Bab 9
Plak!!
Bunyi tamparan itu terdengar sangat jelas di dalam ruangan.
Senyum di wajah Theo tiba-tiba menghilang.
"Kamu ... kamu benar-benar berani memukulku?"
Theo menatap Arman dengan tidak percaya.
Pria lemah dan tidak berdaya ini berani memukulnya?
"Tamparan tadi masih dianggap ringan. Lantaran ibumu nggak mengajarimu apa itu sopan santun, biar aku yang mengajarimu."
Arman angkat bicara sambil menatap Theo dengan dingin.
Sebelumnya, dia selalu menahan diri terhadap ibu dan adik Thalia ini karena mereka adalah keluarga Thalia.
Sekarang, dia tidak akan menoleransinya lagi.
"Kamu datang untuk mengajariku bagaimana seharusnya aku bersikap? Apa kamu punya hak untuk mengajariku?"
Theo, yang menyadari situasinya, langsung mengangkat sebuah vas bunga di dekat pintu dengan marah. Dia menghantamkannya dengan keras ke kepala Arman.
Dari kecil hingga besar, dia tidak pernah dipermalukan atau ditampar seperti ini!
Theo ingin membunuh Arman.
Tatapan mata Arman menjadi dingin. Dia langsung meraih lengan Theo dan memutarnya sekuat tenaga.
Krek!!
Terdengar suara yang tajam.
Lengan bawah Theo langsung patah.
"Argh!"
Rasa sakit yang begitu tajam membuat Theo berteriak keras. Vas bunga yang diangkatnya tinggi-tinggi terjatuh ke lantai dan pecah berkeping-keping disertai suara "Praannggg!!".
"Ah! Tanganku! Ah ... "
Theo memegangi lengannya yang patah dengan tangannya. Dia terus menerus menjerit kesakitan. Keringat dingin mengucur di dahinya.
"Kamu ... kamu berani memukul anakku? Aku akan melawanmu!"
Melihat anaknya dipukuli, mata Nimas langsung menjadi merah karena dendam. Dia bergegas maju untuk melawan Arman.
Namun, ketika melihat mata Arman yang tampak dingin itu, api di hatinya tiba-tiba menjadi padam.
Saat ini, Nimas menjadi menggigil karenanya.
Arman yang tampak dingin itu langsung menuju kamar tidur di lantai dua.
Selama hal tersebut berlangsung, Nimas sama sekali tidak berani menghalanginya.
Beberapa menit kemudian.
Arman kembali ke ruang tamu dengan sebuah kotak kayu sederhana di tangannya.
Di dalam kotak itu terdapat jepit rambut dan surat cinta.
"Aduh ... aduh ... "
Theo duduk di lantai. Dia merintih sambil memegangi lengannya.
Melihat kotak di tangan Arman, Nimas pun langsung berteriak dengan keras, "Apa yang kamu ambil dari putriku?"
"Kubilang, aku datang kemari hanya untuk mengambil milikku."
Arman menjawab dengan dingin. Ketika melewati Nimas, Arman menarik gelang zamrud dari pergelangan tangan Nimas. "Juga, gelang zamrud ibuku!"
Setelah berkata demikian, Arman langsung keluar dari pintu gerbang vila.
"Itu gelang zamrudku!"
Nimas yang menyadari situasinya berteriak dan ingin merebutnya kembali.
"Hmm?"
Arman berbalik dan menatap Nimas dengan tajam.
Nimas begitu ketakutan melihat penampilan Arman hingga tidak berani bergerak.
Apakah orang ini masih menantunya yang tidak berguna seperti yang diingatnya sebelumnya?
Setelah bercerai, Nimas merasa Arman seperti orang yang sama sekali berbeda!
Melihat Nimas hanya diam saja, Arman pun berbalik dan masuk ke dalam mobil Maybach hitam yang terparkir di pintu.
"Apa ini ... Maybach?"
Nimas memicingkan matanya.
Baru kemudian Nimas menyadari ada Maybach hitam yang diparkir di depan pintu vila!
"Bu, orang itu ... bagaimana dia bisa duduk di dalam Maybach?"
Theo juga terkejut. Pada saat ini, seolah-olah dia melupakan rasa sakit akibat patah lengan.
"Apa yang sebenarnya terjadi?"
"Ibu juga nggak tahu. Ibu akan membawamu ke rumah sakit terlebih dulu, kemudian menelepon kakakmu dan melihat apa yang akan dia katakan!"
......
Setengah jam kemudian.
Rumah Sakit Umum Pertama Kota Setala.
Kamar nomor 306.
Dalam balutan pakaian kerja OL berwarna hitam, Thalia buru-buru membuka pintu dan masuk. "Bu, apa Theo baik-baik saja?"
Dia sudah mengetahui segalanya melalui telepon.
Thalia juga datang bersama Chris.
"Nak, akhirnya kamu datang juga. Adikmu hampir saja dipukuli sampai mati oleh Arman barusan!"
Nimas langsung menangis begitu melihat putrinya.
"Kak, tanganku!"
Melihat Thalia datang, Theo pun langsung menangis.
Melihat wajah kuyu Theo dan tangan kanannya yang dibalut gips, Thalia pun langsung merasa iba. "Theo, apa Arman benar-benar memukulimu?"
"Ya, Kak. Dia bukan hanya mematahkan tanganku, tapi juga mengambil gelang zamrud dari tangan Ibu."
Theo menangis dan mengadu.
Setelah mendengar hal tersebut, Nimas buru-buru membumbui ceritanya. "Nak, kamu nggak melihat kejadiannya waktu itu. Pria itu memasuki vila tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dia bilang, dia ingin mendapatkan kembali apa yang menjadi miliknya. Dia juga bilang ingin mengambil kembali gelang zamrudku. Theo menghalanginya untuk masuk. Itu sebabnya, dia langsung menampar Theo dan mematahkan tangannya. Pria itu bilang, dia ingin memberikan sedikit pelajaran pada keluarga kita."
"Lihatlah, Nak. Betapa menyedihkannya keadaan Theo sekarang! Dia baru berusia 21 tahun dan belum menikah. Kalau bukan karena aku berlutut dan memohon pada Arman agar bersikap lembut, mungkin kamu nggak akan pernah melihat adikmu lagi!"
"Bajingan Arman! Berani-beraninya dia!"
Setelah mendengar hal tersebut, Thalia menjadi marah hingga seluruh tubuhnya gemetar.
Theo adalah adik kandungnya!
"Bu, aku akan menelepon Arman dan meminta penjelasannya."
Thalia benar-benar marah.
Setelah berkata demikian, Thalia langsung keluar dari ruang rawat inap dan menelepon Arman.
Pada saat ini.
Arman sedang duduk di dalam Maybach. Dia berkendara menuju Vila Widuri, kawasan perumahan mewah di Kota Setala.
Ketika melihat telepon dari Thalia, Arman sedikit mengerutkan keningnya.
Akan tetapi, dia tetap menjawab teleponnya.
"Arman, tolong berikan penjelasan padaku."
Begitu telepon terhubung, langsung terdengar suara Thalia yang bertanya sambil marah-marah.
"Penjelasan? Apa yang harus kujelaskan padamu?"
Arman tidak mengerti.
"Arman, kamu berani melakukannya, tapi nggak berani mengakuinya?"
Thalia berkata dengan marah.
"Apa yang harus kuakui?"
Arman menyahut dengan acuh tak acuh.
"Izinkan aku bertanya padamu. Apa tadi kamu memukul adikku?"
"Aku nggak menyangka, mereka akan mengadu padamu secepat ini. Ya, memang aku memukulnya, tapi ... "
"Ternyata kamu memang melakukannya!"
Thalia tidak bisa menahan diri untuk tidak memotong kata-kata Arman. "Arman, kamu nggak tahu malu. Apa hakmu untuk memukul adikku?"
"Aku nggak tahu malu? Kenapa kamu nggak menanyakan alasannya?"
"Apa perlu kutanyakan? Salah kalau kamu memukul adikku!"
"Hehe, ya benar. Selama bertahun-tahun ini, apa pun yang terjadi, akan selalu menjadi salahku."
"Bagus kalau kamu mengerti."
"Hehehe."
Arman kembali mencibir. Dia terlalu malas untuk bicara omong kosong dengan wanita ini. Arman pun langsung menutup teleponnya.