Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 2

Nadira tertegun, wajah kecilnya pucat pasi, dan jantungnya berdegap kencang. Dia saja tidak tahu apakah pria itu tinggi, pendek, tua, atau buruk rupa! Dia hanya inginminta tolong, tetapi justru ... amarah dan rasa malu yang memenuhi hatinya. Pria itu cepat-cepat membawanya ke mobil. Nadira tidak melawan karena dia tidak punya tempat untuk pergi. Rumah sakit terlalu ramai. Selain itu, sebagai sosialita nomor satu di Rovelia, kehadirannya di sini hanya akan menyerahkan nyawa ke tangan keluarga Winata! Nadira mengepalkan tangan dan mengamati Bentley yang sederhana itu. Pria itu menjawab panggilan telepon, kemudian bicara penuh hormat menuju orang di seberang telepon. "Ya, Nyonya Besar. Saya sudah jemput Nyonya Nadira." "Jangan terlalu bersemangat, cucu kesayanganmu belum lahir, kok." Dia mencoba menenangkan nenek itu dengan nada lembut. Mobil segera tiba di sebuah vila mewah yang ada di lereng gunung. Begitu turun dari mobil, dua pelayan wanita menyambut Nadira di pintu. "Ini Bi Sunny dan Bi Delia. Mereka akan merawatmu selama sepuluh bulan, sampai kamu melahirkan anaknya," kata pria itu. Nadira terkejut. Dia sadar telah ditipu dan tatapannya berubah dingin. "Dia sudah memperkosaku. Sekarang, ingin kurung aku buat melahirkan anak? Suruh bajingan itu menemuiku!" "Tuan itu bukan bajingan. Hari itu, dia dijebak. Kalau nggak, kamu juga nggak akan punya kesempatan." Nadira hanya bisa terdiam tanpa respons. Nadira begitu marah hingga dipaksa masuk ke rumah. Walaupun tubuhnya lemah, dia tetap menolak hingga melakukan aksi mogok makan di depan para pelayan. Dia memaksa mereka untuk menelepon tuan rumah. Menjelang malam, Bi Delia datang seraya membawa kabar. "Tuan akan datang menemuimu malam ini." Nadira diam-diam mengepalkan tangan. Dia marah sekaligus penasaran pada pria itu! Malam makin larut, Nadira pun bersembunyi di kamar sambil mendengar suara mesin mobil di bawah sana. Terdengar percakapan pelan. Lalu, terdengar sayup hingga menghilang seketika di depan pintu. Gagang pintu kamar berputar perlahan ... Jantung Nadira berdetak kencang. Dia cepat-cepat meraih vas bunga, memegangnya erat sambil menahan napas. Pintu terbuka, memperlihatkan bayangan tinggi besar melangkah masuk. Kehadirannya langsung membuat ruangan mencekam. Pria itu sangat mengintimidasi! Nadira tersentak sebelum menyadari bahwa pria itu telah mengetuk pintu dengan sopan sebelum masuk. Kemudian, sepasang kaki jenjang yang sangat mencolok tampak melangkah masuk. Nadira yang panik dan marah pun sontak mengangkat vas bunga di tangannya. Pria itu mematikan rokok yang dijepit di tangannya, menurunkan jari-jari rampingnya, lalu memberi peringatan bernada dingin dan angkuh. "Sebelum kamu memukulku, dua langkah di belakangmu ada sofa. Jangan sampai jatuh." 'Eh?' batin Nadira yang terkesiap. Nadira melihat ke belakang dengan rasa canggung. Suaranya terdengar lembut dan dalam, tetapi nada bicaranya sangat tegas. Nadira menatapnya tajam. Pria yang begitu kasar malam itu, tengah berdiri di hadapannya dengan penampilan yang sangat berbeda. Kali ini, dia tampak sopan, berkelas, dan sangat santun. Hanya saja, ada aura dingin yang sangat kuat tengah mengelilinginya, seolah-olah dia punya kendali penuh atas segalanya. Sungguh sulit membayangkan bahwa kedua sosok itu adalah orang yang sama. Saat pria itu berbalik, Nadira melihatnya mengenakan topeng perak setengah wajah. Dia tidak bisa melihat wajahnya, hanya tahu jika pria itu berhidung mancung, garis wajah yang tegas, dan rahang sempurna. Pria itu mengambil vas dari tangan Nadira, lalu menatap dirinya dengan ekspresi dingin. "Kalau hari itu aku menyakitimu, aku minta maaf, tapi hanya untuk itu." Nadira tertegun, lalu wajahnya bersemu. Pria itu berdiri di hadapannya. Tubuhnya yang tinggi menjulang terlihat sangat mengintimidasi. Pria itu menatapnya, terdengar mengejek saat berkata, "Aku nggak peduli apa tujuanmu sampai naik ke mobilku dan sengaja membuat ibuku tahu soal kehamilanmu …" "Kamu salah paham!" kata Nadira, menggigit bibirnya. Pria itu menunduk untuk menatapnya. "Hidup Ibu sisa satu tahun lagi. Sesuai yang kamu mau, kita menikah. Setelah melahirkan anak setahun setelahnya, kamu pergi dan kuberi kamu kompensasi." Ucapannya terdengar seperti perintah, bukan diskusi. Wajah Nadira mulai kebiruan karena marah. "Kamu menganggapku sebagai alat melahirkan anak dan membujuk ibumu. Kenapa aku harus setuju?" Dia menyalakan televisi, mata hitamnya mengandung sedikit rasa ingin tahu. Nadira langsung menyaksikan berita itu. "Pak Halim mengonfirmasi kematian Nadira karena skandal perselingkuhan! Pemakaman dijadwalkan besok sore. Menurut surat wasiatnya, Ruby Jewelry akan diambil alih Yohan. sedangkan warisan besar dari kakeknya akan jatuh ke tangan adik perempuannya, Sabrina. Keluarga Winata sangat berduka ..." Wajah Nadira yang biasanya berekspresi datar sontak menegang karena amarah. Mereka tidak sabar untuk menguburnya, bahkan wasiatnya pun dipalsukan dengan sempurna! "Keluarga Winata memperlakukanmu seperti ini, apa kamu nggak ingin balas dendam?" "Mau!" gumam Nadira sambil menggertakkan gigi. Dulu, dia begitu memercayai ikatan keluarga palsu ini. Ayahnya meminta dia untuk selalu mengalah kepada adiknya. Yohan juga memintanya untuk mendukung Sabrina, berjanji akan menikahi Nadira suatu hari nanti. Karena itu, dia memberikan segalanya, hanya untuk membuat jalan sempurna untuk kebahagiaan orang lain! "Kamu ini layaknya orang mati, bahkan nggak punya tempat sembunyi. Apa kamu punya pilihan?" Mata gelap pria itu menatapnya tajam, seolah-olah sedang bernegosiasi. Dia menyerahkan selembar perjanjian, lalu diletakkan olehnya dengan anggun. Nadira menarik napas dalam-dalam, menahan air mata, lalu menunduk. "Nggak punya, aku butuh perlindunganmu." Dia menatap angkuh. "Perlindungan dariku bergantung dengan seberapa tulus kerja sama darimu. Kita menikah atas dasar tiga syarat." "Jangan saling ikut campur, jangan mengkhianatiku, dan jangan pernah coba mencintaiku," tegas pria itu. Dasar pria narsis! Nadira mengambil pena, perlahan membubuhkan tanda tangan di dokumen itu. Pria itu berdiri, lalu bicara seperlunya. "Besok kita urus surat nikah!" Nadira mengangguk. Setelah beberapa saat, dia mengernyitkan dahi dan bertanya, "Anak ini … haruskah aku melahirkannya?"

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.