Bab 11
Beberapa saat kemudian, sang guru berkata lagi, "Alena, kamu sudah mendapatkan buku nikah dengan orang itu sesuai garis takdirmu. Selanjutnya terserah kamu mau bagaimana, 'kan? Temui saja dia besok dan beri tahu dia kalau kamu ingin bercerai."
"Masa sudah bercerai di saat aku belum benar-benar mengenalnya?"
Alena berhenti menyantap telur dadarnya, lalu melanjutkan, "Kalau begitu, namanya menikah dan bercerai kilat, Guru."
"Guru nggak tahu kalau ternyata kamu menikah kilat dengan anak orang kaya. Mereka itu bukan tipe orang yang mudah didekati, standarnya pasti tinggi. Guru yakin ada alasan lain kenapa dia mau menikah denganmu. Bisa saja dia cacat atau semacamnya ...."
"Dia nggak cacat. Langkahnya terlihat mantap, semua bagian tubuhnya juga terlihat sehat."
Sang guru terdiam sesaat, lalu berkata, "Yah, mungkin dia bermasalah di area itu."
Alena sontak tertegun, lalu akhirnya bertanya, "Apa hubungannya itu denganku?"
Sang guru merasa kesal sekaligus tidak berkutik, jadi dia terpaksa menjelaskan dengan kikuk, "Maksud Guru, dia nggak hebat di atas kasur. Luarnya saja terlihat seperti laki-laki, tapi sebenarnya nggak bisa. Kalau nggak, mana mungkin seorang besar bos mau menikah kilat denganmu? Kalian saja nggak saling kenal sebelumnya."
Alena akhirnya menyadari maksud gurunya. "Oh, itu yang Guru maksud. Yah, aku nggak tahu sih soal itu. Kami langsung pergi masing-masing setelah dapat buku nikahnya, jadi aku nggak bisa berkomentar soal itu kalau nggak punya rasa apa-apa. Nanti saja kita bicarakan lagi kalau memang sudah ada rasa dalam hatiku."
"Dia juga bukannya cacat atau semacamnya, dia itu didesak menikah oleh neneknya. Dia pasti mau nikah kilat denganku karena kesal terhadap neneknya, dia memanfaatkanku untuk mengatasi desakan neneknya. Oh, dia juga menyuruhku untuk nggak kasih tahu siapa-siapa soal ini. Dia meminta pernikahan kami dirahasiakan."
Sang guru pun terdiam sesaat, lalu berkata, "Ya ampun, kamu juga ikut andil kalau begitu. Apa pun alasannya, dia itu anak keluarga kaya. Kamu nggak seharusnya jadi istrinya. Besok, temui dia dan ajak cerai saja."
"Besok, ya .... Berarti aku harus ke kota lagi."
Alena terlihat sangat enggan.
Dia suka tinggal di pegunungan, tidur sepuasnya setiap hari hingga dia terbangun sendiri, memperbaharui bab baru karyanya yang sebanyak empat ribu kata, memelihara bunga dan tanamannya atau pergi ke halaman belakang untuk menanam sayuran. Dia juga suka berendam di paviliun kecil yang gurunya dirikan untuknya sambil membaca buku dengan santai dan menghabiskan sepoci teh.
Setelah dipelototi oleh gurunya, Alena pun segera berkata, "Oke, oke, besok aku akan menemuinya untuk membahas perceraian."
"Ayo makan."
Setelah selesai memasak, gurunya pun mengajak Alena untuk makan. Alena mengambil sepiring telur dadar daun bawang dan berjalan keluar dari dapur sambil memakan beberapa potong.
Sang guru memperhatikan Alena yang menyukai makan itu, lalu berkata, "Sifatmu yang seenaknya ini nggak akan cocok dengan keluarga kaya. Aku bukan orang jahat yang memaksamu bercerai."
"Guru, aku nggak masalah kok kalau harus cerai. Itu hanya masalah mengurus surat. Begitu dapat surat cerai, ya semuanya berakhir. Aku nggak akan sedih atau merasa apa-apa."
Mana mungkin sedih jika Alena tidak pernah melibatkan perasaannya?
Dia sama sekali tidak sedih, dia hanya merasa sedikit lelah karena besok harus ke kota lagi.
Sedangkan minum teh dan membaca buku di rumah itu sesuatu yang sangat menenangkan.
Kediaman mereka memang merupakan tempat yang paling cocok dan nyaman untuk pensiun dan melepaskan hal duniawi.
Sang guru pun pergi mengambil sebotol anggur.
Sementara Alena segera mengambil dua gelas anggur.
"Jangan minum, habis ini 'kan kamu harus turun gunung untuk mengambil tas tanganmu. Kalau kamu mabuk, nanti kamu tidur di pinggir jalan dan Guru nggak kuat menggendongmu pulang. Kamu itu sudah besar, sedangkan Guru makin tua. Guru sudah nggak bisa menggendongmu yang tertidur di mana-mana pulang seperti dulu."
Alena pun mengambil botol anggur dari tangan gurunya, lalu mengisi kedua gelas mereka sambil berkata, "Aku tahu batas maksimal toleransi alkoholku. Yang penting 'kan aku nggak mabuk. Guru juga makin tua makin sering ngomel. Cepat cicipi ceker ayam ini Guru, aku beli ini dari restoran langganan kita. Enak loh."
"Ada ceker ayam tanpa tulang. Tapi, karena kita bakal minum-minum, menurutku kita pasti akan pelan-pelan menikmati ceker ayamnya, jadi aku nggak beli yang tanpa tulang."
Sang guru pun mengambil sepotong telur dadar terlebih dahulu dan memakannya. "Wah, ternyata Guru makin pintar membuat telur dadar. Enak sekali."
"Ya, guru siapa dulu."
"Ucapanmu itu seolah-olah Guru memanfaatkanmu saja," seloroh sang guru.
Alena terkikik.
Dia menggerogoti ceker ayam sambil minum anggur. Menatap gurunya yang juga terlihat senang membuat Alena mendadak merasa hidupnya sangat bahagia.
"Kriiing .... Kriiing .... Kriiing ...."
Tiba-tiba, terdengarlah bunyi dering ponsel. Alena tetap duduk di tempat. Ponselnya masih tertinggal di dalam mobil, jadi sudah pasti yang sekarang berdering bukanlah ponselnya.
Sang guru pun meletakkan gelas anggur dan sendoknya, lalu bangkit berdiri dan mengambil ponselnya dari atas meja kopi. Dia menjawab panggilan itu.
Beberapa menit kemudian, dia kembali dan berkata kepada muridnya, "Besok Guru ikut kamu ke kota, ada urusan di sana. Guru mau cek bisa dibereskan atau nggak, kalau nggak bisa, baru Guru tolak."
"Guru 'kan sudah menerima permintaannya, memangnya masih bisa ditolak? Harusnya Guru ke sana dulu dan lihat situasi, lalu negosiasikan harga dan mulai bekerja. Kenapa sih Guru nggak pernah mengevaluasi diri dulu dan selalu asal terima permintaan? Kalau aku nggak ikut Guru setiap kali Guru mengusir hantu dengan kemampuan Guru yang nggak seberapa itu, Guru pasti sudah jadi arwah gentayangan karena diculik hantu."
"Yah, jadi arwah gentayangan juga nggak masalah."
Alena refleks memelototi gurunya.
"Oke, oke, Guru yang salah," ujar sang guru mengalah. "Yang tadi telepon itu Pak Elmer. Dia bilang hidup kakak perempuannya sial sekali, jadi dia minta tolong ke Guru untuk melihat apakah ada yang menggentayangi kakaknya atau nggak. Keponakan dan menantu keponakannya jadi banyak berubah, mereka nggak lagi menghormati yang lebih tua."
"Kalaupun memang digentayangi, pasti ada alasannya. Jangan-jangan dia melakukan sesuatu yang jahat, makanya melukai hati putra dan menantunya sehingga mereka tak mau mendukungnya lagi? Bisa saja 'kan dia terlalu malu untuk jujur ke keluarganya? Atau jangan-jangan keluarganya beranggapan bahwa karena dia itu ibunya, jadi si putra harus selalu memaafkan segala yang diperbuat oleh ibunya?"
Alena sangat menjunjung tinggi hukum sebab-akibat dalam segala hal. Dia pun menikmati siput gorengnya dengan tusuk gigi. Dia menyukai makanan itu, tetapi tidak bisa menyedot daging siput dengan mulutnya. Itu sebabnya dia membutuhkan tusuk gigi.
"Guru nggak tanya soal itu, besok kita cari tahu langsung saja. Pak Elmer bilang akan membayar mahal kalau berhasil. Bulan ini Guru nyaris nggak dapat permintaan apa-apa, jarang-jarang 'kan ada pesanan besar seperti ini. Kalau berhasil, biaya hidup bulan depan juga terjamin."
Walaupun yang menjadi klien mereka hanyalah bos dari kalangan menengah, tetap saja imbalan yang mereka dapatkan senilai jutaan.
Alena dan gurunya tinggal di pegunungan, jadi mereka hanya perlu membeli beras dan daging. Mereka menanam sendiri sayuran dan buah-buahan yang mereka makan. Bahkan minyak kacang tanah yang mereka gunakan mereka hasilkan dengan memeras kacang tanah yang mereka tanam sendiri. Itu sebabnya mereka tidak membutuhkan banyak uang. Beberapa juta saja sudah cukup untuk membiayai hidup mereka berdua.
"Pas sekali besok kamu juga bakal cerai. Guru bisa lihat seperti apa rupa suamimu."
"Buat apa? 'Kan bakal cerai?" tanya Alena.
"Benar juga. Ya sudah, kamu temui saja dia sendiri," jawab sang guru.
"Pak Geri! Pak Geri!"
Tiba-tiba, terdengar seruan dari luar.
"Biar aku saja yang lihat siapa yang datang, Guru," kata Alena.
"Oke."
Alena meletakkan piringnya, lalu bangkit berdiri dan keluar.
Ada seorang pria berdiri di luar pintu bambu dengan senter sambil berseru memanggil Geri Rajaswa, guru Alena.
Begitu melihat Alena keluar, dia langsung bertanya, "Alena, gurumu ada di rumah?"