Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 5

Aku buru-buru pergi ke kantor Dokter Charles karena sangat khawatir. Sesampainya di sana, aku kaget melihat Ibu terbaring lemas di sofa dan dikelilingi oleh para petugas medis. Kakiku terasa sangat lemah dan hampir saja aku jatuh. Jayden yang berada di belakangku pun segera memegangi lenganku dan berkata dengan lembut, "Jangan khawatir, ada dokter di sini. Ibumu pasti akan baik-baik saja." Aku berusaha menenangkan diri, tetapi tetap saja merasa sangat takut. Setelah Ibu dibawa ke ruang UGD, aku akhirnya tidak kuat menahan beban pikiran dan langsung duduk di lantai. Saat ini, hatiku benar-benar kacau. Ibu sudah menderita kanker hati stadium akhir dan tubuhnya sangat lemah. Sepertinya dia sangat marah saat melihat skandal Ethan hingga akhirnya pingsan. Aku takut sekali jika terjadi sesuatu yang buruk pada Ibu. Aku tidak bisa membayangkan hal tersebut, jadi aku langsung menelepon Ethan. Aku ingin Ethan sendiri yang menjelaskan semuanya kepada Ibu supaya Ibu tidak salah paham. Namun, setelah telepon berdering cukup lama, tidak ada yang mengangkatnya. Saat rasa khawatirku sudah mencapai puncaknya, akhirnya panggilan itu tersambung. "Halo, Sayang, kamu ... " Sebelum aku selesai berbicara, suara Avery sudah terdengar lebih dulu dari ujung telepon. "Emily, Ethan sedang keluar untuk membelikan obat untukku dan ponselnya tertinggal. Apa ada urusan penting? Nanti aku akan sampaikan padanya." Aku berusaha berbicara, tetapi rasanya seperti ada yang menyumbat tenggorokanku. Saat mataku sudah berkaca-kaca, seseorang merebut ponselku. Ketika kuangkat wajahku, tatapan dalam dari mata hitam pria itu membuat air mataku tumpah. "Jangan menangis ... " ujar Jayden dengan alis yang agak berkerut. Jari-jarinya terulur ke arahku, tetapi tiba-tiba dia berhenti dan menariknya kembali. Aku pun segera memalingkan wajah dan menghapus air mataku. "Jangan merusak kesehatanmu hanya karena orang lain membuatmu sedih. Ayo, bangun, lantainya dingin." Jayden mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri, lalu membawaku duduk di bangku yang ada di dekatnya. "Terima kasih," ucapku dengan tulus. Penantian panjang selama satu jam terasa seperti satu abad bagiku. Ketika lampu di ruang gawat darurat padam, aku segera berdiri dengan gugup dan berjalan menuju pintu masuk dengan langkah cepat. Tidak lama kemudian, Dokter Charles keluar. Beliau melirik Jayden, baru kemudian menatapku. "Nona Emily, jangan khawatir, ibumu baik-baik saja sekarang. Tapi, kondisinya masih sangat lemah dan perlu banyak istirahat." "Apa saya boleh masuk dan menemuinya?" "Boleh, tapi jangan lama-lama, ya." "Baik, terima kasih, Dokter Charles." Setelah mengucapkan terima kasih, aku berjalan menuju ruangan Ibu. Namun, di tengah jalan aku baru ingat bahwa Jayden masih ada di sana. Ketika aku menoleh, aku melihat dia sedang bersandar di dinding sambil berbicara dengan Dokter Charles. Aku tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan, tetapi ekspresi wajahnya terlihat serius dengan tatapan mata yang tajam dan tegas. Dokter Charles tersenyum kecut sambil menangkupkan tangannya sebagai isyarat meminta maaf. Sepertinya mereka berdua sudah saling kenal sejak lama. Karena mereka terlihat sedang membicarakan sesuatu yang penting, aku pun melanjutkan perjalanan menuju ruangan Ibu. Karena baru saja operasi, Ibu masih tidur. Aku menggenggam tangannya yang kurus dan memandangi wajahnya yang lelah, tetapi terlihat tenang. Rasa tegangku pun perlahan hilang dan tanpa sadar aku menangis dengan lirih, seakan ingin melampiaskan semua beban yang kutanggung. Aku tidak tahu berapa lama aku menangis, tetapi aku segera menyeka air mataku dan menarik napas dalam-dalam. Aku harus kuat. Saat ini, air mata tidak akan menyelesaikan masalah. Aku harus bertanya pada Ethan apa yang sebenarnya terjadi hari ini. Jika dia tidak bisa memberi jawaban yang memuaskan, mungkin bercerai adalah jalan keluar terbaik. Namun, begitu pikiran itu muncul, hatiku terasa sakit. Dua belas tahun. Aku sudah mencintainya selama dua belas tahun penuh. Berapa kali seseorang bisa mengalami jatuh cinta selama 12 tahun dalam hidupnya? Sepertinya sejak awal aku memang sudah salah. Aku tahu bahwa dia sudah memiliki seseorang yang sangat dia cintai, jadi untuk apa aku berharap bisa mendapatkan kasih sayangnya suatu hari nanti? Sekarang, setelah Avery bercerai, satu-satunya hal yang menghalangi hubungan mereka adalah diriku. Bagi Ethan, Avery akan selalu memiliki tempat khusus di hatinya. Jika aku tidak meminta penjelasan kepada Ethan tentang peristiwa hari ini, maka suatu saat nanti ketika dia sudah menyadari perasaannya pada Avery, aku yakin hubunganku dengannya juga akan berujung pada perceraian. Jadi, lebih baik aku selesaikan masalah ini secepatnya. "Jangan menangis lagi." Saat aku sedang melamun, selembar tisu disodorkan ke arahku. Aku melihat Kakakku mengerutkan kening dengan ekspresi tak berdaya, tetapi ada sedikit kekhawatiran dan perhatian terpancar di matanya. "Kakak ... " Seketika itu juga, aku tidak kuasa menahan tangisku. Kakakku langsung menyeka air mataku dengan ekspresi kesal, tetapi gerakannya sangat lembut. "Sudah kubilang dari awal kalau Ethan bukan orang yang baik, tapi kamu bersikeras menikah dengannya. Bahkan sekuat apa pun usahaku, kamu nggak mau mendengarkan. Kamu ... " Melihatku menunduk lesu, Kakakku merasa iba dan tidak tega lagi memarahiku. Dia menghela napas tak berdaya dan mengangkat tangannya untuk mengusap puncak kepalaku. "Sebenarnya ada hubungan apa antara Ethan dan aktris itu? Kalau dia benar-benar selingkuh, aku akan bantu kamu balas dendam! Aku nggak peduli meskipun harus mempertaruhkan nyawaku!" "Nggak usah ... " Aku refleks menggelengkan kepalaku, tetapi tidak yakin apakah aku sedang mencoba untuk meyakinkan Kakakku atau diriku sendiri. "Mereka berdua cuma teman sejak kecil, Kak. Aku juga ada di sana saat itu." "Kamu ada di sana?" tanya Kakakku penasaran. "Ya," jawabku. "Jadi, semua ini cuma kesalahpahaman?" kata Kakakku sambil mengerutkan kening. Kemudian, dia menoleh ke arah Ibu yang berbaring di ranjang dan menarik napas panjang. "Dokter Charles bilang, Ibu nggak kuat lagi kalau terus diganggu masalah seperti ini. Kalau memang ini semua cuma salah paham, besok kamu sama Ethan datang ke rumah sakit dan jelaskan semuanya ke Ibu biar dia tenang." Dadaku terasa sesak mendengar kata-kata Kakakku. Aku mengangguk pelan, lalu menjawab, "Oke, aku mengerti." Setelah itu, kami mengobrol sebentar sebelum akhirnya Kakakku menyuruhku pergi. Aku pun membuka pintu kamar rawat dan saat hendak pergi, aku terkejut melihat sosok tegap yang berdiri di ujung lorong. Jayden? Ternyata dia belum pergi! Saat Jayden melihatku keluar dari kamar rawat, dia langsung membuang puntung rokoknya dan berjalan ke arahku. "Ibumu baik-baik saja, 'kan?" tanyanya. "Ya, dia baik-baik saja. Terima kasih, Kak Jayden," jawabku. Aku merasa bersalah karena membuatnya menungguku. Jayden tersenyum hangat, lalu berkata, "Kenapa kamu sungkan sekali padaku? Ayo, aku antar pulang!" Tidak lama kemudian, mobil kami memasuki kediaman keluarga Matthew dengan pelan. Saat aku turun dari mobil bersama Jayden, Ibu mertuaku, Fiona Elizabeth, langsung keluar menyambut kami dengan wajah terkejut. "Jay?" tanyanya heran sambil menatapku dan Jayden bergantian. "Kenapa kamu yang mengantar Emily pulang?" "Tante, aku tadi ke perusahaan Ethan untuk mencarinya, tapi nggak ketemu. Aku malah ketemu Emily di jalan, jadi sekalian aku antar karena kebetulan searah." "Ethan nggak ada di kantor? Anak itu memang sibuknya minta ampun sampai susah ditemui!" Ibu mertuaku bergumam santai, lalu buru-buru mengalihkan pembicaraan. "Jay, kamu jarang sekali main ke sini, jadi jangan buru-buru pergi, ya. Ayo masuk dulu dan makan siang bersama kami." Aku berdiri di samping tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Sejak menikah dengan Ethan, Jayden jarang sekali mengunjungi kediaman keluarga Matthew. Selain itu, karena dia tiba-tiba bergabung dengan militer, kami pun tidak pernah bertemu dengannya selama beberapa tahun. Dua tahun terakhir, aku jarang mendengar Ethan menyebut nama Jayden dan aku berpikir persahabatan masa muda mereka mungkin telah memudar. Saat aku mengira Jayden akan menolak permintaan ibu mertuaku, aku mendengarnya tertawa dan berkata, "Sudah lama sekali aku nggak makan masakan Tante Fiona. Saat aku bertugas di militer selama dua tahun, aku bahkan sering teringat akan rasanya sampai nggak bisa tidur." Aku sangat terkejut ketika dia memutuskan untuk ikut makan bersama kami. Saat aku mendongak, tatapan kami bertemu secara tidak sengaja. Aku buru-buru menundukkan kepala dan bertanya-tanya mengapa pria ini tiba-tiba mengalihkan pandangannya padaku. "Kamu ini memang pintar bicara, tapi sayang sekali kamu belum juga menikah. Ethan sudah dua tahun menikah. Kapan giliranmu?" tanya Ibu mertuaku. Jayden tersenyum lembut, tetapi tatapannya tertuju padaku. "Tante, aku belum seberuntung Ethan." "Ah, kamu ini bisa saja!" Jayden dan Ibu mertuaku saling mengobrol dan tertawa sambil berjalan menuju ruang tamu. Namun, tiba-tiba kami mendengar suara deru mobil. Mertuaku langsung menoleh ke belakang dan saat melihat mobil Maybach hitam sudah terparkir di halaman, wajahnya langsung semringah. "Ethan sudah pulang!" katanya dengan penuh kebahagiaan. Namun, senyumnya langsung hilang saat melihat orang yang keluar dari mobil itu. Ternyata itu Avery.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.