Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 4

Bandara Kota Binsar. Keluarga Amarta datang dengan tiga mobil untuk menjemput orang. Carlo memiliki urusan mendadak dan harus pergi ke kantor, sementara ibu dan dua anaknya kembali ke rumah terlebih dahulu. Satu setengah jam kemudian, mobil masuk ke halaman villa keluarga Amarta. "Alice, kita sudah sampai di rumah," ujar Amel. Setelah turun dari mobil, Amel dengan antusias membawa Alice masuk ke dalam rumah sambil berkata, "Di rumah masih ada nenekmu, kakak laki-laki, dan adik ketiga." Alice mengangguk seolah mengerti. "Nenek, kami sudah pulang," seru Silvi yang berjalan di hadapan mereka. Dia menyerahkan tasnya kepada pembantu, lalu dengan percaya diri berjalan ke ruang tamu seolah-olah menunjukkan bahwa dia adalah nona di sini. "Kakak, kalian sudah pulang. Apa kalian membawa hadiah untukku?" Seorang anak laki-laki kecil berusia sekitar enam atau tujuh tahun keluar dari ruang tamu. Dia adalah Eden Amarta, Tuan Muda Ketiga keluarga Amarta. "Apa hadiah yang bisa dibawa untukmu dari desa terpencil itu?" jawab sebuah suara tua dari ruang tamu. "Ada benarnya, sia-sia aku menunjukkan ekspresi menanti," kata Eden. Eden berbalik dengan wajah yang merasa jijik. Kemudian, dia meringkuk di sofa dan mulai bermain konsol permainan lagi. Alice mengikuti Amel masuk ke ruang tamu. Ruang tamu dibangun dengan gaya Eropa Barok yang megah dan mewah. Seorang nenek tua dengan rambut beruban, mengenakan pakaian yang berkilauan tampak sedang duduk di sofa sambil menikmati teh dengan anggun. Silvi duduk manis di samping dan menuangkan teh untuk neneknya sambil berkata, "Nenek, di mana kakakku?" "Siang hari dia terbang ke Yamazun dan bilang ingin melihat lembaga biologis dan semacamnya yang ada di sana," ujar Nenek Dela sambil meneguk tehnya. Ketika Amel mendengar kata-kata ini, matanya seketika meredup. Sebelum berangkat pagi ini, dia sudah mengatakan kepada anak sulungnya bahwa akan menjemput Alice pulang. Malam ini keluarga Amarta akan berkumpul, jadi dia berharap semua orang hadir. Namun, anak sulungnya selalu bertindak sesuai kemauannya dan juga kebanggaan keluarga Amarta. Ibunya tidak bisa menyalahkannya, jadi dia hanya menahan perasaan sedih di dalam hati dan membawa Alice ke depan. "Ibu, kami telah membawa Alice kembali." Amel berkata sambil memperkenalkan Alice kepada Nenek Dela, "Alice, ini Nenek." "Nenek," panggil Alice dengan suara datar. Nenek Dela tidak menjawab. Dia meletakkan cangkir tehnya dan memanggil pelayan, "Sarti, bawa sisa sarang burung walet ini, berikan pada Silvi untuk diminum selagi panas." "Baiklah," jawab pelayan tersebut dan segera membawa sebuah mangkuk sarang burung walet. "Terima kasih, Nenek," ujar Silvi berterima kasih dengan suara yang manis, lalu mengangkat sarang burung walet dengan bangga dan meminumnya sambil memuji, "Enak sekali." "Minum pelan-pelan, nggak ada yang berebut denganmu. Setelah seharian naik mobil, kamu pasti lelah. Istirahatlah dan perbaiki penampilanmu agar Pak Ricky jatuh cinta padamu." Nenek Dela menyelipkan rambut Silvi yang ada di pinggir telinganya ke belakang telinga dengan wajah yang penuh kelembutan. "Baiklah," jawab Silvi sambil tersenyum manis dan mengangguk. Dia tersenyum dan melirik Alice yang diacuhkan di samping. Senyuman di bibirnya pun menjadi makin bangga. Melihat Nenek Dela dengan sengaja mengabaikan Alice, Amel pun langsung memanggil, "Ibu … " "Oh, kamu sudah kembali," ujar Nenek Dela berpura-pura seolah-olah baru melihat ada orang di sana, lalu memperhatikan Alice sejenak. Sebuah wajah yang cantik, dengan rambut kepang dua, dan kulit yang sangat putih. Hanya saja, sepasang mata yang bulat tampak terlalu dingin dan bibirnya agak tipis. Itu adalah ciri-ciri dari sifat yang dingin dan sulit untuk menarik perhatian suami kaya. Saat memandang ke bawah, terlihat dia mengenakan kebaya yang kotor dan robek serta membawa sebuah tas kain yang usang di pundaknya. Kemudian, sepasang sepatu bordir putih terkena debu dan kotoran sehingga membuat Nenek Dela yang memandangnya mengernyitkan alis. Pakaiannya begitu buruk, memang seperti kembali dari pegunungan. Dia sama sekali tidak ada nilai bagi keluarga Amarta dan mereka harus membuang-buang uang untuk menafkahinya. "Sarti, gantikan sepatunya, jangan biarkan debu dari pegunungan itu masuk ke dalam rumah dan mengotori karpet wol yang impor dari luar negeri dengan pesawat udara," kata Nenek Dela kepada pembantunya. Baiklah," jawab pelayan tersebut sambil segera membawa sepasang sandal untuk Alice. Kemudian, pembantu tersebut berkata, "Non, tolong ganti sepatunya, ya." Alice hanya terdiam. Amel mengerti dari tindakan dan perkataan Nenek Dela bahwa dia tidak menyukai Alice. Ketika Amel berkencan dengan Carlo, keluarga Amarta masih bekerja di pedesaan. Mereka tiba-tiba menjadi kaya raya dalam semalam setelah menemukan tambang di bawah tanah. Setelah kaya, Nenek Dela segera menjadi sombong. Dia meremehkan orang desa, memaksa Amel putus dengan Carlo, dan pindah ke kota Binsar bersama keluarganya. Kemudian, mereka mendirikan perusahaan, membeli vila, membeli barang mewah, berusaha keras untuk naik ke masyarakat kelas atas. Tujuannya adalah untuk menghilangkan reputasi keluarga Amarta sebagai orang kaya baru dan masuk ke lingkaran bangsawan mewah. Kalau bukan karena Carlo memaksa ingin menikahinya, ditambah lagi Amel telah hamil dan melahirkan seorang putra, Amel mungkin juga tidak akan bisa masuk ke keluarga Amarta. Ketika memikirkan situasinya sendiri, hati Amel merasa sedih. Alice adalah seorang gadis dan baru saja kembali dari desa. Takutnya, Nenek Dela akan lebih tidak menyukainya. Amel pun buru-buru menjelaskan, "Ibu, di pegunungan ini miskin, Alice sejak kecil sudah banyak menderita." "Baiklah, bawa dia segera untuk mandi dan ganti pakaian yang bisa dipandang orang," seru Nenek Dela sambil melambaikan tangannya. Akhirnya, Amel hanya bisa berkata pada Alice, "Alice, ayo Ibu bawa ke kamar." Alice mengangguk sambil menatap ekspresi tidak suka Nenek Dela. Ketika melihat ekspresi Amel yang mencoba menyenangkan Alice, tiba-tiba Silvi merasa sarang burung di tangannya menjadi tidak enak lagi. Itu adalah kasih sayang ibu yang seharusnya menjadi miliknya! Mengapa Alice dengan mudahnya merebutnya? Silvi merasa sangat tidak terima! Dia pun mengalihkan pandangannya ke arah Eden yang sedang bermain. "Eden, kamu nggak mau kamar belajarmu lagi?" ucap Silvi mengingatkan. Eden yang sedang bermain mengeluarkan kata-kata kasar karena baru saja terbunuh dalam permainannya. Ketika mendengar perkataan Silvi, dia segera meninggalkan konsol permainan dan bergegas berlari ke lantai tiga.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.