Bab 7
"Tutup mulutmu!"
Ibu mertuaku menegur Avery dengan nada keras. Setelah memberikan tatapan tajam kepada Avery, beliau menoleh ke arahku dan bertanya dengan cemas, "Emily, apa maksudmu soal skandal itu?"
Namun, sebelum sempat menjawab pertanyaan Ibu mertuaku, Ethan berkata dengan suara datar, "Bu, Ibu pasti tahu kalau paparazi suka mengarang cerita berdasarkan rumor. Aku sudah meminta anak buahku untuk menanganinya."
Setelah mendengar penjelasan Ethan, ibu mertuaku langsung memahami situasi yang sebenarnya. Dengan spontan, dia menatap tajam ke arah Ethan dan segera mengeluarkan ponselnya.
Di halaman depan media berita utama terdapat artikel besar yang mengumumkan perceraian Avery, dibarengi dengan berita skandal yang menyeret namanya. Foto yang menyertai artikel tersebut memperlihatkan dengan jelas foto Ethan yang tengah melindungi Avery di pelukannya.
Meskipun wajah Ethan dalam foto tersebut sengaja dibuat buram oleh para paparazi, tetapi wajah Ben justru terlihat sangat jelas.
Siapa pun yang mengenal Ethan pasti bisa dengan mudah mengenali sosok Ben dalam foto tersebut.
Brak!
Ibu mertuaku membanting cangkir tehnya dan terlihat sangat marah. Tatapan tajamnya menusuk ke arah Avery saat dia berseru, "Ethan nggak paham soal dunia hiburan. Apa kamu nggak tahu soal itu? Avery, dengar baik-baik! Ethan akan segera menikah dengan Emily. Jangan coba-coba mempermainkanku!"
"Tante ... "
"Sudahlah, rumahku terlalu sempit buat menampung bintang besar seperti Nona Avery!"
"Sayang, apa maksudmu?" Ayah mertuaku tidak tahan lagi dan berusaha untuk menenangkan suasana.
Namun, Ibu mertuaku yang sudah naik pitam langsung melotot tajam pada suaminya seraya berseru, "Diam!"
Seketika itu juga, Ayah mertuaku langsung terdiam dengan wajah muram.
Di sisi lain, Avery segera berdiri dan berusaha untuk membela diri, "Tante, aku dan Ethan sudah bersahabat sejak kecil. Kami memang pernah dekat, tapi sekarang kami hanya teman biasa! Aku juga nggak mau terus-menerus difoto paparazi. Jadi, ini semua bukan sesuatu yang bisa aku kendalikan ... "
"Sepertinya aku datang di waktu yang nggak tepat, kalau begitu aku akan pulang saja." Dia berhenti sejenak, lalu kembali menegaskan, "Tapi, aku nggak bersalah dalam masalah ini. Aku dan Ethan sudah jujur dan nggak melakukan kesalahan apa pun."
Setelah mengambil tasnya, dia berbalik dan pergi dengan sikap sombong.
"Ery ... " John yang melihat kepergiannya segera mengejarnya. "Tunggu! Om akan mengantarmu ... "
Tanpa memedulikan ibu mertuaku, ayah mertuaku langsung pergi mengejar Ery, sehingga membuat beliau marah besar.
Untuk sesaat, tidak ada seorang pun yang berani angkat bicara, sehingga suasana ruang tamu pun berubah menjadi sangat sunyi.
"Jadi, kalian mau mengadakan pesta pernikahan?"
Suara Jayden yang santai tiba-tiba memecah keheningan.
Seolah beban telah hilang dengan kepergian Avery, senyum kembali menghiasi wajah Ibu mertuaku. "Benar. Karena dulu kakeknya Ethan sedang sakit parah, jadi saat itu kami hanya mendaftarkan pernikahan mereka saja. Tapi, sekarang kondisi kesehatan kakeknya Ethan sudah jauh membaik, jadi kami akan mengadakan pesta pernikahan."
"Oh, jadi begitu ... " Senyum Jayden perlahan memudar dan bibir tipisnya kini membentuk garis lurus. "Sepertinya aku pulang di saat yang tepat."
Ethan tersenyum, lalu berkata, "Kenapa dulu kamu tiba-tiba masuk militer? Untungnya sekarang kamu bisa ikut merayakan pesta pernikahan kami."
Jayden tanpa sadar menundukkan kepalanya dan tidak memberikan tanggapan.
Tidak lama kemudian, makanan sudah siap dan meja makan pun penuh dengan hidangan lezat.
Ethan dan Jayden sudah lama tidak bertemu, jadi mereka memiliki banyak topik untuk dibicarakan, terutama soal bisnis.
Sepertinya karena kondisi kehamilanku, aku menjadi mudah lelah. Jadi, setelah makan malam, aku langsung pergi ke kamar.
Awalnya, aku berencana menunggu Ethan di kamar dan berbicara terus terang dengannya. Namun, kenyataannya aku malah tertidur dengan sangat pulas.
Dalam keadaan setengah sadar, aku bisa merasakan kehadiran seseorang yang mendekat. Sepasang lengan kekar menarikku ke dalam pelukannya. Embusan napas hangat menyentuh punggungku, diikuti oleh kehangatan tubuh sosok itu yang menempel pada tubuhku ...
Aku terbangun dengan terkejut dan refleks meraih pergelangan tangannya.
"Maaf, apa aku mengganggu tidurmu?" Dagu Ethan masih bersandar di leherku, sementara embusan napasnya yang mengenai pipiku terasa sangat geli.
Secara tidak sadar, aku langsung memalingkan wajahku.
Bibir Ethan mendarat di pipiku dan perlahan mendekat ke arah bibirku.
Saat mencium aroma alkohol dari mulutnya, perutku langsung terasa mual. Seketika itu juga, aku mendorong dadanya dan berkata, "Ada yang ingin kutanyakan padamu."
Ethan mengerutkan keningnya dan terlihat tidak senang dengan penolakan itu.
Dia pun menegakkan tubuhnya dan menatapku dari atas. "Apa kamu masih cemburu pada Avery?"
Tatapannya yang tajam membuatku merasa tertekan. Namun, aku tetap duduk dan menatap matanya tanpa berkedip. "Tadi, Ibuku melihat rumor tentangmu dan Avery. Dia sangat marah sampai pingsan dan harus dibawa ke ruang gawat darurat."
Ethan tampak terkejut dan berkata, "Apa ibumu baik-baik saja?"
"Ya, untungnya dia berhasil diselamatkan."
Ethan menghela napas lega, lalu berdiri dan mengambil kunci mobil di atas meja. "Ayo, kita ke rumah sakit."
"Untuk apa?" tanyaku dengan penuh keterkejutan.
"Ya untuk menjelaskan secara langsung padanya soal masalah itu."
"Menjelaskan apa?" Saat mengingat penjelasan darinya bahwa Avery ada sahabatnya sejak kecil, amarah di dalam hatiku langsung melonjak.
Saat ini, hubungan antara pria dan wanita bisa saja terasa sangat rumit. Apalagi dengan adanya Avery yang merupakan cinta pertama Ethan yang berpura-pura menjadi sahabatnya!
Ethan terdiam. Kemudian, dia mengeluarkan ponselnya, mencari sesuatu selama beberapa saat, dan menyerahkan ponsel itu kepadaku.
Aku mengernyit bingung.
Di layar ponselnya terdapat tangkapan layar laporan berita yang disertai dengan foto tragedi kecelakaan mobil. Di sana, terdapat seorang pria yang berlumuran darah dan terbaring di atas tandu ...
Ketika aku sedang bertanya-tanya mengapa Ethan menunjukkan hal-hal yang tidak jelas ini kepadaku, Ethan tiba-tiba berkata, "Pria itu suaminya Avery. Dia mengalami patah tulang parah di kedua kakinya karena menyelamatkanku dan sekarang dia jadi cacat ... "
Aku mendongak menatapnya dengan terkejut. Setelah beberapa saat, aku baru bisa bersuara. "Tapi ... bukannya Avery sudah bercerai?"
"Ya." Ethan mengangguk. "Kalau bukan karena aku, mereka mungkin masih akan menjadi pasangan idaman banyak orang. Jadi, aku merasa bersalah pada mereka ... "
Aku tidak menyangka bahwa perlakuan istimewa Ethan pada Avery ternyata karena alasan ini.
Meskipun Ethan merasa bersalah pada Avery, sulit untuk memastikan bahwa perasaan lama tidak akan bersemi kembali ...
"Lalu bagaimana perasaanmu pada ... "
Sebelum sempat menyelesaikan kalimatku, Ethan sudah mengacak-acak rambutku. "Kamu bilang kamu nggak cemburu."
Aku tidak bisa menahan diri untuk memelototinya dan berusaha merapikan rambutku yang acak-acakan. "Aku marah karena melihatmu terlalu peduli pada Avery padahal dia hanya memecahkan gelas ... "
Wajar jika Ethan khawatir ketika Avery mengalami kecelakaan mobil, mengingat suami wanita itu pernah menyelamatkan Ethan dari kecelakaan serupa.
Namun, reaksinya tadi terlalu berlebihan padahal Avery hanya memecahkan gelas.
"Saat suaminya divonis cacat seumur hidup, Avery pernah mencoba mengakhiri hidupnya ... " Ethan meraih tanganku, lalu melanjutkan dengan suara yang pelan. "Dia menggunakan gelas untuk melukai dirinya sendiri."
"Jangan hanya melihat sisi cerianya yang aktif dan mudah bergaul. Itu semua cuma topeng. Dia menderita depresi berat dan sangat rentan terhadap segala bentuk tekanan."
Aku terperanjat mendengarnya.
Jika kenyataannya memang seperti itu, tingkah laku aneh Ethan di hadapan Avery menjadi masuk akal.
Namun ...
"Meskipun begitu, rasa terima kasih dan penyesalanmu itu bisa dibalas dengan cara lain. Hubungan kalian berdua cukup rumit, jadi sebaiknya kalian jangan terlalu sering bertemu mulai sekarang ... " Aku memberikan saran dengan sedikit kekhawatiran.
Ethan mengangguk, lalu berkata, "Tenang saja, aku mengerti."
Saat mendengar jawabannya yang tegas, aku merasa lega, tetapi tetap agak khawatir ...
Aku hanya berharap bahwa Ethan benar-benar bisa bertindak sesuai ucapannya.