Bab 17
Saat Alice menemukan ruang ujian, sesi kedua ujian pagi hanya tersisa setengah jam.
Dia dihentikan oleh pengawas ujian di luar ruang yang berkata, "Ujian sudah dimulai lima belas menit yang lalu, kamu tidak bisa masuk lagi."
Alice hanya bisa terdiam.
Tepat saat itu, teleponnya berdering dan di layar muncul nama Carlo.
Begitu diangkat, suara marah Carlo terdengar dari seberang, "Alice, beraninya kamu bolos ujian? Apa kamu sengaja mempermalukan keluarga Amarta?"
"Aku tidak peduli kamu di mana sekarang, segera pulang ke rumah! Jangan mempermalukan nama keluarga di luar!" bentak Carlo.
Sungguh berisik.
Alice menutup telepon dengan ekspresi datar.
Belum selesai memarahi Alice, Carlo sudah mendengar suara tut tut tut dan menyadari teleponnya telah ditutup!
Sekarang amarahnya makin membara, dia pun menelepon kembali.
Kali ini telepon tidak diangkat dan langsung dimatikan.
Carlo sangat marah hingga ingin melempar teleponnya. "Berani-beraninya kamu menutup telepon ayahmu!" makinya.
Dia mencoba menelepon lagi.
"Maaf, nomor yang Anda hubungi sedang tidak aktif, silakan mencoba beberapa saat lagi … "
Alice mematikan teleponnya, lalu memanggil pengawas yang sedang menuju ruang ujian.
"Pak, aku rasa aku masih bisa kejar … "
"Apakah kamu Alice?" tanya pengawas ujian setelah menatapnya sekali.
Tadi Bu Miley sempat menanyakan tentang Alice, jadi dia mengingat siswa ini dengan jelas.
Karena dia paling tidak suka dengan siswa yang terlambat ujian.
Siswa seperti itu biasanya tidak memiliki kesadaran waktu yang baik, nilai ujian mereka pun tidak akan bagus, ujian juga hanya akan sia-sia.
"Ya," jawab Alice sambil mengangguk.
"Datang lagi semester depan saja, kamu sudah tidak mengikuti ujian Bahasa Indonesia pertama dan sekarang terlambat untuk ujian Matematika ini. Bahkan jika kamu mendapatkan nilai sempurna di ujian Bahasa Inggris dan ujian kombinasi sore nanti, kamu tetap tidak akan mencapai batas nilai masuk," kata pengawas ujian sambil melambaikan tangan dan menyuruhnya pergi.
Alice tidak bergerak dan malah menjawab, "Aku bisa menggunakan waktu dua sesi sore ini untuk mengerjakan empat paket soal."
Pengawas ujian terkejut. Sepuluh tahun dia mengawasi ujian, baru kali ini dia bertemu dengan siswa yang begitu sombong.
Bahkan Luca Maven, si bintang kelas, tidak berani mengatakan hal seperti itu. Seorang anak dari pelosok desa berani-beraninya membual seperti ini!
Pengawas itu tersenyum sinis dan berkata, "Oh? Kalau kamu memang sehebat itu, kenapa masih perlu masuk SMA? Langsung saja ikut ujian masuk universitas!"
Alice terdiam.
Sebenarnya, itu bukan ide yang buruk. Namun, jika terlalu mencolok akan menimbulkan masalah yang tidak perlu.
"Alice, untung kamu masih di sini."
Saat itu, Pak Andy datang berlari-lari sambil terengah-engah.
"Pak Andy?" sapa pengawas ujian, terkejut melihat kedatangan sang kepala sekolah.
Pak Andy menopang lututnya sambil mengatur napas, lalu berkata kepada pengawas ujian, "Pak Eka, tolong kerja lembur sebentar, biarkan Alice menyelesaikan ujian masuk."
"Mengapa harus begitu?" balas pengawas ujian.
Mendengar kata "lembur," pengawas ujian langsung keberatan, apa lagi harus mengawasi siswa yang terlambat.
Pak Andy menghapus keringat di dahinya dan membalas, "Aku baru saja mendapat kabar kalau Alice diminta Pak Damian untuk membantu sesuatu, makanya dia terlambat datang ujian."
"Pak Damian secara khusus memintaku menjelaskan situasinya, jangan mempersulit siswa yang suka membantu," lanjut Pak Andy.
Alice terdiam.
Dia sedikit terkejut, lalu menatap Pak Andy.
Apakah ini karena Damian memang perhatian?
Atau mungkin sengaja?
Meskipun pengawas ujian enggan untuk lembur, kepala sekolah sendiri yang datang dan bahkan membawa nama Pak Damian yang sangat dihormati. Dia tidak ada pilihan selain menyetujui Pak Andy dengan anggukan kepala.
Setelah Pak Andy pergi, pengawas membawa Alice ke ruang kelas kosong dan meletakkan empat paket soal di depannya.
"Kamu bilang bisa menggunakan waktu dua sesi ujian untuk mengerjakan empat paket soal? Silakan," katanya sebelum berbalik dan duduk di meja guru.
Alice hanya bisa terdiam.
Menjaga agar tidak terlalu mencolok ternyata sangat sulit.
Dengan tenang, Alice duduk dan mulai melihat soal-soalnya.
Alice memiliki kebiasaan membaca semua soal terlebih dahulu.
Setelah memahami garis besar soal-soalnya, dia akan menghitung secara mental sebelum menuliskan jawabannya.
Pengawas duduk di meja guru sambil bermain ponsel. Saat mengangkat kepala, dia melihat Alice yang sedang menatap soal tanpa bergerak. Di dalam hatinya, dia tertawa sinis dan sedikit kesal.
"Pasti soal-soalnya tidak dimengerti, ya?" pikirnya dalam hati.
Beraninya dia mengaku bisa mengerjakan empat mata pelajaran sekaligus!
Ini benar-benar buang-buang waktu.
Akhirnya setelah lima belas menit, Alice mengambil pena di tangan kanannya dan mulai menulis jawaban.
Waktu ujian pertama pun berlalu.
Pengawas mengawasi waktu dengan ketat dan berkata kepada Alice yang masih mengerjakan soal, "Waktu sudah habis, kumpulkan dua paket soal yang sudah dikerjakan."
Alice tidak menggubrisnya dan terus menulis.
"Aku bilang berhenti menulis, tidak dengar, ya? Apa yang bisa kamu kerjakan dengan waktu sependek ini?"
Pengawas berjalan mendekat, berniat menghentikannya.
Namun, Alice tetap menulis dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya mengambil dua paket soal yang sudah selesai dan menyerahkannya tanpa mengangkat kepala.