Bab 10
Tut tut tut.
Terdengar nada sibuk di ujung telepon. Thalia langsung mengentak-entakkan kakinya di tempat karena marah.
Dasar brengsek, dia benar-benar berani menutup teleponnya!
Thalia begitu marah hingga langsung kembali menelepon Arman.
Panggilan itu diangkat hampir seketika itu juga.
Hanya saja, kali ini nada bicara Arman terdengar jelas tidak sabar. "Belum selesai?"
"Arman kelakuanmu benar-benar luar biasa!"
Wajah Thalia merah padam karena marah. "Kamu mencuri gelang zamrud ibuku, melukai adikku, dan sekarang berani-beraninya kamu menutup teleponku!"
"Aku mencuri gelangmu? Gelang itu sebenarnya adalah warisan ibuku untukku, untuk aku berikan kepada calon istriku. Setelah kita bercerai, nggak ada salahnya kalau aku mengambilnya kembali."
"Kamu masih berani mengambil kembali gelang zamrud rusak yang kamu berikan? Kurasa kamu benar-benar sudah gila karena miskin."
"Ya. Aku benar-benar gila karena miskin."
Arman terlalu malas untuk berdebat dengan wanita ini.
"Kamu juga mengakui? Kudengar dari ibuku kalau kamu datang kemari dengan mobil Maybach? Kamu pikir dengan mengeluarkan uang untuk menyewa mobil Maybach, kamu bisa membuatku berubah pikiran? Aku bilang padamu ya, Arman, jangan mimpi!"
"Aku menyewa Maybach? Demi dirimu?"
Mendengar hal tersebut, Arman tidak bisa menahan tawa, "Thalia, tolong berhentilah bersikap narsis."
"Kalau begitu, katakan padaku, untuk apa kamu menyewa mobil?"
Thalia mencemooh.
"Apa urusannya denganmu?"
Arman menyahut dengan acuh tak acuh.
"Kamu!"
Amarah Thalia benar-benar meledak. "Baiklah, Arman. Aku nggak akan berdebat denganmu! Katakan, bagaimana kita akan menyelesaikan masalah pemukulan adikku?"
"Aku memukulnya karena dia pantas dipukul."
Arman kembali bersikap acuh tak acuh.
"Kamu! Kamu pikir kamu itu siapa, berani-beraninya memukul adikku! Apa kamu tahu, dia itu satu-satunya anak laki-laki di Keluarga Suryan?"
Thalia marah besar.
“Jadi, adikmu itu manusia, tapi aku, Arman Lambardi bukan manusia? Aku harus dihina olehnya dan nggak boleh melawan saat kepalaku mau dihantam dengan vas bunga, begitu 'kan?"
Nada suara Arman terdengar murung. Emosinya juga terpancing oleh kata-kata Thalia.
"Benar!"
Thalia berkata dengan semena-mena.
"Hei, Thalia, kamu benar-benar semena-mena!"
Arman tertawa dengan marah dan berkata, "Lantaran kalian semua begitu nggak masuk akal, jangan salahkan aku kalau aku nggak mengingatkanmu. Kelak, jangan biarkan ibumu dan adikmu menggangguku lagi. Kalau nggak, bukan hanya tangan saja yang akan patah. Itu saja."
Setelah berkata demikian, Arman langsung menutup teleponnya.
"Bajingan!"
Setelah telepon kembali ditutup, Thalia merasa begitu marah hingga memaki Arman.
Thalia mencoba menelepon lagi, tetapi tidak dapat terhubung.
Jelas, dia sudah diblokir oleh Arman.
Thalia begitu marah hingga hampir saja menjatuhkan ponselnya.
Pria yang tidak berguna ini, bukan hanya mengancamnya, tetapi juga memblokirnya!
Siapa yang sudah memberinya keberanian!
"Tunggu saja, Arman!"
Thalia menggertakkan giginya, menarik napas dalam-dalam, dan kembali ke ruang rawat inap.
"Bagaimana, Nak?"
Begitu Thalia masuk ruang rawat inap, Nimas buru-buru bertanya dengan penuh perhatian.
"Bajingan itu benar-benar menutup teleponku! Tapi, dia bilang di telepon kalau kalian menghina dia dan Theo ingin melempar kepalanya dengan vas bunga. Apa itu benar?"
Thalia bertanya.
Nimas langsung merasa cemas untuk sesaat. Akan tetapi, dia buru-buru berkata, "Jangan dengarkan omong kosongnya, Nak. Sebenarnya, kami nggak mengatakan apa-apa. Dia sendiri yang memaksa masuk ke rumah! Theo melakukannya hanya untuk membela diri."
"Hehe, aku tahu pria itu pasti penuh dengan kebohongan! Dia bahkan mencoba cara kotor seperti menyewa mobil untuk membuatku berubah pikiran dan membuatku menyesal. Apa dia pikir aku ini nggak mengetahuinya?"
Thalia terlihat sinis.
"Sewa mobil?"
Nimas mengerjap-ngerjapkan matanya dan menghela napas lega. "Aku sudah bilang 'kan. Bagaimana mungkin pria itu bisa menjadi begitu kaya secara tiba-tiba?"
"Bayangkan saja, Bu. Kalau dia nggak mengambil kembali gelang zamrud yang diberikannya padaku, dia bisa dapat uang dari mana lagi?"
Thalia mencemooh.
"Nak, apa gelang zamrud itu masih bisa kamu ambil kembali?"
Nimas bertanya.
Yang paling utama, gelang zamrud itu benar-benar memiliki khasiat penyembuhan!
"Bu, bukankah itu hanya gelang zamrud yang rusak. Aku akan membelikanmu yang baru. Ini ada dua miliar. Ibu ambil dulu. Kata sandinya adalah tanggal ulang tahunku. Ibu bisa menggunakannya untuk membeli gelang zamrud yang lebih bagus. Juga, belikan beberapa suplemen nutrisi untuk Theo.
Thalia memberikan kartu ATM bersaldo dua miliar kepada Nimas.
"Kamu benar-benar perhatian, Nak."
Mendengar ada dua miliar dalam kartu ATM, Nimas langsung melupakan gelang zamrud itu.
Apa yang lebih penting dari uang?
"Bu, kita ini keluarga."
Thalia berkata dengan lembut.
"Eh."
Nimas berpura-pura menghela napas saat ini dan berkata, "Sebenarnya, Ibu nggak terlalu peduli pada gelang zamrud itu. Ibu hanya mengkhawatirkanmu."
"Mengkhawatirkanku?"
Thalia tampak terkejut.
"Ya, Ibu khawatir Arman akan datang mengganggumu lagi."
Nimas membuka mulutnya dan kembali berakting. "Hari ini, selain datang untuk mengambil barang, dia juga mengancam akan terus mengganggumu sampai kamu setuju untuk rujuk dengannya atau memberikan kompensasi sebesar 20 miliar!"
"Bajingan! Bagaimana dia berani mengucapkan kata-kata seperti itu!"
Thalia cantik Thalia langsung merah padam karena marah.
"Nak, dia bahkan berani mengancamku dan memukul adikmu. Apa lagi yang nggak bisa dia lakukan? Jadi, Nak, kamu harus segera menyelesaikan urusan dengan Tuan Muda Chris, agar orang itu benar-benar menyerah."
Nimas ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Kebetulan, hari ini Chris juga hadir di tempat itu.
"Benar, Kak."
Theo juga ikut menimpali.
Jika kakaknya bisa bersama Tuan Muda Chris dan menikah dengan Keluarga Sagara, Theo bisa membanggakannya di depan teman-temannya nanti.
"Bu, kenapa Ibu bicara seperti itu di depan Tuan Muda Chris ..."
Membicarakan hal tersebut, tiba-tiba saja Thalia menjadi malu.
"Ibu mengkhawatirkanmu. Ibu takut, kamu akan melewatkan Tuan Muda Chris yang begitu baik ini."
Nimas berkata dengan sungguh-sungguh sambil menatap Chris. "Tuan Muda Chris, terima kasih sudah menjaga Thalia selama ini. Aku minta maaf sudah membuatmu mentertawakan apa yang terjadi hari ini."
"Bukan itu masalahnya, Bi. Arman yang nggak tahu bagaimana menghargai orang."
Chris bicara dengan lembut dan sopan.
"Tuan Muda Chris, apa pendapatmu mengenai Thalia?"
Nimas kembali bertanya.
"Menurutku, Thalia itu sangat baik, lembut, juga berbakat."
Chris memberikan pujian.
"Hehe, itu bagus sekali. Tuan Muda Chris, coba pikirkan. Kenapa kamu nggak memutuskan hari bahagia ini secepatnya. Hal ini juga akan membuat bajingan Arman itu cepat menyerah dan nggak lagi mengganggu Thalia setiap harinya."
Nimas tersenyum lebar.
Chris mencibir dalam hati.
Bagaimana mungkin dia tidak bisa melihat apa yang dipikirkan Nimas?
Wanita tua ini, bukankah dia hanya ingin memanfaatkan pengaruh Keluarga Sagara untuk hidup enak?
Akan tetapi, Chris juga tertarik pada kecantikan dan potensi Thalia.
Dalam waktu lima tahun, Thalia berhasil memulai usaha dari nol dan mengembangkan perusahaannya hingga mencapai pendapatan sebesar dua triliun. Thalia juga terpilih sebagai salah satu dari sepuluh pengusaha terkemuka di Kota Setala kali ini. Hal tersebut sudah cukup untuk menunjukkan kemampuan Thalia.
Kuncinya, perusahaan Thalia juga bekerja sama dengan banyak perusahaan besar di Kota Auran.
Inilah yang paling diinginkan oleh Keluarga Sagara!
Chris ingin memanfaatkan kelebihan Thalia saat ini untuk memperluas pengaruh Keluarga Sagara.
Setelah menikah, dia bisa secara sah menggabungkan perusahaan Thalia dan perusahaan keluarganya.
Pada saat itu, selama Keluarga Sagara bisa menyelesaikan penggabungan dan serah terima dengan perusahaan-perusahaan terkemuka di Kota Auran, Thalia hanya akan menjadi wanita jalang yang bisa dicampakkannya kapan saja!
Tepat pada saat itu, Chris juga sudah cukup bersenang-senang dengan Thalia.
Ambisi Chris tidak pernah hanya sebatas Kota Setala yang kecil ini saja.
Sementara itu, Chris Sagara, seorang tuan muda bangsawan yang lahir dari keluarga kaya, tidak mungkin benar-benar menikahi seorang wanita yang sudah bercerai.
Target Chris adalah para wanita kaya dari Kota Auran dan Kota Yardan.
Thalia hanyalah batu loncatan menuju kesuksesan.
Jika tidak, bagaimana mungkin waktunya sepadan untuk melakukan semua ini?