Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 3

Pria itu menoleh, ekspresinya sulit dibaca. "Kamu nggak mau?" Nadira menggigit bibirnya. Mereka tidak saling kenal, tetapi malah punya anak dalam situasi seperti itu. Pria itu perlahan mendekatinya, lalu mencengkeram dagunya. Wajah cantik nan memesona milik Nadira itu terpampang jelas di depannya. Nadira masih sangat muda, baru 23 tahun. Bibir merahnya tampak lembut, membuat pria itu bicara dengan suara yang agak lebih berat. "Sekalipun aku harus repot, beberapa hal bisa sukarela kulakukan." Nadira tertegun. Apa maksudnya? Pria itu tersenyum miring, tetapi nada bicaranya begitu serius. "Meskipun begitu, aku sangat menghormati kehidupan. Jadi, lahirkan anak itu!" Sikapnya benar-benar mendominasi! Nadira tiba-tiba menyadari maksud dari "repot" yang dia katakan tadi. Wajahnya tiba-tiba merona. Pria itu berjalan tenang menuju pintu. Sebelum dia sempat membuka pintunya, terdengar suara seorang wanita yang penuh emosi dari luar. "Bocah nakal! Kalau kamu berani keluar malam ini, aku bunuh diri di depanmu!" Tepat setelah itu, pintu kamar terkunci dari luar! Nadira kebingungan. "Siapa di luar sana?" tanyanya. "Ibuku." Nadira tertegun. Dengan wajah masam, pria itu kembali masuk kamar, menarik Nadira ke tepi tempat tidur. Suaranya berat dan menggoda saat bertanya, "Mau bekerja sama?" "Kerja sama apa?" "Kita pura-pura sedang malam pertama." Nadira mematri tatapan pada mata kelamnya, serasa pria itu mampu mengisap jiwa. Dia pun memahami maksudnya hingga wajah Nadira langsung merah padam. "Tapi, aku ... aku nggak bisa." Pria itu mengernyitkan kening, lalu mendorong kasar Nadira ke kepala ranjang. Tangan besarnya menarik tali pakaian Nadira. "Ah. Kamu mau apa?" "Sekarang bisa, 'kan?" tanyanya sambil menaikkan alis dengan nakal. Terdengar suara bernada riang dari luar. "Terima kasih, Tuhan! Bocah nakal itu paham juga!" Seruan itu sontak membuat Nadira terhenyak. Hati Nadira tertekan karena malu. Bahunya terbuka, memperlihatkan kulit seputih susu miliknya. Tatapan pria itu makin dalam saat menyapu tubuh Nadira hingga dia mencium aroma manis … Karena mereka berdiri terlalu dekat satu sama lain, Nadira hanya bisa merasakan betapa kuat dan berototnya tubuh pria itu. Wajahnya merah padam, situasi ini terasa berbahaya baginya. Dia hanya ingin pria itu segera menjauh, membuatnya sengaja menjerit kecil. "Ah!" "Bocah nakal, hati-hati! Menantuku sedang hamil cucu kesayanganku!" Pria itu menunduk, lalu menatap wajah Nadira yang merona. "Kamu sengaja balas dendam padaku, ya?" Nadira memutar matanya. "Su-sudah cukup belum?" Pria itu tersenyum samar. Dia tidak lagi mempermainkan Nadira, lalu berdiri dan melepaskannya. Aura dingin yang dipenuhi kontrol diri itu menjauh. Pria itu berjalan ke sofa, duduk, lalu melepas dasi dengan santai. Dengan bahu lebar, pinggul ramping, dan kaki jenjangnya, pria itu memancarkan aura elegan nan dingin. Pria ini memang punya alasan untuk merasa percaya diri! Nadira merapatkan diri di kepala ranjang, melirik ke arah pintu dengan gugup. "Apa kita harus tidur bersama malam ini?" "Kamu mau begitu?" Pria itu meraih sebuah majalah, meliriknya sekilas dengan mata hitamnya yang tajam. Nadira terhenyak. Kemudian, dia melempar ejekan ringan. "Menurutmu, aku serendah itu hingga menyentuh seorang gadis yang sedang hamil muda?" Nada bicaranya sinis dan serius, bahkan menyebut Nadira sebagai "gadis yang sedang hamil muda." Nadira agak kesal. Apa pria itu sudah sangat tua? Dia menatap topeng perak itu dengan rasa ingin tahu. Apa wajah di balik topeng itu sangat jelek atau ada bekas luka yang perlu disembunyikan? Dia tetap duduk di sana. Nadira pun memakai kembali pakaiannya dan merangkak ke atas tempat tidur. Pria itu langsung mematikan lampu. Nadira memberanikan diri untuk berhati-hati ketika bertanya, "Pak, Bapak sudah menyelidiki aku begitu rinci. Aku boleh tahu umur dan nama Bapak, nggak?" Tidak ada jawaban dalam waktu lama. Pria itu jelas mengabaikannya. Pria ini begitu dingin dan sulit dipahami, sangat sulit diajak bergaul. Sikap angkuh dan misterius miliknya membuat Nadira merasa, dia pasti dari keluarga sangat terpandang. "L." Saat Nadira hampir tertidur karena kelelahan, dia mendengar suara berat itu. Bahkan, dia enggan memberi tahu nama lengkapnya. Siapa sebenarnya pria ini? Apa dia menutupi wajahnya karena mengenal Nadira? … Pagi harinya, sang ibu mertua menghampiri Nadira dengan senyum lebar. "Nadira, ibu lihat kalian sangat cocok! Ayo, makan sup ini banyak-banyak. Semalam, ayahnya nggak menyakiti cucu kesayanganku, 'kan? Jika cucuku terluka, kupukul dia!" Keheningan sempat menyelimuti untuk sesaat. Nadira hampir tersedak. Ibu mertuanya sungguh ceria. Kalau bukan karena wajah pucatnya, tidak ada yang menyangka dia sisa hidupnya satu tahun lagi. Matanya melirik ke ujung meja makan. Di sana, sudah duduk seorang pria tampan dengan kemeja putih dan celana hitam. Dia masih mengenakan topeng perak setengah wajah. Hidungnya mancung, sementara bibirnya tampak tipis nan indah. Namun, wajahnya tampak berekspresi dingin, terlihat sudah terbiasa dengan sikap ceroboh ibunya. Para pelayan dan ibu mertuanya pun tidak terganggu dengan topeng pria itu. Hal itu justru membuat Nadira makin penasaran. Siapa sebenarnya pria ini? Identitasnya terasa begitu misterius. Saat itu, Bi Delia turun dari lantai atas, membawakan saputangan, lalu bertanya pelan pada ibu mertuanya. "Nyonya Besar, saputangan ini masih bersih. Perlukah kita simpan kembali?" Nadira melirik saputangan itu, tidak paham maksud yang dituju. Ibu mertuanya tertawa ketika melihat Nadira dipenuhi rasa ingin tahu. "Ini saputangan untuk malam pertama pernikahan, dipakai untuk memeriksa keperawanan. Bi Delia juga nggak tahu gunanya, makanya dikembalikan padamu …" "Kumohon jangan lagi urusi hal-hal kuno nggak masuk akal begini!" Akhirnya, pria itu buka suara, terdengar tidak senang. Dia berjalan ke meja Nadira untuk mengambil selai. Saat berdiri di dekatnya, dia menaikkan alis dengan sikap angkuh. "Dia masih perawan, putramu ini tahu." Nadira sontak terkesiap. "Apa aku benar?" Merasa tidak yakin, dia menyelipkan tangan ke saku dan mencondongkan wajahnya ke telinga Nadira, lalu bertanya padanya. Telinga Nadira yang putih pun merona. Bagaimana dia harus menjawab? Terlebih lagi, pria itu tidak kunjung menjauh. Aroma maskulin yang dingin itu terasa begitu kuat. Harum, tetapi membuat kulitnya merinding. Takut pria itu bicara hal yang lebih keterlaluan, Nadira tampak kesal ketika menyuapkan satu sendok sup padanya. "Makan saja, jangan banyak bicara!" "Nyonya Nadira ... Tuan punya misofobia yang sangat serius!" seru Bi Delia dengan wajah panik. Namun, pria itu hanya menatap wanita mungil di depannya, lalu menelan sup itu tanpa bicara apa-apa. Dia tersenyum samar sebelum duduk santai kembali. Makin tenang pria itu, makin bersemu wajah Nadira. Melihat sendok yang tadi dipakai pria itu, dia bingung apakah harus menggunakannya lagi atau tidak. Ibu mertuanya terkikik sambil menyodorkan sendok itu ke tangan Nadira. "Nadira, cepat makanlah! Ciuman nggak langsung tetap manis sekali, ya? Eh, Nak. Telapak tanganmu kenapa?" Tiba-tiba, dia meraih tangan kanan Nadira. Nadira menunduk, ekspresinya berubah dingin. Pada hari penculikannya, Sabrina sengaja menginjak tangannya hingga terluka parah. Jika dia tidak tahu bagaimana caranya mengobati diri sendiri hingga memanfaatkan tanaman obat saat kabur, tangannya mungkin sudah cacat! Sabrina selalu iri pada bakat desain dari tangannya. "Kenapa semalam kamu nggak bilang?" Pria itu melirik dengan tatapan dingin sambil mengernyitkan dahi. "Bi Delia, panggil dokter." Nadira terkejut saat dokter keluarga itu tiba. Bukankah ini dokter paling terkenal di Rovelia? Keluarga Winata pernah mencoba mengundang dokter tersebut, tetapi tidak berhasil. Siapa sangka, ternyata sosoknya adalah dokter tetap di kediaman ini? Siapa sebenarnya pria di hadapan Nadira ini? "Psst!" desis Nadira pelan saat obat terkena lukanya. Suara tersebut membuat pria itu menurunkan koran yang sedang dia baca. Dia menyilangkan kaki dengan tenang. Matanya tertuju kepada tangan kecil Nadira yang penuh luka, tetapi jari-jarinya tetap lembut dan putih. Jari-jari itu pernah menyentuh tubuhnya … Dia menelan pelan ludahnya, kemudian berdiri sambil memerintah dokter dengan alis terangkat. "Tangannya bagus, jangan sampai ada bekas luka!" Dokter itu gemetar ketakutan. Nyonya Besar di dekatnya terkikik dan berbisik kepada Nadira. "Bagus apanya? Bocah nakal ini pasti berpikir macam-macam!" serunya. Nadira terdiam dan seketika paham. Baru kali ini, dia bertemu mertua yang blak-blakan sepertinya. Wajahnya bersemu, tetapi lelaki itu mengabaikannya dan menatapnya dengan serius. Sang Nyonya Besar langsung cemberut. … Selepas sarapan, ibu mertuanya mendorong keduanya keluar. "Cepat urus surat nikahnya! Aku baru tenang kalau kalian sudah mengurusnya!" Di luar, sebuah Bentley sudah menunggu di depan pintu. Pria itu membuka pintu mobil untuknya dengan sopan, lalu Nadira memasuki mobil dengan canggung. Di kursi depan, sang asisten menyerahkan sebuah laptop pada pria itu. Setelah itu, dia tidak bicara sepatah kata pun. Nadira ingin mengintip sesuatu dari laptop itu, tetapi dia tidak berani. Tidak lama kemudian, mereka tiba di Kantor Catatan Sipil. Hari ini, tidak banyak pasangan yang datang untuk mendaftarkan pernikahan. Namun, Nadira langsung melihat dua sosok yang sangat dikenalnya setelah turun dari mobil. Yohan dan Sabrina!

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.