Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 9

Untuk sesaat, aku merasa tidak percaya dengan apa yang kudengar. Perceraian Avery disebabkan oleh Ethan? Padahal, sebelumnya pria itu mengatakan dengan tegas bahwa dia tidak mengetahui apa-apa tentang perceraian Avery ... Saat itu, pikiran liar memenuhi benakku yang gelisah. Namun, tiba-tiba, suara sinis dan penuh ejekan Jayden membuyarkan lamunanku. "Lalu, apa yang akan kamu lakukan? Apa kamu juga mau bercerai agar bisa kembali dengan Avery dan memperbaiki hubunganmu yang rusak?" Ethan tampak tidak senang dengan nada meremehkan Jayden. Suaranya pun menjadi lebih berat saat dia berkata, "Aku belum berpikir untuk bercerai dan nggak akan kembali padanya." Saat mendengar jawaban tersebut, hatiku yang tadinya dingin mulai terasa hangat. Sepertinya perceraian Avery memang karena keinginan wanita itu saja ... "Ethan, apa kamu menyukai Emily?" Pertanyaan itu membuat jantungku berdebar kencang. Aku sudah mencintai Ethan selama dua belas tahun dan mencurahkan seluruh hatiku untuknya. Namun, bagaimana dengan perasaannya? Akankah perasaannya padaku sedalam perasaanku padanya? Jantungku berdebar kencang saat menanti jawabannya yang mungkin bisa menghidupkan kembali harapan akan hubungan kami. Aku berharap dia mengungkapkan rasa cintanya padaku agar pernikahan kami masih bisa dipertahankan ... Namun, yang kulihat hanyalah keheningan. Keheningan yang tak berujung. Perlahan, hatiku mulai dingin kembali, hingga tiba-tiba sebuah panggilan telepon menyadarkanku. Panggilan itu berasal dari ponsel Ethan. "Halo, ada apa lagi? Bukannya sudah kubilang kalau hari ini aku sibuk?" sahut Ethan dengan nada kesal yang dibuat-buat, tetapi membawa kesan penuh keakraban. Jelas sekali bahwa orang yang ada di ujung telepon adalah Avery. Aku tidak bisa mendengar suara Avery dari telepon, tetapi suara Ethan tiba-tiba menjadi tegang saat dia berkata, "Oke, paham. Aku segera ke sana." Seketika itu juga, hatiku langsung terasa seperti teriris. Ternyata dugaanku benar. Ethan memang memperlakukan Avery dengan istimewa. Pria itu selalu meluangkan waktu dan mengalah demi Avery. Mungkin inilah yang disebut dengan diistimewakan dan dimanjakan, sehingga wanita itu tidak perlu khawatir dengan apa pun. "Ethan, kamu memang keterlaluan!" Jayden terlihat sangat marah dan suaranya pun terdengar berat dan tegas. Aura tegas yang telah dia asah di militer selama beberapa tahun terakhir terpancar dengan jelas, sehingga membuat orang di sekitarnya merasa tertekan. "Emily sudah mencintaimu selama lebih dari sepuluh tahun! Bahkan aku yang bukan orang terdekat kalian saja bisa melihat betapa dia begitu menyayangimu dan mempercayaimu. Dia ingin menghabiskan sisa hidupnya bersamamu ... Tapi, bagaimana denganmu? Ethan, kamu nggak pantas mendapatkan cintanya!" "Sudahlah, jangan ikut campur lagi." Ethan menolak untuk mendengarkan, suaranya dingin dan ketus. "Ini masalah pribadi antara aku dan Emily." Kemudian, aku mendengar suara langkah kaki menjauh menuju pintu. Aku pun merasa canggung karena tidak sengaja menguping pembicaraan mereka. Karena takut bertemu dengan Ethan, aku pun buru-buru bersembunyi di ruang terdekat. "Ethan!" Tiba-tiba, suara keras benturan tubuh ke dinding menggema di koridor luar. Seolah seseorang baru saja didorong dengan kasar ke dinding. Kemudian, suara berat Jayden terdengar, "Kalau kamu berani pergi dari sini, jangan sesali keputusanmu nanti!" Ethan menepis tangan yang menahannya dan berkata dengan nada cemas, "Aku nggak punya waktu untuk menjelaskan semuanya sekarang. Depresi Avery kambuh lagi dan aku takut terjadi hal buruk padanya. Aku harus segera menemuinya!" "Depresi?" Jayden menyeringai sinis. "Dia menggunakan trik murahan seperti itu hanya untuk menipumu." Ethan merapikan kerahnya yang berantakan dan berkata dengan suara berat, "Nyawaku pernah diselamatkan olehnya. Aku nggak bisa tinggal diam saat dia dalam bahaya." "Kalau mau balas budi, balas budilah pada mantan suaminya. Apa hubungannya dengan Avery? Mereka berdua juga sudah cerai, jadi Avery nggak ada sangkut pautnya sama sekali dalam masalah tersebut," ujar Jayden dengan nada mengejek. Setelah jeda sejenak, Ethan mengerutkan keningnya dan berkata, "Sudahlah, aku nggak bisa menjelaskannya padamu. Aku harus segera pergi. Tolong antar Emily pulang." Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Ethan mengabaikan tatapan dingin Jayden dan bergegas pergi. Saat langkah kakinya makin menjauh, aku menyandarkan tubuhku yang lemas ke dinding. Saat ini, seluruh energi dalam diriku seakan telah terkuras habis dan hatiku dipenuhi kesedihan yang mendalam. Ternyata, seperti inilah pria yang telah kucintai selama dua belas tahun. Dulu, saat menikah dengannya dua tahun lalu, aku merasa menjadi wanita paling berbahagia di dunia. Namun ... Kenyataan pahit ini membuatku merasa seperti bahan tertawaan. "Siapa di sana?" Tiba-tiba, suara lirih Jayden membuyarkan lamunanku. Sebelum aku bisa bereaksi, wajah tampannya yang penuh dengan ketegangan sudah muncul di hadapanku. Seketika itu juga, dia tertegun saat melihat wajahku. "Emily ... " "Kenapa kamu ... " Dia segera tersadar dan mengerutkan kening. "Apa kamu mendengar percakapanku dengan Ethan tadi?" Aku hendak menjawab, tetapi tenggorokanku terasa tercekat, seakan ada sesuatu yang menghalangi suaraku. Saat ini, mataku terasa pedih dan air mataku sudah hampir tidak bisa dibendung. Aku pun menunduk sebelum akhirnya berkata, "Terima kasih banyak sudah membantuku memindahkan ruang perawatan Ibuku, Kak Jayden." "Nggak perlu sungkan padaku," sahut Kak Jayden dengan nada lembut dan tenang. Aku tahu Kak Jayden bermaksud baik. Tadi, dia bahkan membelaku di hadapan Ethan. Namun, saat ini aku hanya ingin menyendiri di tempat yang tenang. Aku tidak ingin ada yang melihatku dalam keadaan sedih dan kecewa seperti ini. "A-aku akan pergi mencari dokter yang merawat ibuku untuk menanyakan kondisinya dulu ... " Namun, saat aku hendak pergi, tiba-tiba pergelangan tanganku ditahan. Aku menoleh dengan terkejut dan bertemu dengan sepasang mata hitam Jayden yang dalam. "Apa yang kukatakan padamu terakhir kali masih berlaku. Jadi, pikirkan baik-baik." Apa maksudnya? Memangnya apa yang dia katakan padaku terakhir kali? Saat melihat kebingunganku, Jayden menggelengkan kepalanya sambil tersenyum kecut. Kemudian, senyum di bibirnya perlahan memudar dan dia pun memusatkan pandangannya padaku. "Kalau kamu mau bercerai darinya, aku bisa membantumu." Perceraian ... Aku tertegun sejenak. Ketika aku merasa sangat putus asa, pikiran tentang perceraian memang sempat terlintas di benakku. Namun, yang lebih kuat kurasakan adalah keraguan dan keengganan untuk berpisah. Aku sudah mencintai Ethan selama dua belas tahun. Hampir separuh hidupku kugunakan untuk mencintainya. Bagaimana mungkin aku bisa dengan mudah melepaskan cinta selama itu? Selain itu, sejak awal pernikahan, aku sudah tahu bahwa dia tidak mencintaiku. Aku memang naif karena berpikir bisa membuatnya jatuh cinta padaku. Namun, jika aku bercerai darinya ... Apakah aku akan ikhlas? Apakah aku tidak akan menyesal di kemudian hari? Apalagi, saat ini aku sedang mengandung anak Ethan ... Tanpa sadar, tanganku terulur ke perutku. Seketika itu juga, sebuah kenyataan menyadarkanku. Jika perceraian ini benar-benar terjadi, anak yang sedang kukandung akan membuat perpisahan ku dengan Ethan tidak akan pernah tuntas sepenuhnya. Namun, jika pernikahan ini terus berlanjut, apakah adil bagi anakku? Apalagi, kondisi Ethan yang memiliki gangguan motalitas sperma pasti akan membuatnya berjuang keras untuk mendapatkan hak asuh anak ini jika dia mengetahui kehamilanku ... Berbagai pikiran berkecamuk di benakku, sehingga membuatku bingung dan tidak tahu harus mengambil keputusan seperti apa. Meskipun begitu, kata-kata Jayden sedikit menguatkan hatiku. Aku menatapnya dengan serius dan berkata, "Terima kasih, Kak Jayden. Kalau keadaan memaksaku, aku pasti akan meminta bantuanmu." Saat ini, tatapan tajam Jayden tertuju pada perutku dan keningnya agak mengernyit. Namun, saat dia menatapku kembali, senyuman hangat terukir di wajahnya. "Oke."

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.