Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 10

Setelah Alena memarkir mobil, Siana pun melangkah maju sambil tersenyum. "Alena, tadi Feli ada beli sesuatu yang dititip pulang ke kamu nggak?" "Ya." Setelah turun dari mobil, Alena membuka pintu kursi belakang mobil dan mencondongkan tubuh ke dalam. Dia mengambil beberapa tas dan keluar dari mobil, lalu berbalik badan dan menyerahkannya kepada Siana. "Feli juga membelikan baju baru buat Bibi dan Paman." Siana sontak tersenyum dengan senang, tetapi masih menegur putrinya, "Padahal kami nggak kekurangan baju. Feli sukanya buang-buang uang." "Bibi Siana, Feli membelikan Bibi pakaian karena itulah bukti baktinya kepada Bibi, bukan karena dia suka menghamburkan uang." Orang yang lebih tua memang seperti ini. Padahal mereka terlihat jelas sangat senang saat dibelikan apa pun oleh yang lebih muda, tetapi mereka tetap saja protes ini adalah bentuk pemborosan. Padahal besoknya mereka akan mengenakan pakaian baru itu dan memamerkannya ke seluruh penduduk desa. Gurunya Alena juga memiliki sifat yang sama. Setiap kali Alena membelikan gurunya sesuatu, gurunya itu pasti juga protes Alena buang-buang uang. Namun, gurunya itu juga bergegas turun gunung dengan gembira dengan dalih mau bermain catur, padahal dia sedang memamerkan betapa berbaktinya muridnya kepada seluruh penduduk desa. Barulah setelah itu dia mencari teman untuk menemaninya bermain catur. "Ya, ya, itu bukti bakti. Bibi nggak akan bilang mereka buang-buang uang lagi," sahut Siana sambil tersenyum. "Bagaimana kalau kamu makan malam bersama kami hari ini, Alena?" "Terima kasih, Bibi, tapi nggak usah. Aku makan di rumah saja. Guruku juga tadi sudah menelepon memintaku pulang. Aku sudah membeli beberapa lauk dan juga anggur buat guruku." "Ya sudah, cepat naik sana. Nanti kalau sudah gelap, jalanannya nggak kelihatan lagi. Kapan-kapan kalau kamu turun gunung lagi, kamu makan di rumah Bibi, ya." "Pasti," jawab Alena sambil tersenyum. Mobil Alena dan gurunya diparkir di rumah Keluarga Kusuma, jadi mereka paling dekat dengan Keluarga Kusuma. Bahkan terkadang mereka makan bersama di rumah Keluarga Kusuma. Setelah mengucapkan selamat tinggal kepada Siana, Alena keluar dari halaman rumah Keluarga Kusuma dan berbelok ke arah kiri untuk kembali ke gunung. Dia berbalik dan mengambil tas lain dari mobil, lalu keluar. Tas itu berisi makanan ringan dan anggur yang dia bungkus untuk dibawa pulang. Setiap kali turun gunung, Alena pasti akan pulang membawakan makanan untuk gurunya. Cuaca di Kota Dastan masih cukup panas di bulan September, tetapi sejuk di pegunungan. Hari ini hujan turun. Meskipun sekarang tidak hujan, langit segera menjadi gelap karena tidak ada matahari terbenam. Saat Alena mendaki ke puncak gunung, langit sudah menjadi gelap. Dia menoleh untuk melihat ke bawah gunung yang sudah bertaburkan kerlap-kerlip ribuan lampu. "Meong ...." Begitu melihat Alena kembali, kucing peliharaan Alena yang berbaring di atas meja batu langsung melompat turun dan berlari menuju pintu halaman. Alena membungkuk dan menggendong kucing peliharaannya, lalu membuka pintu bambu dan berjalan menuju halaman yang dipenuhi berbagai bunga dan tanaman. Dia berjalan melewati halaman dan masuk ke dalam rumah. Pintu rumah terbuka, lampu di dalamnya menyala dan aroma makanan tercium dari dalam. "Guru, aku pulang!" Alena berseru sambil berjalan ke dapur. "Aku ada bawa pulang ceker ayam dan siput goreng buat Guru. Kita punya kacang, 'kan? Ayo goreng sedikit biar bisa jadi teman minum Guru buat dua gelas. Guru lagi masak apa? Wangi sekali." "Baunya seperti daun bawang. Guru lagi masak telur orak-arik dengan daun bawang?" Alena menurunkan kucingnya, lalu meletakkan ceker ayam dan siput goreng di atas kompor. Setelah mencuci tangannya, dia bisa melihat gurunya sedang membuat dadar telur dan daun bawang kesukaannya. Alena segera mengambil sepotong dan memakannya. "Pakai sendok sana. Kamu sudah sebesar ini kok masih makan pakai tangan." Sang guru menegur Alena. "Kok ngurus buku nikah saja sampai seharian?" Alena mengeluarkan sebuah garpu dari dalam lemari, lalu memakan sepotong telur dadar lagi. "Bibi Siana meminta Feli membelikan beberapa barang, jadi Feli mengajakku makan dan menemaninya belanja. Waktu pulang aku kena macet, makanya jadi lama." Sang guru pun mengeluarkan dua buah piring, lalu menuangkan ceker ayam dan siput goreng yang Alena belikan itu ke atas piring masing-masing. Siput goreng itu masih mengepulkan uap panas, jadi dia bertanya kepada muridnya, "Kamu beli ini di kota?" "Ya." "Mana buku nikahmu? Guru mau lihat." Alena menyentuh saku celananya, tetapi tidak ada apa-apa di sana. Dia pun berkata, "Ada di dalam tasku." "Ambillah." Setelah berpikir sejenak, Alena berkata, "Guru, sepertinya tas tanganku tertinggal di mobil. Ponselku juga." "Nanti saja aku turun lagi buat ambil setelah makan. Buku nikahku sudah jadi, suamiku juga nggak bakalan bisa ke mana-mana. Guru, suamiku sangat tampan. Dia bahkan lebih tampan dari artis-artis terkenal itu. Dia juga penuh dengan energi. Sekali lihat saja langsung tahu dia itu sangat sehat." "Tadi ada hantu perempuan yang berniat menjadikannya suami alam baka waktu melihatnya, tapi energinya terlalu kuat jadi hantu perempuan itu nggak bisa mendekat." "Apa gunanya ketampanan? Pria itu harus bisa menghasilkan banyak uang supaya anak istrinya hidup enak." Karena buku nikah Alena tertinggal di dalam mobil, itu berarti sang guru belum bisa melihat wajah suami Alena. Dia pun berbalik badan dan lanjut memasak. Makan malam mereka berdua sangat sederhana, biasanya hanya terdiri dari dua menu. Dengan dua lauk yang Alena bawa pulang malam ini, menu makan mereka jadi ada empat. "Dia sangat hebat. Dia baru berusia 30 tahun, tapi sudah jadi bos perusahaan besar," jawab Alena sambil memakan telur dadarnya lagi. "Mobilnya saja Maybach, dia punya sopir dan sekelompok pengawal." "Itu benaran apa karanganmu saja?" Pria tua itu menoleh dan bertanya kepada muridnya. Terlihat jelas dia tidak percaya muridnya ini bisa menikah kilat dengan seorang CEO yang muda dan tampan begitu turun gunung. Berkat kemampuan mistisnya yang cukup baik, bagaimana penduduk Desa Tanggar membantu membangun reputasinya dengan membual bahwa dia adalah orang sakti, serta bantuan mata ketiga muridnya, pria tua ini cukup dikenal di Kota Dastan. Dia sering kali menemui klien yang merupakan bos-bos kaya. Dia sudah bertemu dengan sekitar 50 orang kaya. Mereka semua seumuran dengannya, botak, perutnya buncit dan hobi mengenakan kalung emas berukuran besar. Mereka semua terlihat seperti orang kaya baru. Sang guru belum pernah melihat bos yang usianya masih 40 tahun ke bawah, biasanya sudah di atas 40 tahun. Muridnya adalah seorang penulis novel online. Novel yang biasa dia tulis bertemakan CEO kaya dan mendominasi yang jatuh cinta kepada si tokoh utama wanita atau novel dengan tema supernatural. Alena lebih fasih menulis novel supernatural, mungkin karena dia bisa melihat hantu hampir setiap harinya. Itu sebabnya tata katanya mudah dimengerti dan memungkinkan para pembaca untuk hanyut dalam suasana seolah-olah memang mengalaminya sendiri. Novel supernatural karangan Alena juga sama sekali tidak menakutkan. "Guru, aku bisa membedakan antara kenyataan dan fiksi. Memang begitu adanya." "Dia yang kasih tahu kamu?" "Nggak, aku lihat sendiri dan kukonfirmasi langsung ke orangnya. Oh, dia itu bos perusahaan Feli, jadi nggak mungkin bohongan." Ekspresi guru Alena terlihat terkejut dan tidak percaya. "Siapa namanya? Coba nanti guru telepon Pak Darma, mana tahu dia kenal dengan suamimu. Guru masih nggak percaya. Selama ini 'kan kita nggak pernah bertemu dengan bos kaya yang masih muda dan tampan." Alena menjawab dengan santai, "Tipe-tipe bos yang biasanya Guru temui itu kelas kecil atau menengah. Guru hanya belum pernah melihat bos yang berasal dari keluarga yang benar-benar kaya, tapi itu nggak berarti mereka nggak ada. Suamiku itu keturunan keluarga kaya." Pria tua itu sontak terdiam. Alena menikah kilat dengan seorang pria tampan dan keturunan keluarga kaya?

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.