Bab 8
Alice tidak bicara. Dia terus makan dengan santai.
Nenek Dela tidak ada nafsu makan. Dia hanya makan beberapa suap, lalu meletakkan alat makannya.
Nenek Dela melihat cara makan Alice seperti hantu kelaparan yang makan dengan lahap hingga tidak menyisakan sedikit sayur pun, lalu berkata, "Awas mati kekenyangan."
"Nenek, Alice nggak pernah makan makanan enak seperti ini di pegunungan. Ini kali pertama, sedikit susah baginya untuk kendalikan diri agar nggak makan terlalu banyak. Nanti dia akan pergi jalan santai setelah selesai makan," ujar Silvi.
Perkataannya seolah-olah sedang membantu Alice.
Namun, jika diperhatikan dengan saksama, sebenarnya dia sedang mengatakan Alice keluar dari desa pegunungan dan akan mempermalukan mereka.
Perasaan baik yang ada di hati Carlo karena penampilan bagus Alice kini sedikit berkurang. Dia memandang Alice dengan rasa jijik yang tak tertutupi.
"Masalah sekolah ditentukan begitu saja," ujar Carlo sambil bangkit dan bersiap pergi ke ruang kerja.
Alice makan habis nasinya dan meletakkan alat makannya.
Dia dengan anggun mengelap mulutnya dengan serbet sambil berkata, "Aku nggak punya kebiasaan membuang makanan."
Langkah Carlo terhenti sejenak.
Perusahaan keluarga Amarta dimulai oleh orang kaya, tetapi operasinya tidak pernah berjalan dengan baik.
Perusahaan selalu mengalami kerugian dan akhirnya berhasil mendapatkan keuntungan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, persaingan antar perusahaan semakin ketat dan keuntungan semakin tipis.
Dalam beberapa tahun terakhir, jika bukan karena adanya dukungan kerjasama yang diberikan keluarga Gunawan, mereka tidak akan dapat bertahan pada kehidupan nyaman seperti sekarang ini.
Mendapatkan uang bukanlah hal yang mudah. Meskipun Carlo tidak pernah meminta keluarganya untuk hemat, tetapi dia sering mengatakan agar tidak membuang-buang.
Sekarang justru terlihat mereka membuang-buang makanan.
"Kebiasaanmu ini sangat bagus," ujar Silvi sambil tersenyum.
Namun, hatinya berkata, "Berpura-puralah! Sampai kapan kamu bisa terus berpura-pura."
Alice mengabaikan ucapannya dan bangkit.
"Aku akan pergi ke Akademi Veritas. Jika kalian nggak bisa mengaturnya, kalian nggak perlu mengaturnya untukku," ujar Alice sambil berjalan ke kamar tamu.
"Apakah kamu nggak ngerti bahasa manusia?!" ucap Carlo marah.
"Ayah, jangan marah. Mungkin Alice hanya ingin satu sekolah denganku saja," ujar Silvi menenangkannya.
"Dia pikir dia hebat? Bisa pergi ke Akademi Veritas sesuka hatinya? Dia kira dia bisa lulus dari ujian masuk Akademi Veritas dengan prestasinya di desa pegunungan itu? Bukankah dia berniat mempermalukan keluarga Amarta?" ujar Carlo dengan marah.
"Tapi, jika Alice nggak mencobanya, bagaimana kita tahu dia bisa atau nggak?" ucap Silvi dengan suara lembut, seolah-olah sedang membantu Alice.
"Benar kata Silvi, jika dia nggak mencobanya, dia nggak akan tahu seberapa buruk dirinya," ujar Nenek Dela sambil mengangguk setuju.
"Pergilah ke Akademi Veritas jika dia mau. Bagi orang luar, meskipun dia diadopsi, setidaknya kita sudah memperlakukannya sama seperti yang lain, sudah mengikuti semua kemauan dia. Namun, bisa masuk Akademi Veritas atau nggak, itu tergantung dirinya sendiri," ujar Silvi.
Setelah mendengar perkataan itu, Carlo tiba-tiba merasa masuk akal.
Saat itu, jika Alice tidak lulus ke Akademi Veritas dan semua orang mengetahuinya, keluarga Amarta bahkan bisa mengatakan bahwa mereka tidak keberatan Alice berasal dari desa pegunungan. Mereka juga menyekolahkannya ke sekolah terbaik sesuai permintaannya, tetapi kemampuannya tidak cukup, mereka terpaksa menyekolahkannya di Sekolah Menengah No.1 Kota.
"Silvi emang anak yang bijak dan perhatian. Jalin hubungan yang baik dengan keluarga Gunawan. Ketika kamu menikah nanti, Ayah akan memberikanmu mahar yang berharga, membuat pernikahanmu begitu megah," puji Carlo sambil menepuk bahu Silvi.
"Terima kasih, Ayah," ucap Silvi dengan manis.
Silvi tertawa dingin sambil melihat ke pintu kamar Alice.
Apa gunanya anak kandung? Aku adalah putri asli keluarga Amarta!
Alice kembali ke kamar tamu. Membuka WhatsApp dan mencari "Chris menjengkelkan."
Chris Maven. Kepala sekolah dari Akademi Veritas. Dia memberi nama Chris menjengkelkan karena menurut Alice dia sangat menjengkelkan.
Saat diklik, di atas halaman percakapan di belakang nama Chris menjengkelkan terdapat tanda jangan mengganggu.
Riwayat pesan kedua orang itu digulir ke atas dan muncul pesan dua tahun yang lalu.
Chris: "Alice, sumber daya pendidikan di pegunungan terbatas. Apakah kamu akan mempertimbangkan untuk pindah sekolah ke Akademi Veritas?"
Alice: "Nggak."
Chris: "Bisa memberi tahu alasannya? Apakah sumber daya pendidikan di Akademi Veritas kurang bagus? Atau? Kasihan/gambar."
Alice: "Nggak ada alasan. Malas mencari alasan."
Chris: "Sedih/gambar."
Tiga bulan kemdian.
Chris: "Alice, sebentar lagi di bulan September yang indah ini adalah musim masuk sekolah. Apakah kamu akan mempertimbangkan pindah sekolah ke Akademi Veritas?"
Chris: "Jika nggak dipertimbangkan, aku akan tanya lagi besok hari."
Hari kedua.
Chris: "Bulan September yang indah ini adalah musim masuk sekolah, apakah kamu sungguh nggak mempertimbangkan Akademi Veritas?"
Chris: "Jika nggak dipertimbangkan, aku akan kembali lagi dua hari kedepan."
Pernyataan undangan yang serupa terus berlanjut selama dua tahun.
Dia menggerakkan jari-jarinya yang putih dan memberikan balasan satu kata kepadanya:"Baik."
Pesan baru saja terkirim dan Chris segera membalasnya.
Chris: "Luar biasa! Selama dua tahun aku menanti, akhirnya kamu setuju. Pada hari pertama sekolah, aku akan mengirim mobil untuk menjemputmu!"
Chris: "Tidak, tidak, tidak. Aku sendiri yang akan menjemputmu!!"