Putuskan Hubungan Kalian!
"Adik lo kenapa lagi?" tanya Hans, teman sekaligus rekan kerja Ken di perusahaan. Malam itu, Ken sengaja mengajak Hans bertemu di salah satu bar.
Pria itu tak menjawab pertanyaan Hans, hanya sesekali napasnya terhela dengan berat.
Hans menggeser duduknya, lalu menepuk pundak Ken pelan. "Udahlah, nggak usah terlalu dipikirin. Wajar aja kalau Kevin itu sedikit memberontak. Namanya juga masih remaja. Maklum saja lah."
"Awalnya gue juga maklum. Tapi lama-lama, sikapnya jadi keterlaluan," sahut Ken. "Gue cuma nggak mau Kevin terjerumus dalam pergaulan yang nggak bener. Lo tau kan, dia itu tanggung jawab gue sekarang."
Hans mengangguk. "Ya, gue tau. Tapi kalau lo terlalu keras sama dia, bisa jadi dia justru makin ngelawan. Bicaralah baik-baik, nggak perlu emosi."
Ken menoleh, menatap Hans dengan mata menyipit. "Kalau lo jadi gue, mungkin lo juga bakal emosi sampai ubun-ubun," gerutunya kesal.
"Bentar lagi kan dia lulus, mungkin setelah masuk perguruan tinggi, sikapnya akan berubah lebih dewasa. Sabar aja, Ken."
"Gue juga mikirnya gitu. Tapi ada satu hal yang bikin gue makin kesel sama Kevin."
"Apa?"
"Dia mulai pacaran sama cewek gila di sekolahnya."
"Ha? Maksud lo?"
"Gue yakin, cewek bar-bar itulah yang sedikit banyak memperngaruhi perubahan sikap Kevin akhir-akhir ini."
"Dari mana lo tau?"
"Gue ketemu dia tadi siang."
"Oh ya? Cakep nggak?"
Seketika Ken menoleh dan melayangkan tatapan tajam pada Hans.
"Nggak penting dia cakep atau enggak," sahut Ken dengan wajah kesal. Padahal jelas-jelas dalam hati Ken juga mengagumi kecantikan dan keindahan tubuh Val yang tadi sempat dia temui di sekolah.
Val tidak hanya cantik, tapi dia juga tipe cewek pemberani dan sedikit ... Gila!
"Trus masalahnya apa? Biarin ajalah Ken, namanya juga remaja. Lagi puber, wajar aja kalau Kevin pacaran, yang penting nggak gangguin sekolahnya."
"Nah itulah masalahnya, Hans. Hubungan Kevin dengan cewek gila itu justru bikin semuanya jadi kacau," sahut Ken. "Apalagi pembantu di rumah pernah bilang kalau Kevin sempat bawa ceweknya itu pulang ke rumah waktu gue masih di kantor."
"Oh ya?"
Ken mengangguk sedih.
"Ngapain mereka berdua di dalam rumah yang sepi? Jangan-jangan ...."
"Jangan mikir sembarangan. Kevin itu masih kecil, dia nggak mungkin melakukan hal-hal diluar batas," sambar Ken merasa tersinggung dengan prasangka Hans.
"Ya, siapa tau, Ken. Anak kecil juga bisa khilaf." Hans membela diri.
"Kevin itu masih polos. Gue yakin dia nggak mungkin melakukan hal-hal diluar batas. Lagi pula, gue udah nyuruh dia putus sama pacarnya."
"Trus dia mau?"
"Kita liat aja nanti," sahut Ken. "Jujur, gue khawatir. Kevin itu hatinya rapuh, dia pasti masih terluka karna kepergian orang tua kita yang mendadak. Makanya sikapnya jadi seperti ini sekarang, di tambah lagi pergaulannya dengan gadis gila itu. Bikin gue makin pusing tau nggak," keluhnya sembari memijit pelipis, membuat Hans merasa iba.
***
"Val, gimana persiapan ujian akhir kamu?" tanya Andika, papa Val. Mereka bertiga sedang menikmati sarapan di meja makan.
"Nggak ada kesulitan, kan?" giliran Susan, mama Val yang bertanya.
"Enggak kok," sahut Val singkat.
"Bener? Jangan sampai kamu bikin kecewa Mama sama Papa. Kamu itu harapan kita satu-satunya."
"Iya, Mam."
"Jangan iya-iya doang. Kamu inget kan waktu try out, hasil ujian kamu tuh mengecewakan," sinis Andika, membuat Val diam-diam mengeratkan rahangnya.
Sandwich yang sudah ia potong dan hampir masuk ke dalam mulutnya, Val letakkan lagi di atas piring, karna merasa jengah dengan pembahasan yang selalu sama di meja makan.
Kenapa orang tuanya selalu meributkan soal nilai dan nilai? Apa mereka tidak sadar dengan keadaan Val yang sudah sangat tertekan?
Mengapa mereka sekalipun tak pernah bertanya tentang keadaan Val? Apakah Val baik-baik saja? Apakah Val sedang merasa sedih atau terluka? Mereka sama sekali tidak peduli.
"Val berangkat sekarang," ucap gadis itu, menggeser kursinya lalu menyambar tas sekolah yang ada di samping kursi.
"Val, tunggu," panggil Susan menyusul langkah Val yang sudah hampir mencapai pintu utama.
"Ya, Mam?"
"Sini," Susan menarik lengan Val, membawanya ke teras depan.
"Apa sih, Mam!" gadis itu berusaha melepaskan cengkeraman Susan di lengannya, namun Susan justru menghardik Val supaya diam dan tidak berisik.
"Kemarin Mama dengar dari pihak sekolah, katanya ada teman kamu yang berantem?"
Seketika Val mengernyit. "Iya."
"Inget ya, Val. Jangan dekat-dekat dengan anak-anak pembuat masalah seperti mereka. Belajar saja yang benar," Susan memperingatkan.
"Iya."
"Awas saja kalau kamu sampai ketahuan berbuat macam-macam atau punya hubungan dengan anak-anak nakal itu, Mama nggak akan segan-segan menghukum kamu," ancamnya lagi sembari menunjuk wajah Val yang ada di hadapannya.
Val hanya mengangguk malas. Lagi pula, kedua orang tuanya tidak akan tau kalau Val sebenarnya sudah berhubungan dengan Kevin.
"Val, berangkat dulu," pamitnya sebelum masuk ke dalam mobil. Sesaat setelah mobil itu jalan, Val segera mengeluarkan ponselnya dan mencari kontak Kevin.
Karna ulah Kevin kemarin, akhirnya cowok itu di skors selama tiga hari, membuat Val semakin khawatir.
Ingin sekali dia datang ke rumah Kevin untuk melihat keadaannya, namun Val tidak mungkin membolos. Kedua orang tuanya kenal baik dengan semua guru yang ada di sekolah. Bisa panjang urusannya kalau mereka sampai tau Val membolos.
"Halo? Kevin," ucapnya dengan suara pelan, takut sopir yang mengantarnya ke sekolah merasa curiga.
"Halo? Siapa ini?"
Kedua mata Val membelalak kaget saat dia mendengar suara asing yang ada di ujung telpon.
"Kamu yang siapa? Di mana Kevin? Lancang banget sih ngangkat telpon di ponsel orang," balas Val dengan kening mengerut.
"Kevin lagi istirahat. Nggak bisa di ganggu!" ketusnya.
"Ini kakaknya Kevin, kan?" tanya Val dengan nada tak kalah sinis.
"Iya, benar," sahut Ken. "Bukankah tempo hari saya sudah memperingatkan kamu untuk menjauhi Kevin. Apa telinga kamu bermasalah, sampai kamu nggak bisa mendengar ucapan saya kemarin?"
Sialan! Batin Val gemas. Berani-beraninya dia ngatain telinga Val bermasalah.
"Aku cuma pengen tau gimana keadaan Kevin, apa dia baik-baik saja?" tanya Val dengan suara tenang, gadis itu masih berusaha menahan amarahnya sendiri.
"Tentu saja dia baik-baik saja, asalkan kamu tidak mendekatinya terus," ketus Ken. "Saya peringatkan kamu sekali lagi, putuskan hubungan kamu dengan Kevin, saya tidak akan rela kalau Kevin berhubungan dengan cewek nggak bener kayak kamu!"
Klik!
Belum sempat Val membela diri, tiba-tiba sambungan telponnya sudah di tutup secara sepihak, membuat Val kesal bukan main.
"Kenapa, Non?" tanya sopir di belakang kemudi yang diam-diam memperhatikan raut wajah Val yang berubah merah karna amarah.
"Nggak apa-apa," dengusnya kesal.
Bisa-bisanya kakak Kevin meminta mereka putus? Mana bisa Val putus dengan Kevin setelah apa yang mereka berdua lakukan?
Apapun yang terjadi, Val tidak akan putus dengan Kevin!
Kevin adalah orang pertama yang merenggut keperawanannya. Mereka sudah melakukannya lebih dari sekali. Bagaimana kalau dia hamil? Siapa yang akan bertanggung jawab kalau mereka sampai putus?!
***