Bab 15
"Kamu, kamu ngomong apa sih?! Siapa yang tertarik denganmu …" Wajah Selina memerah dan menarik kepalanya kembali.
Yulius meliriknya dan berkata, "Kemarin kamu bilang ada dua jenis bahan obat yang nggak bisa dibeli, apa saja itu?"
"Ah? Oh! Iya, dua jenis itu, aku simpan di memo ponselku." Selina merasa gugup karena dua kalimat dari Yulius tadi sehingga dia jadi lambat merespons.
Selina mengeluarkan ponselnya, membuka memo dan meletakkannya di depan Yulius.
"Bunga Bulan Sabit dan Rumput Sembilan Bintang. Kami sudah bertanya ke puluhan toko obat, mereka semua bilang belum pernah mendengar tentang dua bahan obat ini," kata Selina dengan suara pelan sambil menatap Yulius.
Yulius berpikir sejenak, lalu berkata, "Mungkin di rumah ada dua bahan obat itu, pulang sekolah nanti, kamu ikut aku untuk mengambilnya."
"Benarkah? Bagus sekali!" seru Selina dengan semangat, bola mata hitamnya tampak berbinar.
"Tapi aku punya permintaan. Mulai sekarang sampai pulang sekolah nanti, jangan pernah melihatku lagi," ujar Yulius.
Permintaan apa ini!
"Ya udah, lagian siapa yang mau melihatmu!" Selina mendengus dan berpaling.
Yulius bersandar di meja, menutup matanya untuk beristirahat.
Setelah pulang sekolah, Selina mengikuti Yulius keluar dari gerbang sekolah.
"Rumahmu di mana? Biar paman yang mengantarkan kita," kata Selina.
Yulius menggeleng dan berkata, "Aku lebih suka jalan kaki pulang."
"Oke, aku akan bilang ke paman dulu." Selina berlari menuju mobil Mercedes yang berhenti di depan.
Mendengar Selina akan pergi ke rumah Yulius dan tidak butuh dampingannya, Sandi merasa waspada.
Meskipun kemampuan media Yulius telah mendapatkan kepercayaan dari Nanda, tetapi Sandi tetap waspada terkait masalah keselamatan Selina.
Lagi pula, tindakan Yulius juga sangat aneh.
Jelas-jelas bisa naik mobil, tetapi dia malah ingin berjalan kaki.
Apakah dia punya motif tersembunyi?
"Nona, aku harus izin dengan kepala keluarga dulu …" kata Sandi.
"Paman, hal sekecil ini buat apa beri tahu ayah? Nanti aku akan bawa bahan obat pulang dan memberinya kejutan!" Selina menghentikannya.
Setelah selesai berbicara, Selina khawatir Yulius akan menunggu terlalu lama, lalu berkata, "Paman, sudah ya, aku pergi dulu."
"Nona …" Sandi masih ingin menghentikan Selina, tetapi Selina sudah berlari jauh.
Sandi berpikir sejenak, kemudian memutuskan untuk mengikuti Yulius dan Selina dengan mobil. Jika Yulius berniat jahat, Sandi masih punya kesempatan untuk menyelamatkannya.
Pada saat ini, Damian keluar dari gerbang sekolah dan melihat Selina berlari menuju Yulius, yang kemudian mengikuti Yulius pergi.
Melihat adegan ini, ekspresi Damian pun berubah.
Dia jelas-jelas sudah memperingatkan Yulius untuk menjauhi Selina.
Namun, Yulius tidak hanya mengabaikan peringatannya, tetapi juga mempermalukannya pagi ini.
Sepanjang hari ini, sekolah sedang heboh dengan kejadian dia dibantai oleh Yulius di lapangan basket.
"Sial! Sialan! Yulius, aku pasti akan balas dendam!" Damian menatap punggung Yulius dengan penuh kebencian.
"Damian!" Seorang gadis cantik terlihat gembira saat melihat Damian dan mendekatinya.
Gadis itu adalah teman baiknya Selina, Elvina.
Damien menoleh dan melihat Elvina. Ekspresinya agak melunak, lalu bertanya, "Ada apa?"
"Nggak ada, hanya menyapa teman kelas, apa salahnya?" Elvina tersenyum dan matanya berbinar saat menatap Damian.
Damian sudah berpengalaman dalam urusan cinta, dia sudah tahu bahwa Elvina menyukainya.
Namun, saat melihat Elvina, Damian seketika teringat hubungan Elvina dan Selina tampaknya sangat baik.
Sebuah pikiran pun muncul di dalam benak Damian.
"Cuaca hari ini cukup bagus, mau pergi makan bersama?" tanya Damian.
Elvina membelalak, menunjuk dirinya sendiri dan bertanya, "Apa kamu berbicara denganku?"
"Ho oh." Damian mengangguk sembari tersenyum.
"Tentu saja aku mau!"Elvina hampir melompat saking senangnya.
Tuan Muda Damian mengajaknya makan duluan!
Ini adalah impian banyak gadis!
"Oke, tunggu sebentar, aku akan minta seseorang untuk membawa mobilku kemari," kata Damian sambil mengeluarkan ponselnya.
"Oke!" Elvina mengangguk dengan semangat, terpaku di tempatnya dengan tatapan yang mengagumi dan terpesona melihat Damian.
…
Yulius dan Selina sedang berjalan, dan Selina menjaga jarak sekitar satu meter di belakangnya.
Sepanjang perjalanan, suasananya sedikit aneh, mereka tidak berbicara sama sekali.
Setelah melewati empat lampu lalu lintas, Yulius membawa Selina masuk ke pinggiran kota.
Seumur hidupnya, Selina belum pernah mendatangi tempat seperti ini.
"Rumahmu masih jauh, ya?" tanya Selina.
"Nggak jauh, hanya beberapa menit lagi," jawab Yulius.
Saat Yulius dan Selina belok ke jalan kecil, sebuah mobil van berhenti di samping mereka.
Pintu mobil terbuka, beberapa preman bertato dengan lengan terbuka melompat keluar. Mereka memegang tongkat besi dan tujuan mereka sangat jelas. Begitu keluar dari mobil, mereka langsung mengayunkan tongkat besinya ke arah Yulius.
Yulius dengan mudah menghindarinya.
Pada saat yang sama, tiga mobil van lain masuk ke jalan kecil ini, dan belasan preman yang membawa tongkat besi juga turun dari mobil.
Mereka tanpa ragu langsung mengayunkan tongkat besi ke arah Yulius.
Seorang pria paruh baya turun dari sebuah mobil van, menatap dingin ke arah Yulius yang berada di tengah kerumunan.
Pria paruh baya ini adalah Wafa.
"Dean, Wadi, hari ini aku sendiri yang akan membalaskan dendam kalian! Aku akan mematahkan tangan dan kaki bocah ini, membuatnya bersujud dan meminta maaf pada kalian!"
Bang! Bang! Bang!
Terdengar suara benturan dan jeritan yang mengerikan di tengah kerumunan.
Di bawah serangan tongkat yang kacau, Yulius tetap tenang dan santai menghindari setiap tongkat dengan mudah, sambil menendang dan memukul para preman yang bergegas ke arahnya.
Selina yang berdiri di belakang Yulius, sudah merasa ketakutan.
Dia tumbuh besar di bawah perlindungan keluarga Tanadi, mana pernah melihat adegan dengan senjata sungguhan seperti ini?
Seorang preman dengan mata memerah dan tidak peduli lagi siapa targetnya, dia mengangkat tongkat besi dan mengayunkannya ke arah Selina.
Selina membelalak, matanya dipenuhi dengan ketakutan, bahkan dia tidak punya waktu untuk menghindar.
Klang!
Yulius menangkis tongkat itu dengan tangan kanannya dan mengeluarkan suara dentuman logam yang keras.
Tongkat besinya langsung patah!
Preman yang memegang setengah tongkat besi ini mulai panik.
Saat ini, dia hanya ingin kabur dan pulang.
Hanya saja, Yulius tidak memberinya kesempatan dan menendangnya.
Sret!
Preman ini memuntahkan seteguk darah, terlempar sejauh lebih dari 10 meter dan jatuh ke tanah.
Wafa yang semula percaya diri, mulai panik saat melihat bawahannya satu per satu dipukuli.
Dia tahu Yulius memiliki kemampuan yang luar biasa, tetapi tidak disangka bahwa Yulius begitu kuat.
Wafa membawa 24 orang ke sini hari ini, dan sekarang sudah belasan dari mereka yang tergeletak di tanah.
"Ini, ini …" Wafa merasa kedua kakinya lemas, kemudian dia bergegas kembali ke dalam mobil van dan pergi dengan mengemudikan mobilnya.
Yulius meliriknya sekilas, meraih seorang preman yang ada di depannya dan melemparkannya ke arah mobil van.
Krak!
Preman itu jatuh setelah menabrak mobil van dan memecahkan kaca depan.
Wafa sangat ketakutan hingga tubuhnya gemetar. Dia menginjak pedal gas, mencoba untuk menyalakan mobilnya.
Yulius melemparkan seorang preman lagi langsung ke arah kursi pengemudi.
"Ah!"
Sebuah wajah berlumuran darah muncul di depan Wafa, membuat Wafa kaget hingga berteriak.
Yulius berjalan ke samping mobil, menendang pintu mobil hingga terbuka, dan menarik Wafa keluar dari dalam mobil.
Layaknya anak kecil yang lemah, Wafa terangkat di tangan Yulius.
"Jadi, kamu Wafa?" tanya Yulius.
Merasakan tatapan dingin Yulius, sekujur tubuh Wafa gemetaran.
"Aku, aku nggak akan melakukannya lagi, nggak berani lagi, biarkan aku tetap hidup." Wafa berteriak, suaranya penuh dengan tangisan.
Yulius melempar Wafa ke tanah.
Wafa segera bangkit, berlutut dan meminta ampun kepada Yulius sembari terus menangis. "Tolong biarkan aku tetap hidup, kamu adalah orang yang baik …"
"Ada apa ini! Nona, apa kamu baik-baik saja!" Sandi yang mengikuti mereka, akhirnya datang terlambat.
"Paman, aku baik-baik saja, pergi lihatlah Yulius," kata Selina dengan matanya yang sedikit merah.
Meskipun tidak terluka, dia sangat ketakutan.
Sandi sangat terkejut saat melihat lebih dari 20 preman tergeletak di tanah dengan wajah berlumuran darah.
Di mana Yulius?
Sandi menoleh dan melihat tidak jauh di depan, Yulius sedang menginjak wajah Wafa.
Seolah merasakan tatapan Sandi, Yulius menoleh dan langsung bertatapan dengan Sandi.
Sandi merasa jantungnya berdegap kencang, merasa sesak di dadanya.
Sepanjang hidupnya, dia belum pernah melihat tatapan yang begitu menakutkan!