Gadis Sinting
"Sejak kapan kamu bergaul dengan gadis sinting itu?" tanya Ken saat mereka berdua sudah berada di dalam mobil, meninggalkan area sekolah.
"Siapa?"
"Pacarmu itu?"
"Valerie? Dia baik kok," protes Kevin merasa tak rela kalau Val di sebut gadis sinting oleh kakaknya.
"Baik kamu bilang? Gadis bar-bar seperti itu cuma bisa kasih kamu pengaruh buruk," sergah Ken. "Pokoknya setelah lulus sekolah, kamu lanjut kuliah di Singapore. Jangan terlalu jauh, biar aku tetap bisa ngawasin kamu."
"Nggak mau."
Kening Ken seketika mengerut.
"Aku mau kuliah di sini. Ngapain jauh-jauh?"
"Kamu nggak mau pergi karna pacarmu itu?"
Kevin terdiam. Cowok itu berpaling, menatap jendela mobil dengan tatapan kosong.
"Kev, cobalah berpikir dewasa. Sampai kapan kamu akan bersikap seperti ini? Apa kamu mau membuat Papa dan Mama kecewa?"
Kevin tersenyum getir. "Mereka sudah mati, mana mungkin merasa kecewa?"
"Kev! Jaga mulutmu!" bentak Ken dengan geram.
Tesla yang Ken kendarai meluncur kencang berbelok di kawasan residence eksklusif yang hanya berisi beberapa rumah saja. Salah satunya adalah kediaman Ken dan Kevin peninggalan orang tuanya.
Setelah memarkir mobilnya di garasi, Ken buru-buru keluar, disusul oleh Kevin yang berjalan malas.
"Masuk! Kita bicara di dalam."
"Besok aja. Aku capek," sergah Kevin, berjalan mendahului Ken masuk ke dalam rumah.
"Kevin! Stop!"
Cowok itu mendesah kasar. Tubuhnya berbalik. "Apa lagi?"
"Duduk!"
"Nggak!" sahutnya dengan suara lantang.
"Kevin!" teriak Ken dengan suara menggelegar, membuat Kevin terdiam sejenak. Bibirnya sudah bergetar hendak membalas teriakan kakaknya, namun cowok itu mencoba menahan, hingga dadanya naik turun mengatur napas di antara amarahnya yang sudah meletup-letup.
"Mulai sekarang, biarkan aku memutuskan apapun sendirian," ucap Kevin pelan. "Aku sudah dewasa, Mas."
"Sudah dewasa katamu? Kalau kamu merasa sudah dewasa, maka bersikaplah layaknya orang dewasa."
Seketika Kevin terdiam.
"Kelakuan kamu benar-benar menunjukkan kalau kamu masih seperti anak kecil, Kev. Kamu masih butuh bimbingan orang tua."
"Tapi orang tua kita sudah nggak ada, Mas," desah Kevin dengan suara bergetar.
"Karna itulah aku yang akan mengurusmu, Kevin. Sekali saja, menurutlah. Perbaiki sikapmu. Kembalilah seperti Kevin yang dulu. Kevin yang selalu membuat Mama dan Papa bangga," kata Ken dengan suara lembut.
Kevin berpaling, berusaha menyembunyikan matanya yang sudah berembun. Sedangkan Ken berjalan mendekat.
"Lebih baik kamu putusin pacarmu itu."
Kevin menoleh dengan kening mengernyit.
"Kenapa?"
"Kamu masih bertanya kenapa? Sikapmu yang berubah akhir-akhir ini pasti karna dia, kan?"
"Ini semua nggak ada hubungannya dengan Valerie."
"Sampai kapan kamu akan membelanya. Dia itu cewek nggak bener, Kev."
"Mas Ken jangan sok tau!"
"Memang begitu kenyataannya."
"Sudahlah, percuma ngomong sama Mas Ken yang egois dan maunya menang sendiri."
"Bukannya kamu yang egois? Kalau kamu mau sedikit saja berpikir dewasa, semua ini nggak akan terjadi, Kevin!" bentak Ken mulai geram. "Minggu depan kamu mulai ujian, kan?"
Kevin mengangguk malas.
"Persiapkan dirimu baik-baik. Aku nggak mau dengar lagi ada guru yang menelpon, gara-gara kamu bikin ulah di sekolah." Ken memperingatkan. "Awas saja kalau kamu berani macam-macam, aku nggak akan segan-segan mindahin kamu ke pesantren!" ancam Ken dengan wajah serius.
***
"Gue nggak nyangka ya, kalau kakaknya Kevin itu ternyata sinting!" geram Val seraya melempar tasnya sembarangan ke dalam kamar.
Nadin yang kebetulan sedang main ke rumah Val hanya bisa tertawa, setelah Val menceritakan kejadian di sekolah tadi bersama Ken.
"Jangan bilang gitu. Walaupun sinting, dia itu calon kakak ipar lo," celutuk Nadin.
Val memutar bola matanya, kemudian menjatuhkan dirinya ke atas ranjang.
"Gue khawatir sama Kevin."
"Telpon dong kalau khawatir," sahut Nadin yang sudah menyusul Val ke atas ranjang.
"Hapenya mati dari tadi," katanya. Lalu Val beranjak dari posisi tidurnya, duduk menghadap Nadin. "Eh, jangan-jangan Kevin lagi di pukulin sama kakaknya. Duh, gimana nih? Gue khawatir." Val mengguncang bahu Nadin dengan wajah memelas.
"Astaga Val. Mana mungkin kakaknya Kevin yang tampan dan cute itu mukulin orang. Jangan ngehalu deh," sewot Nadin.
"Lo belum tau aja kelakuan dia yang sebenarnya. Mulutnya aja pedes kayak sambel uleg. Kok ada ya cowok model begitu," gerutu Val yang masih mengingat-ingat kejadian tadi siang di sekolah.
"Oh iya, orang tua lo belum pulang jam segini?"
Val menggeleng pelan. Tubuhnya rebah lagi di samping Niken. Matanya menatap langit-langit kamar. Entah mengapa bayangan wajah Kevin yang lebam-lebam terus saja muncul. Gadis itu ingin bertemu, setidaknya dia harus memastikan bahwa keadaan Kevin baik-baik saja.
"Val."
"Hm?"
"Cita-cita lo apa sih?" tanya Nadin tiba-tiba.
"Gue nggak punya cita-cita."
"Ha?"
"Nggak usah kaget."
"Gue nggak paham maksud lo."
"Bagi anak kayak gue, cita-cita itu cuma omong kosong. Masa depan gue udah ditentukan sama orang tua. Mereka mau gue jadi dokter. Titik. Nggak ada koma," sahut Val dengan wajah termenung. Tatapan matanya masih menerawang jauh ke langit-langit kamar.
"Serius?"
Val mengangkat sebelah alisnya.
"Setahu gue, lo kan suka melukis. Gue pikir setelah lulus, lo mau ambil jurusan Art."
"Tapi sayangnya, orang tua gue nggak pernah mau tau apa yang sebenarnya gue inginkan. Mereka cuma menyuruh gue belajar dan belajar. Kalau nilai gue bagus, mereka akan menghujani gue dengan berbagai macam hadiah dan juga uang. Tapi kalau nilai gue jelek, mereka juga nggak akan segan-segan menghukum."
"Menghukum?" kening Nadin seketika mengernyit. Lalu Val menyingkap rok seragamnya, tepat di paha kirinya ada lebam kebiruan, seperti bekas di pukul dengan gagang sapu, membuat Nadin begidik ngeri saat melihatnya.
"Itu kenapa Val?"
"Biasa, ini salah satu hadiah kalau gue dapet nilai jelek di sekolah."
"Perasaan, lo nggak pernah dapet nilai jelek di sekolah."
"Nilai gue emang nggak jelek. Tapi kurang sempurna."
"Ha?"
"Try out kemarin gue dapet nilai delapan puluh sembilan di pelajaran Math, dan inilah balasannya." Val menunjuk pahanya yang sampai sekarang masih terasa nyeri.
"Astagaaaa." Nadin menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Merasa ngeri melihat lebam kebiruan di paha Val. "Sebenarnya lo bahagia nggak sih dengan semua ini, Val?"
Gadis cantik itu menghela napas pelan. "Menurutku lo?"
Nadin terdiam. Tak mampu menjawab.
"Gue udah terbiasa pura-pura bahagia di depan semua orang, Nad. It's easy. Lagi pula, mereka semua nggak boleh tau, tentang kehidupan gue yang sebenarnya."
"Val ...." Nadin menggeser tubuhnya hendak memeluk Valerie, namun gadis itu segera menepisnya.
"Muka lo nggak usah begitu. Biasa aja. Gue udah kebal," ujar Val sambil terkekeh. "Saat ini, cuma Kevin yang bisa bikin gue bahagia. Cuma dia yang bisa bikin gue lupa sama rasa sakit yang di torehkan oleh Mama sama Papa, dan cuma dia yang bisa bikin gue nyerahin semuanya."
"Nyerahin semuanya?"
Seketika Val menoleh, merasa terkejut dengan apa yang baru saja dia ucapkan sendiri. Walaupun Nadin adalah sahabatnya, tapi nggak mungkin dong Val cerita soal hubungannya dengan Kevin yang sudah melampaui batas.
Tidak ada seorang pun yang boleh tau tentang hal itu.
***