Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 6

"Halo, Tante. Sudah lama kita nggak ketemu," sapa Avery dengan ceria sambil keluar dari mobil. Senyumnya lebar dan penuh percaya diri. Ibu mertuaku menyambutnya dengan wajah agak muram, tetapi beliau berusaha keras untuk menyembunyikan amarahnya di depan orang lain. "Tante, aku bawakan oleh-oleh dari luar negeri, semoga Tante suka," ujar Avery sambil menyodorkan kotak hadiah dengan sopan. Ibu mertuaku hanya melirik sekilas dan tidak berniat untuk menerimanya. Avery tampak tidak terpengaruh dan tetap tersenyum ceria tanpa memedulikan raut wajah ibu mertuaku yang masam. Kemudian, dia menyerahkan hadiah itu padaku sambil berkata, "Emily, tolong simpan ini untuk Tante, ya." Namun, aku sama sekali tidak menghiraukan Avery. Saat ini, pandanganku tertuju pada Ethan yang baru saja keluar dari mobil. Di tangannya masih tergenggam kantong obat yang tadi disebut Avery di telepon. Ethan membelikan obat itu untuk Avery. Saat aku benar-benar membutuhkannya, ternyata dia malah sibuk melayani Avery ... Saat itu juga, hatiku terasa seperti ditusuk ribuan jarum. "Emily, kenapa kamu diam saja?" Avery langsung tersenyum, lalu menarik tanganku dan memaksaku menerima hadiahnya. "Terima saja. Nggak perlu sungkan seperti itu." Namun, amarahku memuncak dan aku pun langsung menepis tangannya tanpa basa-basi. Saat melihatku mempermalukannya seperti ini, raut wajah Avery akhirnya berubah dan dia segera melemparkan pandangan memohon ke arah Ethan. Ethan pun langsung mengerutkan keningnya. Tepat ketika dia hendak mengatakan sesuatu, dia mendengar teguran lirih dari dalam rumah, "Emily, kenapa kamu nggak sopan sekali? Ada tamu di sini, tapi kenapa kamu malah cemberut? Siapa yang mengajarimu untuk bersikap kurang ajar seperti itu?" Aku melihat ayah mertuaku, John Matthew, keluar dari rumah. Dengan wajah berkerut dan tatapan tajam, dia pun bertanya dengan tegas "Di mana sopan santunmu?" Bahkan pendidikan yang aku terima dari keluarga ikut terseret dalam situasi ini. Seketika itu juga, aku merasa marah dan bertanya dengan nada sinis, "Apa keluarga Matthew memang biasa menerima tamu nggak diundang? Atau mungkin Ayah bisa mengajarkanku cara menjamu tamu seperti itu?" Ayah mertuaku terkejut dengan jawabanku dan wajahnya memerah karena marah. Kemudian, dia berkata dengan nada tinggi, "Apa maksudmu? Siapa bilang Ery adalah tamu yang nggak diundang?" "Oh, jadi Ayah yang mengundang Nona Avery ke sini?" Ayah mertuaku hendak menjawab, tetapi ketika melihat tatapan tajam dari Ibu mertuaku, beliau pun mengurungkan niatnya dan berkata, "Aku nggak mau berdebat denganmu tentang hal ini." Kemudian, John mengalihkan perhatiannya pada Avery dan seketika itu juga sikapnya langsung berubah. Dia mengambil kotak hadiah dari tangan Avery dan berkata dengan penuh senyuman, "Ery, sejak kapan kamu pulang? Kali ini berapa lama kamu akan tinggal di sini?" "Halo, Om John," sapa Avery dengan senyum ceria. "Aku baru pulang hari ini dan mulai sekarang sampai seterusnya aku berencana tinggal di Emberton." "Oh, ya? Bagus kalau begitu! Hahaha ... " John tertawa lepas, tetapi segera berhenti dan mengalihkan pembicaraan. "Ayo semuanya jangan berdiri di luar terus. Nggak usah sungkan. Ayo masuk dan mengobrol bersama." "Oh, ada Jay juga. Kapan datang? Sudah lama sekali Om nggak bertemu denganmu. Sekarang kamu makin kekar saja." Jayden tersenyum tipis, tetapi senyumnya terkesan agak sinis. "Aku sudah datang jauh lebih awal daripada Avery. Om John sepertinya hanya memperhatikannya saja dan mengabaikan kehadiranku." "Kamu ini ... " Mendengar ucapan Jayden, ayah mertuaku merasa tersindir dan wajahnya pun memerah. Namun, dia tidak berani membalas ucapannya. Bagaimanapun, keluarga Carter memiliki pengaruh yang sangat besar di berbagai bidang, mulai dari militer, politik, hingga bisnis. Meskipun keluarga Matthew juga tergolong kaya, tetapi kekayaan dan pengaruhnya tidak bisa menandingi keluarga Carter. Setelah itu, John kembali menatapku dan berkata dengan kesal, "Emily, jangan membuat malu keluarga kita! Cepat pergi dan siapkan teh untuk kami semua!" Beban perasaan ini begitu berat sehingga sulit untuk kubendung. Aku sadar diriku terlalu lemah dan mudah dipengaruhi dalam situasi ini. John bahkan melampiaskan semua amarahnya padaku. Aku sadar bahwa ketidaksukaannya padaku sudah lama tertanam dan dia selalu mencari kesempatan untuk membuat masalah denganku. Karena terobsesi pada ibu Avery yang merupakan cinta pertamanya yang tak terbalas, dia berusaha menjodohkan Ethan dengan Avery untuk menebus penyesalannya sendiri. Biasanya, demi Ethan, aku selalu berusaha sabar. Namun, saat ini aku merasa lelah untuk terus menahan diri. "Hari ini aku nggak enak badan, Ayah bisa minta pelayan untuk melakukannya." Aku tidak bermaksud bersikap jual mahal. Namun, karena aku sedang hamil dan emosiku naik turun, perutku terasa nyeri dan punggungku juga terasa pegal. Ayah mertuaku terlihat kesal dan langsung mengerutkan kening sambil berkata, "Aku menyuruhmu membuat teh, kenapa malah melemparkannya ke para pelayan?" Tepat pada saat itu, Jayden tiba-tiba terkekeh dan berkata, "Om John, orang yang nggak paham teh nggak akan bisa membuat teh yang enak. Menurutku, teh buatan Ethan rasanya sangat istimewa." Dengan kata lain, dia melemparkan tanggung jawab itu kepada Ethan. Ethan menatapnya dengan tatapan pasrah, lalu berkata, "Kamu jarang muncul, tapi sekalinya muncul langsung macam-macam. Kalau kamu mau teh yang enak, bikin saja sendiri!" Jayden tersenyum tipis dan terlihat agak acuh tak acuh. "Kalau kamu nggak mau bikin tehnya, ya sudah. Aku juga nggak terlalu suka minum teh." Wajah John memerah dan dia hanya bisa tertawa canggung tanpa menjawab. Ethan tersenyum, lalu berkata, "Sudahlah. Ayo, kita bicara di dalam." Di ruang tamu yang luas, aroma teh memenuhi ruangan. Jayden dan Ethan sudah lama tidak bertemu dan mereka asyik mengobrol tentang banyak hal. Namun, pembicaraan kemudian beralih pada sosok Jayden. "Apa benar kamu sudah nggak bertugas di militer lagi?" tanya Ethan sambil mengangkat alisnya. "Aku dengar kabar kalau dengan laju promosimu saat ini, kamu punya potensi untuk jadi mayor jenderal termuda sepanjang sejarah dalam kurun waktu sepuluh tahun ke depan." Jayden menyesap tehnya, lalu berkata sambil terkekeh, "Jangan terlalu percaya sama rumor yang beredar." Ethan menggelengkan kepala sambil tersenyum, seakan tidak terlalu memercayai ucapan Jayden. Keluarga Carter memiliki sejarah panjang dalam bidang militer, sehingga jika Jayden memilih untuk berkarier di bidang tersebut, dia akan memiliki keunggulan dibandingkan orang lain. Terlebih lagi, sebagai seseorang yang sangat berbakat, Jayden diyakini akan memiliki karier yang cemerlang di bidang apa pun. "Lalu, apa rencanamu setelah ini?" tanya Ethan sambil mengaduk tehnya. "Apa kamu akan mengambil alih Grup Carter?" Jayden adalah pewaris tunggal generasi kesembilan dari keluarga Carter. Namun, saat ini Grup Carter dipimpin oleh ayah Jayden yang sedang berada di puncak kesuksesannya. Jadi, tidak ada alasan kuat bagi sang ayah untuk menyerahkan kendali perusahaan kepada putranya. "Aku nggak mau ikut campur urusan keluarga," ujar Jayden sambil bersandar santai. "Rencananya aku mau membangun bisnisku sendiri." "Bisnis apa yang mau kamu bangun?" "Aku tertarik pada riset teknologi militer." Saat mereka berdua sedang mengobrol dengan asyik, aku duduk di samping dan mendengarkan dengan perasaan agak bingung. Tiba-tiba, Avery menyikutku seraya berkata, "Emily, cepat tuangkan teh buat Pak Jayden!" Karena kaget, aku pun terdorong dan tubuhku hampir terjatuh dari sofa. Jika aku sedang sehat, mungkin aku akan diam saja. Namun, sekarang aku sedang hamil ... "Apa-apaan kamu ini?" seruku dengan marah sambil memelototinya. Avery terlihat terkejut, lalu berkata, "Memangnya apa salahku? Aku cuma mengingatkanmu untuk menuangkan teh buat Pak Jayden. Kenapa kamu malah marah-marah?" "Kalau ada yang mau kamu katakan, ya katakan saja. Kenapa sampai mendorongku segala?" "Aku nggak sengaja. Kenapa kamu berlebihan sekali?" Avery tanpa sadar mengerutkan keningnya dan memasang tampang bingung. "Aku sama Ethan sudah bersahabat sejak kecil. Kalau kamu terus membuat masalah seperti ini, bagaimana Ethan bisa menjaga reputasinya kalau orang lain mengetahuinya?" Sorot mataku menjadi dingin, lalu aku pun kembali berkata, "Aku nggak menyangka kalau persahabatan masa kecil bisa menimbulkan skandal seperti ini ... " "Skandal?" Ekspresi Ibu mertuaku agak berubah saat dia melihat ke arah kami. "Skandal apa? Siapa yang terkena skandal?" Tepat saat aku akan berbicara, Avery tiba-tiba menyela perkataanku dengan ekspresi kesal. "Emily, jangan menyalahkanku atas masalah rumah tanggamu dengan Ethan! Sikap nggak masuk akal semacam ini mungkin bisa mengelabui orang-orang, tapi aku nggak akan tertipu." Aku tidak kuasa menahan amarahku dan hanya bisa tertawa sinis. Sungguh ironis! Dasar maling teriak maling!

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.