Bab 8
Keesokan harinya, Ethan mengantarku ke rumah sakit untuk menjenguk ibuku.
Namun, ketika kami tiba di kamar, kami mendapati ruangan tersebut sudah kosong dan tempat tidurnya pun telah rapi.
Rasa panik menyeruak di hatiku dan aku pun segera bertanya kepada seorang perawat yang ada di koridor. "Permisi, maaf saya mau tanya kenapa pasien kamar 603 nggak ada di kamarnya, ya?"
"Pasien kamar 603 baru saja dipindahkan ke kamar VIP pagi ini," jawab sang perawat sambil menunjuk ke arah ujung koridor.
Saat mendengar jawaban tersebut, aku tertegun sejenak dan segera menoleh ke arah Ethan. "Apa kamu yang memindahkan Ibu ke kamar VIP?"
Ethan agak mengerutkan keningnya, tetapi mengangguk sambil menjawab dengan santai, "Ya, memangnya siapa lagi?"
"Terima kasih, Sayang," ucapku dengan penuh rasa haru.
Sebenarnya, kamar di Rumah Sakit Emberton sangat sulit untuk didapatkan. Bahkan Ethan harus menggunakan koneksinya dengan susah payah hanya untuk mendapatkan kamar biasa yang ditempati ibuku.
Namun, ibuku menderita kanker hati stadium akhir dan kualitas tidurnya sangat buruk karena rasa sakit yang dia rasakan. Selain itu, pasien di ranjang sebelahnya juga sangat berisik setiap malam dan erangannya pun membuat ibuku sulit untuk tidur dengan nyenyak.
Kakakku juga sudah berusaha keras untuk meminta bantuan orang lain demi mendapatkan kamar VIP yang lebih nyaman bagi ibu, tetapi sayangnya kamar tersebut selalu penuh.
Itulah sebabnya aku merasa sangat terkejut dengan perhatian yang ditunjukkan Ethan terhadap ibu. Kekecewaan yang kurasakan kemarin karena masalah dengan Avery pun langsung lenyap seketika.
"Nggak usah sungkan sama aku," ujar Ethan sambil tersenyum dan menggandeng tanganku menuju kamar VIP.
Aku menatap wajah tampannya dari samping dan merasakan getaran di hatiku. Setelah membulatkan tekad, aku pun berkata, "Ethan, ada sesuatu yang mau kukatakan padamu ... "
Kemarin, karena adanya masalah dengan Avery, aku belum sempat memberitahunya tentang kehamilanku.
Namun, karena sekarang kesalahpahaman dengan Avery sudah selesai, aku tidak akan menyembunyikan kabar ini lagi darinya.
"Apa itu?" tanya Ethan dengan penasaran.
Sebelum sempat mengatakan apa pun, aku mendengar suara Kakakku yang mengucapkan terima kasih dari dalam kamar VIP, "Pak Jayden, terima kasih banyak. Kalau bukan karena Anda, ibu saya mungkin nggak akan bisa mendapatkan kamar VIP ini ... "
"Kak Jonas, nggak perlu sungkan denganku. Aku nggak membantu banyak kok." Kata-kata Jayden terdengar jelas sampai di luar pintu kamar.
Aku pun menoleh ke arah Ethan dengan heran, lalu bertanya, "Apa kamu minta bantuan Kak Jayden?"
Ethan mengerutkan keningnya, lalu mengangguk dengan ragu. "Ya ... "
Aku bingung melihat jawabannya. Kenapa dia terlihat ragu-ragu?
Bukankah dia sendiri yang meminta bantuan Kak Jayden?
Namun, sebelum sempat kuutarakan pertanyaan itu, Ethan sudah lebih dulu mendorong pintu dan masuk ke ruangan.
"Ethan?" Begitu Kakakku melihat Ethan datang, alisnya langsung berkerut dan dia pun berkata dengan nada menyindir, "Kamu masih tahu jalan ke sini?"
Hubungan antara Kakakku dan Ethan memang tidak pernah akur, terutama setelah aku menikah dengannya. Kakakku selalu merasa bahwa Ethan tidak memperlakukanku dengan baik. Jadi, sikapnya terhadap Ethan selalu dingin.
Namun, Ethan sama sekali tidak menghiraukan sindiran Kakakku. Dia langsung mengalihkan perhatiannya pada ibuku yang sedang berbaring di ranjang seraya berkata, "Bu, apa Ibu sudah merasa lebih baik?"
"Ethan, akhirnya kamu datang juga. Ibu baik-baik saja, kamu nggak perlu khawatir." Ibuku tersenyum pada Ethan, tetapi karena kemarin dia baru saja melewati ambang kematian, wajahnya tampak sangat lelah.
"Aku sudah dengar dari Emily tentang kejadian kemarin," ucap Ethan lembut sambil mendekati tempat tidur ibunya. "Bu, maaf sudah membuatmu khawatir."
Ethan memang pantas disebut seorang pebisnis elite. Dengan kata-katanya yang terukur, dia berhasil meredakan ketegangan akibat 'insiden' kemarin.
Saat mendengar penjelasan menantunya, senyum lega merekah di wajah ibuku. "Syukurlah kalau hubunganmu dan Emily baik-baik saja."
Saat melihat tujuan kedatangannya telah tercapai, Ethan mengalihkan pandangannya pada Jayden dan berkata sambil tersenyum, "Kenapa kamu di sini?"
"Aku lagi jenguk teman dan kebetulan bertemu Tante Lauren. Jadi, aku sekalian mampir menengoknya," jawab Jayden santai, sambil sedikit memiringkan kepalanya untuk menatapku. "Oh ya, kemarin aku juga dengar dari Emily kalau Tante Lauren ingin pindah ke kamar VIP. Kebetulan aku punya kenalan di rumah sakit ini, jadi aku bantu urus kepindahannya."
Aku menatap Jayden dengan heran. Kenapa tiba-tiba dia membahas hal ini?
Selain itu, aku jelas tidak pernah bercerita padanya tentang rencana pindah kamar ...
Tunggu ...
Tiba-tiba aku menyadari bahwa kamar VIP Ibu ternyata disiapkan oleh Jayden.
Lalu, mengapa tadi Ethan mengatakan bahwa dialah yang mengurusnya?
Ethan jelas menyadari kebingunganku dan raut wajahnya pun terlihat canggung.
Dia berusaha menyembunyikan kegugupannya dengan mengusap hidung, lalu menepuk bahu Jayden sambil berkata, "Terima kasih, ya."
Jayden meliriknya, langsung menepis tangan Ethan dan berkata dengan senyum sinis, "Jangan besar kepala. Aku melakukan semua ini demi Emily"
"Dasar!"
Tidak lama kemudian, Ethan dan Jayden keluar untuk mengobrol bersama dan aku pun segera mencuci buah-buahan yang dibawa Ethan. Lalu, aku duduk di samping ranjang dan memotongnya kecil-kecil buah tersebut agar mudah ditelan oleh ibuku.
"Kemarin kamu dan Ethan nggak bertengkar, 'kan?" tanya ibuku dengan khawatir.
Karena tidak ingin membuat Ibu khawatir, aku pun menjawab, "Nggak, Bu."
"Syukurlah ... " Ibuku menghela napas lega, lalu berkata dengan suara lirih, "Kalau nanti Ibu sudah nggak ada, satu-satunya orang yang bisa kamu andalkan cuma Ethan ... "
"Bu ... " Hidungku terasa perih dan mataku pun mulai berkaca-kaca. "Jangan bicara seperti itu, Ibu pasti akan panjang umur."
Ibuku tersenyum lemah dan sorot matanya penuh dengan kerinduan dan harapan pada dunia. "Benar, Ibu masih ingin menyaksikan pesta pernikahanmu dan juga menggendong cucu darimu ... "
Aku menggenggam tangan ibuku, lalu menarik napas dalam-dalam dan akhirnya memberanikan diri untuk menyampaikan kabar gembira tentang kehamilanku. "Bu, aku sedang hamil."
"Apa?" seru Ibu dan Kakakku serempak.
"Emily, apa ... apa katamu?" Kakakku yang awalnya sedang bermain ponsel sontak berdiri dan menghampiriku. Seketika itu juga, raut wajahnya penuh dengan keterkejutan saat menatap perutku.
Saat melihat tatapan intens Kakakku, aku pun tanpa sadar mengangkat tangan dan mengelus perutku. Aku mengangguk, lalu berkata sambil tersenyum, "Aku hamil dan baru ketahuan kemarin ... "
"Syukurlah!" Ibuku tampak sangat gembira dan berkata, "Apa Ethan sudah tahu?"
"Aku belum sempat memberitahunya ... "
"Kamu ini! Bagaimana bisa kamu menyembunyikan kabar bahagia atas kehamilanmu darinya? Cepat beritahu Ethan dulu!" desak ibuku.
Karena tidak ingin mengecewakan ibu, aku pun keluar dari ruang perawatan untuk mencari Ethan.
Namun, setelah mencari ke sana kemari, aku tidak menemukan Ethan dan Jayden. Saat hendak menghubungi Ethan, tiba-tiba mendengar suara khas Jayden yang terdengar santai ...
"Apa Avery cerai sama suaminya karena kamu?" tanya Jayden dengan nada yang tidak biasa. Saat ini, suaranya terdengar lebih serius dan agresif.
Pertanyaan sederhana itu membuat Ethan terdiam sejenak sebelum akhirnya dia menjawab, "Ya."
Saat mendengar jawaban tersebut, senyum di bibirku langsung memudar. Rasanya seluruh darah dalam tubuhku membeku.
Aku merasa seperti terjatuh ke dalam lubang es yang sangat dingin ...