Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 6

"Ini bukan masalah besar. Gunakan es batu untuk mengompresnya sebentar. Tuan Muda Kecil sedang minum obat rinitis, jadi sementara nggak kuresepkan obat … " ucap dokter setelah melakukan pemeriksaan. Dia mengernyitkan alisnya saat melihat Nenek Dela memegang telur di tangannya. "Saat baru terantuk, jangan pernah gunakan kompres panas. Ini akan mempercepat pembengkakan pembuluh darah dan menyebabkan lukanya makin parah. Harus gunakan kompres dingin. Setelah 24 jam, barulah boleh menggunakan kompres panas dengan pijatan ringan untuk meredakan pembengkakan dan memar. Ingat, harus setelah 24 jam," jelas dokter. Dokter yang sengaja menekankan kata kompres dingin membuat Nenek Dela merasa dipermalukan. Nenek Dela pun menatap kejam ke arah Alice dengan mata keruhnya. Seorang gadis dari dalam pegunungan seperti Alice bagaimana mungkin mengerti ilmu kedokteran? "Ini pasti hanya kebetulan!" batin Nenek Dela. Dia menyerahkan dengan keras telur di tangannya kepada pembantu dan berkata dengan dingin, "Cepat ambilkan es batu." Nenek Dela bersikap seolah-olah orang lain tidak akan canggung selama dirinya tidak merasa begitu. Setelah merasa terselamatkan, Eden memelototi Alice dengan mata berkaca-kaca. Pandangan mata yang penuh kekesalan itu seolah-olah mengatakan, jangan berpikir bahwa kamu telah membantuku. Jika bukan karenamu, apakah aku akan menderita seperti ini? Alice hanya diam. Setelah dokter keluarga pergi, Amel menggunakan es batu untuk mengompres kening putranya. Dia bertanya kepada Alice dengan suara pelan, "Alice, bagaimana kamu tahu kalau perlu dikompres dingin?" "Jalanan di gunung terjal. Saat kecil, aku sering jatuh dan terbentur. Nenek selalu menanganinya seperti itu untukku," jawab Alice dengan pandangan tertunduk. Suaranya kecil, tetapi semua orang di ruangan itu bisa mendengarnya. Awalnya, mereka masih mengira Alice mengerti ilmu kedokteran. Ternyata dia hanya tinggal di dalam pegunungan dan tidak mampu berobat ke dokter sehingga mencari pengobatan tradisional sendiri. "Kamu sudah menderita, Alice," ujar Amel sambil menggandeng tangan Alice. Begitu membayangkan putrinya yang tidak mampu berobat ke dokter dan hanya bisa menggunakan pengobatan tradisional setiap dia terluka dahulu, Amel pun merasa sangat sedih. Bulu mata Alice yang tebal dan panjang menutupi pandangannya dan dia tidak berbicara. Nenek Dela mencibir, "Jadi, demi memamerkan pengobatan tradisional yang kamu bawa dari dalam pegunungan, kamu mendorong adik kandungmu sendiri?" "Aku nggak mendorongnya," ujar Alice dengan tenang. "Nggak mendorong? Kalau kamu nggak mendorongnya, Eden bisa terantuk sampai seperti ini? Kamu menganggap aku atau Eden yang bodoh?" balas Nenek Dela tidak terima. Alice merasa tidak bisa berkata-kata. Amel membela dengan pelan dan berkata, "Ibu, Alice benaran nggak mendorong Eden. Eden sendiri yang nggak sengaja terjatuh dan terantuk ujung ranjang." Nenek Dela mengalihkan pandangannya dan mengejek, "Alice terus, Alice terus. Dia adalah anak kandungmu, apa Eden bukan anak kandungmu?" Amel mengerutkan alisnya yang melengkung dan berkata, "Bukan, Bu. Kita harus berbicara tentang fakta." "Bukan apanya? Kenyataannya adalah Eden terluka dan dia nggak apa-apa. Jika kepala Eden rusak karena hal ini, apa dia bisa bertanggung jawab?" sela Nenek Dela dengan tegas. Nenek Dela melanjutkan, "Kemudian, kamar itu memang mau diberikan kepada Eden sebagai ruang belajar. Kamu mengubahnya menjadi kamar tidur tanpa izin, kelak di mana Eden mengerjakan tugasnya?" "Segera kembalikan kamar itu! Eden akan segera masuk kelas satu SD. Dia juga akan menjadi genius seperti Kaden. Setidaknya, dia bisa masuk sepuluh besar di angkatannya. Dia harus punya ruang belajar!" Kaden, Tuan Muda Pertama keluarga Amarta, adalah seorang genius sejak kecil. Pada usia dua puluh tahun, dia sudah menyelesaikan mata kuliahnya dan memulai bisnisnya sendiri di luar negeri. Nenek Dela paling membanggakan cucu pertamanya ini, tetapi Silvi juga bagus. Meskipun Silvi adalah putri palsu, Nenek Dela yang menjaganya hingga tumbuh besar. Silvi orangnya penurut, prestasi belajarnya juga bagus. Yang paling penting, dia berhasil memikat Ricky dan keduanya telah bertunangan. Apa gunanya kalau Alice adalah putri kandung? Salah satu keunggulan dari Silvi sudah mampu mengalahkan gadis dari pedalaman gunung ini. "Kalau begitu, di mana Alice akan tinggal?" tanya Amel yang terlihat kesulitan. "Kita sudah merugikan Alice secara reputasi, nggak bisa merugikan dia juga secara materi." "Bagaimana kita merugikannya?" tanya Nenek dela yang merasa konyol. "Dua kamar tamu di lantai satu, mana yang nggak lebih baik daripada rumah tanahnya di pegunungan? Sudah bagus dia bisa tinggal di sini, apa lagi yang mau dipilih!" Amel membuka mulutnya, tetapi terdiam dan tidak bisa berkata-kata. Mertuanya selalu mendominasi seperti ini. Jika bukan karena dia melahirkan dua anak laki-laki untuk keluarga Amarta dan putra pertamanya adalah seorang genius yang berbakat sejak muda, mungkin dia sudah lama dipaksa bercerai oleh mertuanya. Amel tidak bisa melawan. Namun, begitu teringat bahwa putrinya sudah menderita selama tujuh belas tahun dan tidak dihargai setelah kembali, dia merasa sangat bersalah. Saat Amel merasa kesulitan, Alice menariknya. "Dengan meraih ranking sepuluh besar di kelas bisa tinggal di kamar bagus dan juga punya ruang belajar pribadi?" tanya Alice sambil melihat ke arah Nenek Dela.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.