Kesalahannya Sungguh Fatal
Selesai membersihkan diri dan mengganti baju, Val naik ke atas ranjang besarnya. Bergelung dalam selimut tebal.
Tubuhnya masih dingin menggigil, perasaan takut dan cemas menggelayuti hatinya. Gadis itu, tidak berani keluar kamar. Apalagi saat mendengar suara gaduh di luar sana. Suara Papanya yang berteriak-teriak seperti orang kesetanan, diiringi oleh barang-barang yang jatuh, membuat nyali Val semakin ciut.
Perlahan ia meraih ponsel yang tergelatak di atas bantal, berniat menghubungi Kevin. Saat ini, ia sungguh membutuhkan Kevin berada di dekatnya. Namun, dia ingat bahwa Ken melarangnya untuk melibatkan Kevin dalam permasalahan ini.
Padahal, Kevin adalah sumber dari segala masalah yang ia hadapi sekarang. Seandainya saja waktu itu Val bisa lebih tegas. Seandainya saja waktu itu Val menolak ajakan Kevin, pasti semua ini tidak akan terjadi.
Val mengusap air matanya yang tiba-tiba menetes dengan punggung tangan, saat panggilan telponnya tak tersambung ke ponsel Kevin.
Betapa malang nasibnya. Kevin seolah meninggalkannya begitu saja. Membiarkan Val menghadapi semua kesulitan ini sendirian.
Padahal, sebentar lagi dia lulus ujian sekolah. Seharusnya dia bersenang-senang dengan teman-temannya. Tapi, semuanya sudah berubah mengerikan sekarang.
"Non, Valerie!" suara Marni mengetuk pintu kamarnya.
Gadis itu beringsut, menarik selimutnya hingga dada. Merasa ketakutan. Dia takut, Marni tidak datang sendirian. Dia takut, ada orang tuanya yang datang bersama Marni.
"Non, buka pintunya. Saya bawain makan malam," ucap Marni lagi. Perempuan paruh baya itu masih setia menunggu, walau Val tidak menyahut sama sekali.
Marni hanya merasa iba dengan anak majikannya itu. Dia tau betul bagaimana sulitnya menjadi seorang Valerie, yang dituntut untuk selalu menjadi yang terbaik dari yang lainnya.
Wanita itu ingat betul, saat Val masih duduk di bangku SMP. Gadis itu pernah di kurung di dalam gudang, hanya karna dapat nilai jelek di raportnya.
Kasian.
Menjadi anak tunggal di keluarga Andika Gumilang tidaklah mudah. Apalagi Val sudah di gadang-gadang akan mewarisi semua aset orang tuanya, dan juga gelar dokter yang sudah mereka impikan akan tersemat di depan nama Valerie.
Namun, kenyataannya justru berbanding terbalik dengan harapan mereka. Kesibukan yang tak pernah usai di luar rumah, membuat mereka lalai untuk memberi perhatian lebih pada Valerie yang sudah beranjak remaja.
Mereka pikir, hanya memenuhi kebutuhan Val dan memberikan materi yang lebih untuknya dirasa cukup. Padahal Val membutuhkan sesuatu yang lebih penting dari pada itu semua, yaitu perhatian dan kasih sayang sebagai orang tua.
"Non, ayolah makan dulu. Nanti Non Valerie sakit. Saya tungguin di sini sampai Non Val mau keluar kamar," kata Marni dengan suara lembut dan sabar.
Sesaat kemudian pintu di hadapan Marni terbuka, dan wajah Val yang masih pucat menyembul di baliknya.
"Ya Allah, Non ...," Marni menerobos masuk ke dalam bersama nampan berisi makan malam, walau Val belum menyilakan dia masuk.
"Nanti Mbak Marni kena marah lho, kalau Mama tau ke sini bawa makanan," kata Val yang berdiri di samping Marni.
"Tenang aja, Nyonya sama Tuan lagi di dalam kamar," kata Marni.
"Masih berantem?"
Wanita paruh baya itu mengangguk sedih, apalagi saat melihat raut wajah Val yang seketika berubah mendung.
"Sepertinya aku lahir di keluarga yang salah, Mbak. Seharusnya aku nggak terlahir dari keluarga ini. Aku merasa nggak pantas jadi anak mereka. Aku cuma jadi beban dan aib, Mbak. Mereka pasti marah dan kecewa punya anak seperti aku," gumam Val tertunduk lemas.
Sedangakan Marni hanya bisa menatap anak majikannya itu dengan tatapan iba. Tak ada yang bisa ia lakukan selain mengusap lembut punggung Val yang sudah mulai terisak lagi. Padahal, kedua matanya yang indah itu sudah berubah bengkak sejak tadi.
***
Kevin yang sedari tadi gelisah di dalam kamarnya mendadak berlarian turun ke lantai bawah, setelah melihat mobil Ken masuk ke pelataran rumahnya, melalui jendela kamar.
Buru-buru Kevin membuka pintu utama sebelum langkah Ken mencapai teras. Pemuda tanggung itu nampak terkejut saat melihat kakaknya berwajah lebam dengan kemeja yang terkena bercak darah.
Khawatir, Kevin langsung menghampiri Ken dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.
"Masuklah. Kita bicara di dalam," kata Ken dengan wajah serius. Tak seperti biasanya, Kevin menurut dan mengikuti langkah Ken ke ruang tengah.
Padahal, biasanya Kevin susah sekali kalau diajak bicara serius. Cowok itu pasti lebih suka adu mulut dan membantah setiap ucapan kakaknya, dan inilah akibat yang harus di terima Kevin saat ia mengabaikan semua ucapan Ken.
"Gimana keadaan Val, Mas? Dia baik-baik aja, kan? Aku boleh pinjem hapeku sebentar? Aku mau hubungi Val sebentar aja. Dia pasti sedih, Mas. Aku khawatir sama dia," rengek Kevin yang ponselnya sudah disita oleh Ken sejak tadi.
"Berhentilah membicarakan Valerie. Mulai sekarang, anggaplah kalian tidak saling mengenal satu sama lain. Jauhi dia."
"Mana mungkin?!" teriak Kevin tak terima. "Dia hamil, Mas. Apa aku tega meninggalkan dia sendirian dan pura-pura tidak terjadi apa-apa?"
"And then? Kamu mau bertanggung jawab atas segala perbuatanmu?" tanya Ken dengan mata menyipit. "Kamu bisa lihat sendiri, apa yang sudah dilakukan oleh orang tua Val karna merasa marah dan kecewa dengan perbuatan kalian!" Ken menunjuk wajahnya sendiri. Memperlihatkan pada Kevin, bahwa semua lebam yang ada di wajahnya adalah akibat kemarahan orang tua Val padanya.
Kevin seketika terdiam.
"Seharusnya kamu yang menerima semua ini, Kevin!" teriak Ken membuat Kevin tak berkutik.
"Tapi ... Tapi aku nggak tega kalau harus melihat Val menanggung semua ini sendirian, Mas."
"Aku yang akan menanggungnya."
Kedua alis Kevin terangkat naik. "Maksud Mas Ken?"
"Anggap saja ... Aku yang sudah membuat Valerie hamil. Jangan pernah kamu cerita pada siapapun tentang hal ini."
"T-tapi ...."
"Atau kamu mau bertanggung jawab dan menghancurkan masa depanmu sendiri?!" potong Ken sebelum Kevin membantah ucapannya.
Kevin menggeleng lemah.
"Urus saja sekolahmu dengan baik. Sebentar lagi pengumuman kelulusan, kan? Setelah itu, berangkatlah ke luar negeri. Biar aku yang mengurus Valerie dan keluarganya di sini. Anggap saja kamu tak pernah melakukan apapun," tandas Ken.
Sedangkan Kevin hanya bisa diam. Sekalipun dia ingin mengelak, tapi semua ucapan Ken terdengar sangat masuk akal baginya.
Kalau Kevin mengakui semua kesalahannya di depan orang tua Val dan menanggung semuanya sendirian, pasti dia tidak akan sanggup dan akan hancur saat itu juga. Dia masih terlalu kecil kalau harus menanggung semua beban ini sendirian.
Lagi pula, orang tua Val pasti akan lebih murka kalau anaknya ternyata hamil dengan bocah ingusan seperti dia.
Apa yang bisa di harapkan dari seorang remaja berusia delapan belas tahun? Mengurus diri sendiri saja belum becus, apalagi harus bertanggung jawab pada seorang gadis yang tengah mengandung anaknya.
Kesalahannya sungguh fatal!
***