Bab 4
Pada hari ke-11 usai mereka merancang penculikan dan membunuhnya dengan kejam, mereka diam-diam pergi untuk mendaftarkan pernikahan.
Kebetulan sekali!
Nadira terpaku di tempat. Rasa sakit nan sesak sontak memenuhi dada. Rasa benci serasa menusuk hingga ke tulang, bahkan membuatnya merinding. Matanya memancarkan tatapan dingin.
Kenangan pahit berkelebat bagai tusukan pedang.
"Nadira, aku pasti menikahimu. Kamu akan segera menjadi Nyonya Salim."
"Nadira, kamu sangat berbakat. Bantu Sabrina gambar desain sekali lagi. Dia harus memenangkan Jewelry Design Competition itu!"
"Kita akan segera mengurus pernikahan kita. Jangan khawatir, aku nggak akan mengkhianatimu."
Pernikahan?
Usai pernikahan itu, mereka ingin membunuhnya!
Pria di samping Nadira tiba-tiba melepas kepalan tangannya. Dia berdiri tegak, lalu suaranya terdengar bernada dingin saat bertanya, "Apa kamu butuh waktu sebentar?"
Nadira menggigit bibir pucatnya, lalu menggeleng.
Seorang petugas tampak begitu ramah saat membawa mereka masuk.
Proses pengurusan dokumen selesai dalam dua menit saja. Nadira melirik pria dingin yang sibuk bekerja di kursinya, lalu melirik Akta Nikah di tangannya. Nama di kolom suami hanya berupa satu huruf, L.
Sikapnya begitu arogan, dingin, dan acuh tak acuh.
Apa dia menikah karena kesepian?
Sepertinya, pernikahan ini hanya untuk mengikat dia dan menyenangkan ibunya.
Dia sama sekali tidak tahu siapa sebenarnya pria ini. Bahkan, pria itu pun tidak tahu siapa dirinya.
Namun, tiba-tiba saja, Nadira mendapati Yohan dan Sabrina masuk ke ruangan pendaftaran lain. Lalu, Sabrina pergi ke toilet sambil membawa tasnya.
Bibir ranumnya menyeringai sinis. "Aku mau mengurus sesuatu sebentar," ujar Nadira pada L.
Sada, asisten L, mengamati punggung ramping nan dingin milik Nadira. Lalu, dia bertanya pada bosnya. "Bagaimana, Pak?"
Pria itu tidak menaikkan mata dari pekerjaannya dan hanya mengernyit. "Lindungi dia," titahnya.
Nadira mengambil lipstik dari tasnya begitu masuk ke toilet. Dia menghancurkan lipstik itu, mencampurnya dengan air, dan mengoleskannya pada selembar tisu. Setelah itu, dia menyelipkannya ke salah satu bilik sebelum pergi sambil tersenyum dingin.
Di luar Kantor Catatan Sipil, Nadira meminta sopir agar menghentikan mobil sebentar.
Setelah menunggu sebentar, seorang wanita muda nan cantik tiba-tiba jatuh menggelinding dari tangga dengan sangat ketakutan. Dia berteriak tanpa memedulikan penampilannya. "Yohan!"
Yohan berlari menghampirinya.
Sabrina mengeluarkan secarik kertas berlumur darah dengan ekspresi penuh ketakutan. "Lihat … ini tanggal selamatan Nadira yang ditulis pakai darah! Tiba-tiba, kertas ini di tasku. Apa ini perbuatan Nadira? Apa dia kembali untuk ambil nyawaku?"
Yohan pun terkejut melihat kertas itu hingga mundur dua langkah. Dia segera menopang Sabrina sembari mengernyit. "Jangan asal bicara! Nadira sudah mati! Tenang, jangan sampai tertangkap paparazi."
"Yohan, aku takut banget …" Sabrina menatap muram, wajahnya pucat.
Melihat pasangan hina itu saling berpelukan sambil mengamati sekitar, Nadira tertawa dingin seraya memotret mereka dengan ponselnya.
Rasa sakit milik luka di tangannya yang diinjak sontak membuat matanya kemerahan.
Ucapan ibu tirinya terngiang di telinga Nadira. "Kejam bagaimana? Sejak awal, Nadira memang kamu besarkan sebagai tameng bagi Sabrina!"
Benarkah? Kalau memang begitu, mulai sekarang, Nadira akan menjadi malapetaka bagi Sabrina!
Nadira tersenyum sinis menonton berita pemakaman sore itu. Hidangan pembuka sudah siap, pertunjukan besar akan segera dimulai.
Penuh dendam mendalam, dia bertekad membalas mereka satu per satu dan merebut kembali yang seharusnya menjadi miliknya.
Nadira menarik kembali tangannya yang kram karena terasa nyeri. "Pak L, kita bisa pergi sekarang."
Tiba-tiba, tangan besar pria itu mengenggam tangan mungilnya. Dia menghentikan pekerjaannya sejenak dan bertanya, "Sakit, ya?"
Suara beratnya yang terlalu dalam membuat Nadira tertegun sejenak. Hampir saja air mata yang sudah ditahan sejak tadi akan tumpah.
"Jangan menangis. Biar kupijat." Dahi pria itu mengernyit sebelum benar-benar memijat lembut tangannya. Ekspresinya datar, tetapi suaranya sejuk dan menenangkan.
Nadira terpana melihat pria angkuh itu, kemudian dia menegaskan, "Aku nggak peduli dengan apa pun perlakuanmu, tapi pastikan perutmu aman!"
"Aku janji!" Pernikahan ini memang kesepakatan saja. Nadira tidak pernah berharap pria ini akan membantu dirinya balas dendam, apalagi Nadira masih ragu atas niat pria itu.
Namun, dia sangat membutuhkan tempat berlindung dan pernikahan ini merupakan solusi sementara baginya.
"Antar Nyonya Nadira." Dia turun dari mobil. Terlihat sangat sibuk, bahkan tidak menyebutkan tujuannya.
Nadira menatap punggung tegapnya di balik setelan jas. "Tolong antarkan aku ke Rumah Duka Mirea!" ucapnya pada sopir.
…
Sementara itu, di ruang tunggu VIP rumah duka, Prita merobek kertas berdarah itu sambil mengejek, "Cuma lelucon yang ditulis pakai lipstik. Mau menakuti siapa, sih?"
Sabrina masih merinding. "Tapi, nggak ada yang tahu tanggal selamatan yang mau kita adakan untuknya!"
Prita tampak meremehkan saat bicara, "Meski semua karyawan perusahaannya sudah tunduk pada kita, pasti dia masih punya satu dua teman yang menjengkelkan. Itu cuma trik murahan."
"Hmm, pemakaman mulai sebentar lagi. Ayahmu akan mengumumkan di depan media, semua hak warisnya menjadi milikmu. Setelah ini, nggak ada lagi orang bernama Nadira di dunia ini!"
"Dia sudah benar-benar mati, nggak mungkin hidup lagi," tegas Halim.
Sabrina kembali tenang, senyum kemenangan segera menghiasi wajahnya.
…
Pukul dua siang, rumah duka penuh lautan manusia.
Keluarga Winata adalah salah satu keluarga terpandang di Rovelia. Semua orang tahu tentang Nadira Winata. Gadis cerdas yang luar biasa cantik, mulai berbisnis sejak usia 18 tahun, dan namanya sangat terkenal di kota ini.
Sayangnya, dia sudah meninggal.
Kematian tragisnya membuat upacara pemakaman ini menjadi pusat perhatian semua orang.
Nadira memicingkan mata, tampak menggunakan telepon umum di pinggir jalan. Sekarang, meskipun dia tidak punya apa-apa, dia masih mengingat beberapa media yang dulu akrab dengannya.
Dia menyembunyikan darah buatan yang dibeli dari sopir di balik pakaiannya, mengenakan kacamata hitam, melepas perban di tangannya, dan melangkah masuk ke rumah duka.
Senyuman dingin menghiasi wajahnya. Dia kembali!
Musik duka mulai terdengar dan Nadira bisa melihat peti mati kosong di tengah aula.
"Siapa sangka, gadis terkenal dan terpandang itu akan berakhir seperti ini." Seseorang menghela napas.
"Belum lihat berita, ya? Dia dibunuh selingkuhannya! Luarnya saja terlihat polos, tapi gosipnya, dia wanita murahan sudah lama tersebar. Dia mengkhianati Yohan dan menindas adik tirinya!"
"Benar, aku kerja di Ruby Jewelry. Aku lihat sendiri dia tidur dengan salah satu pemegang saham. Dia juga suka mempersulit Nona Sabrina."
"Hentikan!" seru Sabrina, pura-pura terisak sambil menyeka air matanya. "Aku sedih sekali karena kakakku sudah meninggal. Meskipun dia pernah memaksaku mendesain dan mencuri desainku, aku sudah memaafkannya …"
"Sombong sekali dan suka menindas adiknya, baguslah wanita murahan ini mati," kutuk seorang pengunjung penuh amarah.
Di sudut aula, Nadira bersandar sambil mengepalkan tangan dan tersenyum dingin.
"Tutup mulut kalian!" Suara perempuan penuh amarah tiba-tiba terdengar. "Sabrina, kamu memfitnah kakakmu! Jelas-jelas kamu yang curi desain milik Nadira. Dia sudah meninggal, tapi kamu masih menyebar fitnah tentangnya. Kamu kejam sekali!"
Nadira tertegun. Yovita, sahabat terbaiknya, datang juga ke pemakaman.
Sabrina melirik tajam, memberi isyarat pada seorang pegawainya.
Pegawai itu langsung menyeret Yovita. "Kamu dan Nadira sama saja! Berani-beraninya kamu memfitnah Nona Sabrina? Seret dia keluar!"
Yovita yang lemah langsung tersungkur ke lantai. Dia hanya bisa menangis tersedu-sedu sambil menatap altar. "Nadira, aku tahu kamu mati secara nggak adil …"
Air mata menggenang di sudut mata Nadira. Kepalan tangannya makin erat. 'Aku akan membalikkan keadaan, Yovita,' batin Nadira.
Upacara pemakaman dimulai. Dalam keadaan kusut dan berantakan, Nadira langsung menyelinap dalam karangan bunga saat tidak ada yang memperhatikan.
Halim berdiri di panggung utama, berpura-pura sedih sambil meneteskan air mata. "Putri kesayanganku sudah tiada, tapi hidup harus terus berjalan. Berdasarkan surat wasiat Nadira, semua aset perusahaan dan harta warisannya akan diserahkan secara sukarela kepada adiknya, Sabrina ..."
Tiba-tiba saja, peti mati itu bergerak!