Bab 5
Seisi ruangan mendadak hening.
Halim mengangkat kepalanya, melihat peti mati di sisi kirinya.
Dari celah peti mati yang penuh bunga, tiba-tiba ada sesuatu berlumur darah.
"Apa itu? Tangan!"
"Bukannya jenazah Nadira belum ditemukan?"
Suasana menjadi sangat mencekam.
Saat itu juga, seorang wanita dengan tubuh penuh luka dan darah terlihat merangkak keluar dari peti mati. Dengan tangisan memilukan bagaikan arwah gentayangan, dia berteriak, "Ayah, sakit sekali! Apa aku sudah mati?"
Halim mendongak kaku. Dia nyaris pingsan karena ketakutan hingga tubuhnya ambruk ke lantai.
Mayat berlumuran darah itu merangkak keluar dari peti mati, mendekati Prita. "Tante, sakit banget. Sabrina menginjak tanganku sampai remuk."
"Dik, kenapa kamu suruh para penculik itu memukulku hingga hampir mati?"
"Aaa!" jerit Prita dan Sabrina, hingga berguling-guling di lantai.
Ketiganya tampak sangat pucat dan ketakutan.
Sabrina sampai memegangi kepalanya sambil berteriak tidak karuan. "Ibu, bukannya kita sudah selamatan biar dia nggak balik lagi? Kenapa arwah penasaran itu mencariku? Jangan! Jangan cari aku!"
Perkataannya mengungkap sebuah informasi penting.
Nadira berdiri perlahan sambil menyeringai dingin.
Beberapa orang yang terlihat pucat pasi karena takut pun mendongak, melihat gerak-gerik Nadira yang bebas, sehingga mereka bertanya dengan suara gemetar. "Nona Nadira, kamu masih hidup?"
"Ya!" jawab Nadira sambil menghampiri Sabrina, menginjak tangannya sambil tertawa dingin. "Yang aneh, keluargaku menganggap aku sudah mati hingga mengadakan selamatan orang mati untukku."
Pernyataan itu mengejutkan semua orang.
Nadira tersenyum samar, mata indahnya kemerahan penuh amarah. "Kalian kira, kalau aku mati, kalian bisa ambil alih perusahaan dan memalsukan surat wasiatku semudah itu? Bagaimana bisa aku kasih seluruh hartaku secara sukarela pada Sabrina? Ayah ... Ayah lupa, ya? Sepuluh hari lalu, Sabrina dan Yohan membayar penculik untuk menculikku ke pegunungan dan membunuhku buat menghilangkan jejak?"
"Ya Tuhan! Bukannya mereka bilang dia dibunuh oleh selingkuhannya?"
"Apa? Artinya, keluarga Winata bersekongkol untuk membunuhnya?"
Halim menatap Nadira, memastikan bahwa dia adalah orang biasa dan bukan mayat.
Reaksinya begitu cepat. Dia berlari, lalu memeluk Nadira. "Nadira, kamu masih hidup. Syukurlah!"
"Ayah, mana mungkin aku mati begitu saja?" Nadira menatap Yohan dengan sorot mata yang tajam bagai arwah penasaran. "Sebelum pernikahan, adik tiriku selingkuh dengan tunanganku sampai hamil. Demi anak mereka, mereka mencoba membunuhku. Mana mungkin aku bisa melupakan budi baik sebesar itu?"
Sabrina dan Yohan tampak pucat pasi.
Kerumunan pun mulai berbisik. Entah dari mana, para jurnalis berdatangan dengan kamera di tangan.
Halim segera memberi isyarat kepada pengawal untuk mengosongkan tempat!
"Anak ini, kepalamu terbentur? Kenapa kamu bicara sembarangan, sih?"
Prita bereaksi lebih cepat. Dia berlari ke arah Nadira sambil menutup mulut dan meneteskan air mata buayanya. "Apa kamu marah pada Tante dan Ayah? Maafkan kami! Kami kira, kamu sudah mati. Kami benar-benar nggak bisa menemukan jasadmu. Ayahmu sampai menangis sepuluh hari! Karena perusahaan butuh pengelola, kami terpaksa mengeluarkan surat wasiatmu."
"Ayah dan Tante sangat mencintaimu, jangan marah sama kami lagi, ya?" kata Halim, terlihat penuh kasih sambil meneteskan air mata.
Nadira menepis kasar tangan Prita, malas meladeni mereka. Sorot matanya yang dingin menyapu semua orang dengan ekspresi beragam di sana.
Dia turun dari altar dan tersenyum pada media dengan percaya diri. "Pulpen ada di tangan kalian. Tulis berita besar hari ini dengan baik!"
Reporter terpesona oleh paras cantiknya.
"Nadira!" teriak Yovita.
Nadira berjalan ke arahnya sambil melirik pegawai wanita yang menyebar fitnah tadi, lalu dia langsung menampar pegawai wanita itu. "Kamu bilang melihatku tidur dengan pemegang saham, ya? Lebih baik, kamu diskusikan dengan Sabrina berapa harga yang harus dibayar karena sudah menyebar fitnah. Nikmati makanan terakhirmu sebelum mati."
Wajah pegawai itu seketika pucat.
Kalimat penuh makna dari Nadira juga tertangkap oleh telinga para jurnalis, memicu diskusi heboh.
…
Di sebuah ruang pribadi yang tenang di kafe, Yovita memeluk Nadira sambil menangis tersedu-sedu.
"Kamu hamil?" Matanya terbelalak, merasa sakit hati sekaligus terkejut. "Nadira, apa yang sebenarnya kamu alami? Andai sepuluh hari lalu aku di Rovelia, pasti bisa kuhentikan pasangan berengsek itu, ugh …"
Dia menyalahkan diri karena telah salah menilai Yohan selama ini.
Nadira mengepalkan tangan dan menceritakan semua.
Yovita makin terkejut. "Kamu nggak cuma hamil, tapi menikah juga dengan pria yang memperkosamu?"
"Cuma nikah kontrak, kok. Lagi pula, dia memaksaku ikut. Aku nggak punya pilihan lain, Yovita."
Ekspresi Yovita berubah drastis, dia segera bertanya.
"Siapa dia? Anak dari keluarga mana?"
"Jangan-jangan, dia pria nggak bertanggung jawab?"
Nadira menggelengkan kepala. "Dia pakai topeng. Aku saja nggak tahu namanya."
"Apa?" Yovita benar-benar terkejut. "Suami misterius macam apa yang kamu nikahi, sih!"
Nadira tersenyum getir, lalu memotong pembicaraan. "Jangan bahas dia dulu, balik ke topik utama. Yovita, kamu ahli komputer, 'kan? Tolong bantu aku satu hal."
Yovita langsung paham, lalu membuka laptopnya. Ternyata, berita tentang skandal pemakaman sudah tersebar luas hingga berita Nona Nadira yang belum wafat memenuhi internet dengan spekulasi beragam.
Nadira mengeluarkan dua foto.
"Pasangan berengsek ini ternyata sudah menikah!" Meskipun Sabrina memakai topi, Yovita tetap bisa mengenalinya!
Tanpa menunggu Nadira bicara, dia segera menyebar foto itu ke berbagai media.
Belum lima menit, opini publik meledak di dunia maya.
"Itu Sabrina dengan tunangan Nadira? Kenapa mereka di depan Kantor Catatan Sipil? Foto itu diambli tadi pagi!"
"Nadira bilang di pemakaman, Sabrina selingkuh dengan tunangannya sampai hamil, lalu mereka bersekongkol untuk menculik dan membunuhnya."
"Kalau perkataan Nadira benar, semua masuk akal! Nadira punya perusahaan dan warisan. Jangan-jangan, keluarga Winata memang ingin menguasai hartanya dengan membunuh putri kandung mereka sendiri …"
Nadira dan Yovita sedang asyik membaca berita ketika semua topik populer itu mendadak dihapus.
Ponsel Nadira langsung berdering.
Dia menyeringai sinis saat menatap layar ponsel seraya menjawab dengan nada dingin. "Ada apa, Yah?" singkatnya.
Halim menahan amarah. "Nadira, jangan percaya foto Yohan dan Sabrina di berita itu, ya! Kamu sedang di mana? Pulanglah, Nak. Ayah khawatir kamu terluka. Tante Prita sudah menyiapkan makanan untukmu. Kami semua menyambutmu pulang!"
"Oh?" Halim bersikap seakan-akan tidak tahu bahwa dia yang menyebarkan foto itu.
Nadira tersenyum dingin, begitu patuh saat menjawab, "Baik, aku akan segera pulang."
"Itu baru benar, Ayah tunggu kamu!" Halim terdengar tidak sabar.
Yovita segera menentang. "Kamu gila? Dia pasti punya niat buruk, makanya dia minta kamu pulang sekarang!"
Nadira tersenyum sinis. "Kita lihat saja apa rencana mereka. Untuk sekarang, aku nggak akan putus hubungan dengan keluarga Winata. Ada yang aneh dengan kematian ibuku. Aku rasa, warisan dari Kakek juga nggak sesederhana itu. Kalau nggak, mereka nggak akan buru-buru ingin membunuhku!"
Apakah ada konspirasi di sini?
Yovita langsung paham, Nadira ingin menyelidiki.
"Kamu harus hati-hati!"
"Pikirmu, aku masih Nadira si naif seperti sepuluh hari lalu, ya?"
Mata Nadira menyiratkan kebencian sedingin es.
Yovita terdiam. Dia sadar, Nadira sudah berubah.
"Kamu masih simpan jarum akupunkturku, nggak?"
Nadira pandai akupunktur dan pernah membantunya mengatasi masalah pencernaan. Yovita segera mengeluarkan alat akupunktur itu, lalu menyerahkannya pada Nadira.
"Hubungi aku nanti malam," kata Nadira, lalu pergi.
…
Pintu besar rumah keluarga Winata terbuka lebar. Nadira berdiri di sana, matanya menyapu sekitar dengan tajam.
Prita segera menghampiri dengan ramah dan menarik tangannya. "Nadira, kamu pulang juga! Semua salah paham yang terjadi pasti akan dijelaskan ayahmu. Jangan khawatir, perusahaan tetap milikmu. Kami cuma ingin kamu hidup baik! Duduk sebentar, Tante sudah masak sup biar lukamu cepat sembuh."
Nadira mengagumi akting Prita yang tenang, seperti tidak terjadi apa-apa. Tidak heran, dia tidak bisa melihat sisi lain wanita ini sejak dulu.
Dia berjalan menuju sofa.
Nadira melihat seseorang sedang tidur di sofa, membelakanginya. Siapa lagi kalau bukan Sabrina.
"Ada apa dengannya?" tanya Nadira tersenyum tipis.
Prita mendesah, "Sabrina sedang hamil, tubuhnya menjadi lemah. Ditambah lagi, dia begitu sedih atas kematianmu hingga pingsan. Tapi, nggak apa-apa, dia cuma perlu tidur sebentar."
"Nadira, kupaskan buah dulu untuk dimakan."
Belum sempat Nadira menjawab, pisau buah sudah ditempelkan Prita ke telapak tangan Nadira.
Seolah-olah tidak disengaja, Nadira pun menunduk dan melihat sidik jarinya jelas menempel di gagang pisau. Lalu, dia menatap Sabrina yang jatuh pingsan.
Tiba-tiba, senyum dingin hadir di sudut bibirnya.
"Supnya sudah matang. Nadira, ayo dimakan selagi hangat," ujar Prita lembut sambil membawa semangkuk sup sum-sum.
Nadira melirik sup itu, patuh untuk memakannya.
Prita begitu saksama menatap Nadira kala dia minum empat atau lima sendok. Kilat dingin tampak sekilas di matanya.
Nadira berdiri, tampak sedikit limbung. Dia memegang kepalanya dengan alis berkerut. "Tante, Ayah mana? Aku mau bertemu dengannya."
"Dia sedang menunggumu di ruang kerja atas, cepat temui dia!" kata Prita sambil tersenyum.
Nadira naik ke lantai atas sambil memegangi susuran tangga. Dia terus menggeleng untuk menjernihkan pikirannya. Ketika dia masuk ke ruang kerja, ayahnya tidak ada di sana. Sebaliknya, ada dua pria paruh baya gemuk, pria yang sama dengan pemegang saham perusahaannya. Nadira tahu mereka punya niat jahat padanya sejak lama.
"Nona Nadira, kamu datang juga, ya!" Salah satu dari mereka menyeringai jahat.
"Kenapa kalian ada di ruang kerja Ayahku?"
"Tentu saja untuk menunggumu!"
Nadira mundur ketakutan, kemudian Prita tiba-tiba mengunci pintunya dari luar.
"Jangan mendekat!" Terdengar teriakan putus asa dari dalam ruangan.
Prita tersenyum licik, begitu santai saat menuruni tangga. Dia membangunkan Sabrina, lalu tertawa kecil sambil berkata, "Kupikir, dia lebih pintar setelah hampir mati. Ternyata, bujuk rayu sedikit saja, dia tetap bodoh. Dia ingin membeberkan foto-foto kamu dan Yohan, 'kan? Kita buat saja bukti yang lebih buruk untuknya! Sebentar lagi, mereka akan menyuntiknya dengan obat yang membuatnya tampak gila. Kamu tambah sedikit darah palsu, lalu berbaringlah di sana."
Sabrina tersenyum. "Besok, beritanya bisa lebih heboh lagi. Biarpun dia hidup, tetap saja nggak akan bisa mengalahkanku dan berakhir masuk penjara!"
Keduanya saling menatap penuh rasa puas, kemudian menempelkan telinga ke pintu sambil mendengarkan dari luar.
"Kenapa nggak ada suara?" Prita mengernyitkan dahi "Apa mereka sedang merekam sesuatu?"
Dia yakin, dua pria dewasa itu tidak mungkin kalah melawan seorang wanita lemah.
Namun, saat itu, pintu tiba-tiba terbuka.