Dia Masih Kecil
"Kamu," tunjuknya pada Ken. "Sebutkan siapa namamu? Pekerjaan orang tuamu dan di mana tempat tinggalmu," tanya Susan dengan nada sinis dan tatapan tajam mematikan.
Namun Ken bisa menjawabnya dengan sangat sopan dan teratur. Tak sedikitpun terlihat ada ketakutan di wajahnya. Lelaki itu sungguh mampu menguasai keadaan, membuat Susan sedikit terpengaruh.
"Di mana kamu mengenal Valerie?" tanya Susan lagi. Susan sungguh penasaran, bagaimana anak perempuannya bisa berkenalan dengan lelaki yang sikapnya sungguh dewasa dan meyakinkan ini.
"Valerie adalah teman adik saya. Kebetulan, adik saya sekolah di tempat yang sama dengan Val, jadi saya sering melihatnya," bohong Ken. Tapi jawabannya tetdengar sungguh masuk akal.
Susan mengangguk paham. "Apa kamu mencintai Valerie?"
"Ya, saya mencintainya," bohongnya lagi. Cinta dari mana? Kenal saja tidak!
"Lalu kenapa kamu tega menghancurkan hidupnya? Kalau benar kamu mencintainya, seharusnya kamu jaga dia baik-baik!" hardik Susan merasa geram.
"Saya sungguh-sungguh minta maaf," ucap Ken dengan suara pelan dan wajah menunduk.
"Minta maaf? Gampang sekali kamu bilang minta maaf. Apa kehidupan Valerie bisa kembali seperti semula hanya dengan permintaan maaf darimu?!"
"Sabar, Nyonya ...," Marni mencengkeram kedua tangan Susan yang sudah ingin menyerang Ken.
Sesaat kemudian terdengar suara mobil berderit di halaman rumah Val, ternyata Andika yang datang. Pria itu langsung pulang ketika istrinya menelpon beberapa saat yang lalu.
Dengan langkah memburu, lelaki paruh baya itu memasuki rumah mewahnya. Kedua matanya nyalang mencari seseorang yang diduga sudah menghancurkan masa depan putri tunggalnya.
"Di mana dia?!" suara menggelegar milik Andika menerobos masuk, diikuti oleh sopir dan satpam rumah yang berlarian di belakangnya. Khawatir kalau majikannya itu melakukan hal yang tidak-tidak pada tamunya.
Ken yang berdiri di ruang tamu berbalik saat mendengar suara Andika, dan betapa terkejutnya dia ketika lelaki paruh baya itu berjalan cepat ke arahnya dan melayangkan tinjunya pada Ken yang tidak siap sama sekali.
Alhasil, tubuh Ken oleng ke samping, hampir saja dia jatuh kalau tangannya tidak bertumpu pada sandaran sofa di ruang tamu.
Belum puas dengan pukulannya yang sudah mengenai rahang Ken, Andika masih mendekati Ken lagi dan menarik kerah kemeja lelaki itu.
"Pak ... Sudah ... Pak," ucap sang sopir yang berusaha melerai, namun Andika sudah seperti orang kesetanan. Dengan mudah ia menghempaskan cengkeraman sopir itu di lengannya, hingga dia bebas menyerang Ken lagi.
Sudut-sudut bibir Ken sudah mengeluarkan darah. Lubang hidungnya yang mancung pun ikut-ikutan mengeluarkan darah segar. Lelaki itu hanya menerima pukulan Andika dalam diam, tak ada niat sedikitpun untuk melawan.
Ken sadar betul atas kemarahan dan kekecewaan orang tua Valerie, karna dia juga merasakannya. Tapi, setidaknya Kevin bisa terhindar dari serangan orang tua Val yang bisa saja menghilangkan nyawanya.
Demi apapun, dia akan melindungi Kevin. Sekalipun dia harus mengorbankan nyawa dan harga dirinya sendiri. Karna janji Ken pada Ayahnya sesaat sebelum beliau meninggal, bahwa dia akan menjaga Kevin dengan baik sampai adiknya itu tumbuh dewasa.
Andika baru berhenti memukul Ken saat sopir dan satpam rumah menahan tubunya dengan lebih kuat. Mereka hanya tidak ingin majikannya itu bertindak terlalu jauh hingga mangancam nyawa seseorang.
Kalau sampai terjadi apa-apa dengan Ken bisa runyam urusannya.
**
Setelah di usir oleh Andika, akhirnya Ken meninggalkan rumah Valerie dengan keadaan yang tidak baik. Kepalanya berdenyut nyeri dan badannya seolah remuk.
Namun, Ken sadar hal itu tidaklah sebanding dengan luka hati orang tua Val yang telah kecewa dengan kesalahan yang di lakukan oleh Val dan adiknya.
Ken memacu mobilnya ke arah berlawanan dengan rumahnya. Lelaki itu pergi ke sebuah apartemen, tempat tinggal salah satu sahabat baiknya, Hans.
Percuma juga dia pulang. Amarahnya pada Kevin belum reda sedikitpun. Setidaknya, dia harus menenangkan diri dulu setelah hari yang sangat melelahkan ini.
“Astaga, Ken!” pekik Hans saat membuka pintu dan mendapati sahabatnya itu datang dalam keadaan yang sangat kacau, bahkan Ken sendiri tak menyangka bisa sampai di apartemen Hans dalam keadaan selamat.
Lelaki penuh lebam di wajah itu masuk ke dalam apartemen setelah dipersilakan. Sedangkan Hans buru-buru mengambil kotak obat dan beberapa es batu untuk mengompres lebam di wajah Ken.
“Habis ngejar maling?” tanya Hans sambil menyerahkan sekantung es batu pada Ken. “Bukannya level lo sabuk hitam karate, Ken? Kok bisa babak belur begini?” lanjutnya heran.
Ken hanya menyeringai saat mendengar lelucon Hans.
“Ternyata berat ya jadi orang tua. Nggak semudah yang gue bayangin sebelumnya.”
“Kenapa lagi? Soal Kevin?”
Ken mengangguk lemah.
“Tawuran lagi di sekolah?”
Ken menggeleng. “Bukan. Bahkan lebih parah dari itu.”
“Ha? Nggak paham gue,” sahut Hans seraya mengoles obat merah di luka Ken.
“Pacarnya hamil.”
“What?!” pekik Hans dengan mata membulat. “Pacarnya Kevin? Serius?”
Ken mengangguk.
“Oh shit!!” umpat Hans seraya membuang kapas bekas obat merah dengan kasar. “Kok bisa? Maksud gue, oh shit man! Ini gila! Gimana bocah delapan belas tahun melakukannya?”
“Ck …,” Ken berdecak. “Dari awal ini memang salah gue, Hans. Gue yang nggak becus jagain Kevin.”
“Trus, lo kok bisa babak belur begini, gimana ceritanya?”
“Dipukulin sama orang tuanya si cewek.”
“Kevin kena pukul juga?”
“Enggak. Dia aman di rumah.”
“Aman di rumah?” ulang Hans, tak paham dengan ucapan Ken.
Ken terlihat menghela napas sebelum mejawab pertanyaan sahabatnya.
“Gue ngaku ke orang tuanya si cewek, kalau itu semua perbuatan gue, dan gue yang akan bertanggung jawab sepenuhnya,” tutur Ken membuat Hans semakin melongo, tak habis pikir dengan ide gila temannya.
“Wah, sakit jiwa lo, Ken. Sumpah! Nggak ngerti gue sama jalan pikiran lo. Kenapa lo ngakuin kesalahan adik lo sendiri. Kenapa lo nggak biarin Kevin yang bertanggung jawab atas kesalahannya sendiri? Biar dia kapok dan menyadari kesalahnnya,” cecar Hans.
“Gimana caranya Kevin bertanggung jawab, Hans? Lo nggak sadar, dia masih kecil. Masih delapan belas tahun, bisa apa dia? Lagi pula, gue nggak mau masa depannya hancur karna masalah ini. Biar gue yang nanggung semuanya. Setidaknya, gue udah dewasa,” tandas Ken.
Hans mengelengkan kepalanya dengan wajah mengernyit.
“Bener-bener gila lo, Ken. Trus apa rencana lo selanjutnya? Apa lo mau nikahin tuh cewek sekaligus mengurus anaknya juga?”
Tak disangka Ken seketika mengangguk, membuat Hans semakin tak habis pikir dengannya.
“Gue akan nikahin dia, dan mengurus bayinya dengan baik. Walau bagaimanapun, bayi itu adalah darah daging Kevin, mana mungkin gue biarin begitu aja,” ucapnya dengan tatapan kosong.
**