertinya aku mendengarmu menangis," ujar Yulius. "Yulius, kamu, kamu salah dengar," kata Yuni sambil menggigit bibirnya. "Aku nggak mungkin salah dengar. Tante Yuni, sekarang Yura nggak ada di rumah, jadi kamu nggak usah menyembunyikannya," kata Yulius. Yuni menatap Yulius dan terdiam sesaat. Kemudian matanya memerah dan berkata, "Beberapa waktu lalu, mantan suamiku sering datang ke restoran tempatku bekerja untuk meminta uang dan mengacau. Akhirnya, aku pun dipecat …" "Minggu lalu, aku menerima telepon bahwa ayahku yang tinggal di kampung, jatuh dan cedera punggung ketika bertani. Dia butuh operasi yang biayanya 100 juta …" "Dalam beberapa tahun terakhir, aku bekerja di restoran, uang yang aku dapatkan hanya cukup untuk membayar uang sekolah dan biaya buku Yura, juga untuk memenuhi biaya kehidupan sehari-hari. Aku sama sekali nggak punya tabungan, tapi cedera ayahku perlu operasi secepat mungkin. Kalau ditunda lebih lama, kondisi ayahku akan menjadi vegetatif." "Tapi sekarang aku nggak punya uang untuk biaya operasinya dan juga kehilangan pekerjaan. Aku nggak tahu bagaimana bisa mengumpulkan uang sekolah Yura di semester depan. Sementara mantan suamiku, aku nggak tahu berapa banyak utang yang dia miliki di luar sana dan berapa banyak orang yang akan datang mencarinya ..." Belum selesai berbicara, Yuni pun menangis dan tidak bisa melanjutkan. Dunia sangat kejam padanya, dan dia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Dia merasa tertekan beberapa hari ini, bahkan pernah ingin bunuh diri. Namun, di depan putrinya, Yuni tetap berpura-pura tidak ada yang terjadi karena tidak ingin membuat Yura sedih. Kini, di hadapan Yulius, Yuni merasa lega setelah mengungkapkan semua kekhawatiran dalam hatinya. Yuni menyeka air matanya, kemudian menatap Yulius dan tersenyum paksa. "Maaf, Yulius, aku membuatmu melihat ini." Yulius menggeleng. Dia bangkit dari sofa, lalu mengeluarkan setumpuk uang dari sakunya dan meletakkannya di atas meja. "Tante Yuni, ini ada sekitar 200 juta, ambil saja untuk keadaan darurat," kata Yulius. Melihat tumpukan uang itu, ekspresi Yuni berubah. "Yulius, apa yang sedang kamu lakukan? Ini, uang ini, kamu dapat dari mana …" Di mata Yuni, Yulius adalah orang yang lebih malang. Dia baru berusia belasan tahun, tidak memiliki keluarga ataupun teman. Seringkali sendirian di rumah dan hanya membeli beberapa sayuran untuk dimakan … Oleh sebab itu, Yuni sering mengundang Yulius untuk makan di rumah. Namun sekarang, Yulius tiba-tiba mengeluarkan 200 juta, itu sangat tidak masuk akal. Yulius adalah seorang pelajar dan tidak bekerja, dari mana dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Yang terpikirkan oleh Yuni pertama kali adalah bahwa Yulius mungkin terlibat dalam hal-hal ilegal. "Tenang saja, Tante Yuni. Uang ini … diberikan oleh temanku," Yulius beralasan. "Teman? Kamu punya teman?! Yulius, jujur padaku, uang ini dari mana? Apa kamu terlibat dalam sesuatu yang …?" Yuni bertanya dengan sedikit marah. "Beneran kok, Tante Yuni. Aku nggak mencuri uang ini. Aku berani bersumpah. Kalau aku mencuri uang ini, biarlah aku …" Yulius agak putus asa. Di zaman sekarang, memberi kepada orang lain masih harus bersumpah, benar-benar sulit menjadi orang baik. "Jangan bersumpah seperti itu! Aku percaya padamu!" tukas Yuni. Yulius menutup mulutnya. "Tapi aku nggak bisa terima uang ini. Nggak peduli dari mana uang ini berasal, ini adalah uangmu. Hidupmu sudah cukup sulit, bagaimana aku bisa meminjam uangmu? Yulius, ambil kembali uangnya, biar Tante cari cara lain …" kata Yuni. Yulius terdiam sejenak dan berkata, "Tante Yuni, aku akan jujur padamu, tapi kamu mungkin nggak akan percaya." "Hm?" Yuni memandang Yulius dengan bingung. "Sebenarnya, aku adalah orang terkaya di Denara," kata Yulius.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.