Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 18

Pengawas ujian tertegun, lalu mengambil lembar jawabannya. Matematika dan Bahasa Inggris sudah selesai dikerjakan dan sekarang Alice sedang menulis jawaban untuk ujian kombinasi, bahkan sudah siap mengerjakan seperempat bagian! Dalam satu sesi ujian, dia benaran siap mengerjakan lebih dari dua paket soal, bahkan mata pelajaran yang berbeda? Apakah ini sesuatu yang mungkin dilakukan oleh manusia? Jangan-jangan hanya asal menulis saja? Pengawas sudah sering melihat siswa yang masuk dengan jalur belakang, biasanya mereka hanya berpura-pura mengerjakan soal dan kemudian langsung masuk ke kelas 11. Dengan pikiran seperti itu, pengawas ujian menatap soal pilihan ganda pertama di lembar jawaban matematika. Meskipun dia hanya mengajar olahraga, masih banyak pengetahuan matematika SMA yang dia ingat. Jawaban C, benar. Mungkin hanya kebetulan saja! Soal kedua, jawaban A. Benar lagi! Apakah keberuntungannya begitu bagus? Soal ketiga … Benar juga! Semakin dia melihat, semakin terkejut. Sepertiga bagian awal soal pilihan ganda semuanya benar, sementara dia tidak bisa memastikan untuk soal-soal esai. "Kamu tunggu di sini dulu," ujar pengawas ujian sambil membawa lembar jawaban itu, lalu berbalik mencari guru mata pelajaran untuk memeriksa hasilnya. Saat itu, jam pelajaran pagi sudah selesai, guru dan siswa mulai berbondong-bondong pergi makan siang. Pengawas menuju kantor guru kelas 11 dan menemukan guru matematika kelas 11 sedang mengunci pintu kantor. "Bu Jeni, aku sedang mencarimu. Boleh minta tolong sebentar untuk memeriksa lembar jawaban ujian masuk ini?" kata pengawas ujian sambil menyerahkan lembar jawaban. Jeni Winata, guru Matematika lulusan Universitas Harvard yang sudah mengajar di sekolah ini selama sepuluh tahun. Dia dikenal sebagai seorang pekerja keras. Mendengar ada lembar jawaban yang perlu diperiksa, antusiasmenya langsung muncul. Dia segera membuka kembali pintu kantor yang hampir terkunci. "Baiklah. Kudengar ujian masuk semester ini lebih sulit dari biasanya. Tujuan kepala sekolah adalah untuk meningkatkan standar penerimaan di Akademi Veritas," kata Bu Jeni. Dia pun berjalan ke mejanya, menyesuaikan kacamata tebalnya dan mulai memeriksa lembar jawaban yang baru diterimanya. Semakin banyak tanda centang merah yang dia buat di lembar jawaban, semakin merah wajah pengawas ujian. Rasanya seperti ditampar berkali-kali, begitu panas dan memalukan. "Cara penyelesaiannya untuk soal terakhir ini sangat unik, mirip dengan metode yang digunakan Luca sebelumnya. Luar biasa," puji Bu Jeni dengan mata berbinar. "Siswa yang bernama Alice ini dari sekolah mana sebelumnya? Apa dia masih ada di sini? Aku ingin bertemu dengannya," katanya sambil melihat nama di lembar jawaban. Begitu menoleh ke arah pengawas ujian, barulah dia menyadari ekspresi aneh di wajahnya. "Pak Eka, kenapa? Wajahmu terlihat pucat," tanya Bu Jeni. "Tidak, tidak apa-apa. Jadi, berapa nilai untuk lembar jawaban ini?" tanya pengawas sambil menelan ludahnya, dia kesulitan percaya apa yang baru saja terjadi. Dalam setengah sesi ujian, lembar jawabannya selesai dan mendapat nilai penuh? Ini siswa macam apa? Luca saja tidak bisa melakukannya, tetapi Alice bisa dengan mudah! Dan tadi, sikapnya terhadap siswa itu sangat buruk! "150 poin, nilai sempurna!" kata Bu Jeni dengan bangga. Pengawas ujian mendadak merasa lemas dan membalas, "Baiklah, siswa ini masih ujian, aku harus kembali mengawasinya." Mata Bu Jeni bersinar saat berkata, "Dia masih di sini? Ayo, aku juga ingin bertemu dengannya." Ketika mereka kembali ke ruang ujian, Alice sudah tidak ada di sana. Hanya ada dua paket soal yang sudah dikerjakan dan diletakkan di bawah pena. Bu Jeni mengambil lembar jawaban dan melihatnya dengan hati-hati. Lembar jawaban itu rapi, tulisannya indah dan cara penyelesaiannya unik. "Cepat bawa lembar jawaban ini ke guru mata pelajaran masing-masing untuk diperiksa. Aku punya firasat, siswa ini akan menjadi dewa akademik berikutnya di Akademi Veritas," ujar Bu Jeni. Benar, bukan hanya bintang kelas, tetapi dewa akademik. … Saat Alice kembali ke rumah keluarga Amarta, yang pertama dilihatnya adalah wajah marah Carlo yang duduk di ruang tamu. Amel berlutut di atas karpet seperti seorang pelayan yang melakukan kesalahan. Sementara itu, Silvi berdiri di samping dengan ekspresi yang tampak sedih, tetapi sebenarnya menikmati drama ini. Di atas karpet terlihat pecahan gelas yang dilempar, membuat suasana menjadi semakin tegang dan mencekam. "Kamu masih berani pulang? Beraninya kamu bolos ujian? Berlutut!" teriak Carlo saat melihat Alice. Amarahnya kembali memuncak. Carlo mengambil asbak di atas meja dan melemparkannya ke arah Alice.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.