Bab 5
Lantai tiga.
"Ibu nggak tahu gaya apa yang kamu sukai. Coba kamu lihat suka atau nggak dan apa ada yang ingin ditambahkan?" tanya Amel sambil membuka pintu.
Kamarnya dihias mewah dengan gaya kamar putri berwarna merah muda, penuh dengan perasaan gadis remaja. Namun, ini bukanlah gaya yang disukai oleh Alice.
Namun, karena Amel melihatnya dengan wajah penuh harapan, dia hanya bisa mengangguk dan berkata, "Cukup seperti ini saja … "
Belum selesai Alice berbicara, tiba-tiba dia didorong oleh seseorang dan terhuyung ke depan.
"Keluar, ini adalah ruang belajarku," seru Eden.
Eden menatap Alice dengan penuh emosi bagaikan bungkusan bom yang hendak meledak.
"Alice, kamu nggak apa-apa?" tanya Amel yang merasa serba salah. Kemudian, dia berkata, "Eden, bukannya kita sudah sepakat sebelumnya kalau kamar ini untuk Kakak?"
Amel merasa sedikit panik karena putra bungsunya mendadak marah.
Kamar di lantai dua dan tiga vila sudah terpakai semua, hanya tersisa kamar pembantu dan kamar tamu di lantai satu.
Alice adalah putri keluarga Amarta, tentu tidak bisa tinggal di lantai satu.
Jadi, Amel terpikir untuk berdiskusi dengan putra bungsunya agar Eden berbagi ruang belajar bersama putra sulungnya. Dengan begitu, Eden bisa mengosongkan ruang belajarnya sebagai kamar Alice.
"Dia bukan kakakku! Aku nggak punya kakak yang berasal dari pedalaman gunung!" teriak Eden yang ingin mendorong Alice lagi, tetapi dielak Alice dengan lincah.
Eden tidak menyangka Alice akan mengelak. Dia meleset lalu tersandung kakinya sendiri, dan menghantam ujung tempat tidur dengan suara yang keras.
"Hua … "
Tiba-tiba, suara tangisan anak nakal terdengar di seluruh vila.
"Ada apa? Ada apa?" tanya Nenek Dela yang segera naik ke lantai tiga sambil dipapah oleh Silvi setelah mendengar suara tangisan.
"Hua … Nenek, cepat tolong aku! Wanita kampungan ini mendorongku! Huhuhu … " teriak Eden.
Eden masuk ke pelukan Nenek Dela sambil menangis dan mengadu.
Alice sontak terdiam.
"Jangan menangis, Nenek akan membantumu," ujar Nenek Dela sambil membelai punggung Eden dengan lembut dan membantunya menenangkan diri lalu melanjutkan, "Biar Nenek lihat, di mana kamu terluka?"
Terlihat wajah Eden penuh dengan air mata dan ingus, juga ada benjolan besar di keningnya.
"Astaga, kenapa terbentur parah seperti ini? Apakah akan merusak penampilan?" seru Nenek Dela dengan berlebihan.
Begitu Eden mendengar kata merusak penampilan, tangisannya menjadi makin keras.
"Eden, biarkan Ibu melihatnya. Maaf, ini salah Ibu yang nggak mengawasimu dengan baik," ucap Amel.
Amel merasa panik dan ingin mendekati Eden, tetapi dia ditolak oleh Nenek Dela.
Setelah Nenek Dela memarahi Amel, dia memelototi Alice dan berkata, "Aku akan membuat perhitungan denganmu nanti!"
Alice menatap tanpa berbicara.
Setelah terjadi kekacauan sesaat di vila, semua orang sibuk memperhatikan Eden.
Silvi melihat Alice dibiarkan di samping, hatinya pun merasa lebih nyaman.
Seorang wanita kampungan tidak pantas diperhatikan oleh Ibu.
Di ruang tamu lantai satu.
Eden yang matanya memerah bengkak karena menangis meringkuk di pelukan Nenek Dela sambil terisak. Melihatnya seperti ini, Nenek Dela merasa sangat kasihan.
Sambil memarahi Amel agar mendesak dokter keluarga lebih cepat, dia juga meminta pembantunya agar segera merebus telur.
Pembantunya segera membungkus telur rebus yang masih panas dengan kain katun dan mengantarnya kemari.
"Kamu mau melihat apa? Cepat panggil dokter kemari!"
Saat Nenek Dela menerima telur itu dan hendak mengosokannya pada benjolan kepala Eden, dia dihentikan oleh sebuah suara perempuan yang dingin.
"Nggak boleh dikompres dengan telur rebus panas. Gunakan es batu."
Saat melihat ke arah suara, ternyata Alice berdiri di ujung tangga.
Dia masih mengenakan kebaya yang lusuh dan membawa tas kain di bahunya. Aura dingin yang melekat pada dirinya bahkan sulit diketahui bahwa dia baru keluar dari pegunungan.
"Kamu tahu apa? Kompres panas dengan telur bisa meningkatkan sirkulasi darah dan meredakan bengkak," ucap Nenek Dela sambil memelototi Alice.
Kemudian, dia menggosokkan telur dengan lembut pada benjolan di kening Eden.
"Ah … sakit!" erang Eden sambil menangis kesakitan.
"Sakit pun harus ditahan. Harus digosok dengan telur. Kalau nggak, benjolannya nggak akan sembuh," ujar Nenek Dela sambil menyuruh pembantu menahan Eden.
Amel merasa sangat kasian melihat Eden. Namun, dia tidak berani melawan Nenek Dela dan hanya bisa berdiri di samping dengan cemas.
Di saat ini, sebuah tangan yang lembut menahan tangan Nenek Dela.
"Apa yang kamu lakukan?"
Nenek Dela mengikuti tangan itu dan melihat Alice. Matanya yang keruh penuh dengan amarah.
"Gunakan kompres dingin," ulang Alice dengan pandangan dingin.
"Pergi sana! Jangan mengganggu! Aku jauh lebih berpengalaman darimu. Memangnya aku akan mencelakai cucuku sendiri?" ujar Nenek Dela sambil mengempaskan tangan Alice.
Sebelumnya, dia melihat sendiri Nyonya Riska meredakan bengkak dan luka memar pada cucunya dengan cara seperti ini. Bagaimana mungkin salah!
Alice kembali terdiam.
Eden memanfaatkan kesempatan ini untuk melepaskan diri dari pelukan Nenek Dela dan berpaling ke pelukan Amel. Dia menangis dengan keras dan terlihat sangat kasihan. Air mata dan ingusnya melumuri wajahnya.
Nenek Dela melihat ini dan tidak bisa menahan amarahnya. Saat dia ingin memerintah pembantu agar menarik Eden kemari, dokter keluarga datang.