Sebuah Mimpi Buruk
"Ken, kamu nggak ngantor?" suara merdu Sely di ujung telpon pagi itu. Sedangkan Ken masih bergelung di tempat tidurnya.
Lelaki itu tak bisa tidur semalaman. Entah mengapa, wajah Val yang ketakutan dan berurai air mata itu terus saja menari-nari di kepalanya.
Kasian gadis malang itu ...
"Ken? Kamu sakit?" tanya Sely sekali lagi, saat tak mendengar jawaban apapun dari lawan bicaranya.
"Iya. Agak nggak enak badan."
"Kok nggak konfirm ke aku, sih?" gerutu Sely yang harus merubah jadwal Ken yang sudah dibuat jauh-jauh hari.
"Sorry," sahut Ken dengan suaranya yang serak.
"Kamu pilek?"
"Mungkin."
"Nanti siang aku ke rumah ya."
"Eh? Ngapain?"
"Ada beberapa berkas yang harus kamu tanda tangani. Kamu kan nggak suka kalau ada staff nyelonong masuk ke rumahmu. Mau nggak mau, harus aku sendiri yang nganter ke sana, kan?"
Ken menyingkap selimut tebalnya dan beranjak dari temat tidur. "Pastikan kamu datang sendirian," ucap Ken seraya menatap wajahnya di cermin. Lebam-lebam itu sudah berkurang, namun wajahnya masih terlihat pucat.
Ken tidak mau orang lain melihatnya dalam keadaan seperti ini.
"Iya, aku datang sendiri kok, memangnya mau sama siapa lagi?" gerutu Sely, membuat Ken mengulum senyum, namun saat Ken melakukan itu, ia merasa sudut bibirnya masih terasa perih. Bekas pukulan ayah Val kemarin.
Setelah mengucapkan salam, Sely menutup sambungan telponnya. Sedangkan Ken masih terpekur sendirian di depan kaca besar di dalam kamar.
Gadis bernama Sely yang baru saja menelponnya adalah seseorang yang sudah lama ia kenal, dan ia kagumi secara diam-diam.
Tahun ini, saat usianya menginjak tiga puluh satu tahun, Ken berniat melamar Sely. Bahkan pria tampan itu sudah menyiapkan cincin dan kata-kata indah yang akan ia sampaiakan pada gadis pujaannya itu.
Namun, sepertinya Tuhan berkehendak lain.
Bagaimana mungkin Ken bisa melamar Sely, kalau orang tua Val menganggap Ken adalah perusak masa depan anaknya. Bahwa Ken harus bertanggung jawab pada Val, dan dia pun harus siap kalau orang tua Val menyuruhnya untuk menikahi gadis remaja itu.
Semua impian dan harapan Ken sirna bagai debu tertiup angin. Musnah, tak tersisa sama sekali.
Ken harus rela memupus harapannya untuk mengungkapkan perasaannya pada Sely, padahal Ken sudah merencanakan hal ini sejak lama. Tidak ada satu orang pun yang tau, bahkan Hans sekalipun. Karna Ken termasuk lelaki yang sangat tertutup, ia jarang sekali terbuka tentang kehidupan pribadinya dengan orang lain.
Baru saja Ken selesai mandi dan mengganti baju, tiba-tiba saja ponselnya berdering lagi. Ada nomer asing yang muncul di layarnya.
Ragu-ragu Ken menerima panggilan telpon itu. "Halo?"
"Halo? Keanu? Sekarang juga kamu datang ke rumah saya!" hardik suara berat di ujung sana.
"Maaf, saya bicara dengan siapa, ya?" tanya Ken dengan nada yang masih sopan.
"Orang tuanya Valerie," sahut lelaki itu, suaranya terdengar menyeramkan.
Oh, Ken baru ingat. Kemarin dia sempat memberikan kartu namanya pada Papanya Val. Pantas saja kalau beliau tau nomer telponnya dan menghubungi Ken pagi ini.
"Baik, Pak. Saya datang sekarang juga," ucap Ken dengan suara tenang namun sangat meyakinkan.
Lelaki itu hanya ingin memberikan kesan yang baik pada orang tua Val. Setidaknya, mereka harus tau bahwa Ken tidak akan lari dari tanggung jawabnya terhadap Valerie.
Selesai menerima telpon dari Papanya Val, Ken kembali menatap bayangan dirinya di depan cermin. Berkali-kali hatinya berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Demi Kevin, demi masa depan adiknya.
Biarlah sekarang dia yang harus berkorban. Bukankah sudah tugas seorang kakak untuk melindungi adiknya? Prinsip itulah yang sedang Ken pegang saat ini.
Ini tidak akan lama. Semuanya akan berakhir setelah gadis itu melahirkan anaknya.
***
"Val, buka pintu!" teriak Susan sambil menggedor pintu kamar anaknya dengan tidak sabar.
Tak perlu menunggu waktu lama, pintu di hadapannya terbuka. Terpampang wajah Val yang menunduk ketakutan.
"Ikut Mama ke ruang periksa," ajak Susan, lalu berjalan mendahului Val yang masih diam berdiri di tempatnya.
Sejenak Susan menoleh ke belakang dan dengan geram ia berbalik lalu menarik lengan Val yang dirasa berjalan terlalu lambat.
"Mam, sakit," keluh Val saat Susah sudah mulai mencengkeram pergelangan tangannya terlalu kuat.
"Hati Mama juga sakit karna kelakuan kamu! Apa kamu belum sadar juga?!" hardiknya dengan suara bergetar.
Sesampainya di ruang praktik lantai satu rumahnya, Susan menyuruh Val berbaring di sebuah brankar untuk pasien ibu hamil yang sering di periksa oleh Susan.
Di sana sudah ada berbagai macam alat yang Val sendiri tidak paham, salah satunya adalah USG. Alat untuk memeriksa janin di dalam rahim seorang ibu hamil.
Ragu-ragu Val naik ke atas brankar dan merebahkan tubuhnya di sana. Setelah itu, Susan mulai membuka sedikit kaus Val dan mengeluarkan sedikit gel tepat di atas perut bawahnya.
Begitu alat USG itu di nyalakan dan mulai menyentuh perut bawah Val, saat itu juga jantungnya mulai berdegup tak karuan. Rasanya, seperti ingin muntah tapi tertahan di tenggorokan. Sangat tidak nyaman.
Tangan Susan sedikit gemetar saat menggerakkan alat USG di perut anak gadisnya. Ketika wanita itu melihat ada sesuatu berbentuk mirip biji kacang di dalam kantung rahim Val, saat itu juga alat USG itu terlepas dari tangannya.
Tanpa sadar, Susan melangkah mundur menjauhi Val dan tubuhnya terduduk lemas di atas lantai, tak sanggup menghadapi kenyataan bahwa saat ini putri kesayangannya benar-benar sedang hamil.
Wanita cantik itu tertunduk sambil memeluk lututnya sendiri. Air matanya berlinang dengan isak yang tertahan.
Menyadari hal itu, Val buru-buru membersihkan perutnya dari gel dengan tissue dan menyusul Mamanya.
Gadis itu duduk bersimpuh di hadapan Susan dan ikut menangis bersamanya, tak ada yang bisa Val ucapkan selain permintaan maaf dan rasa penyesalan yang mendalam.
"Kenapa kamu melakukan semua ini, Vaaaal ... Teganya kamu! Teganya kamu sama Mama!" teriak Susan seraya menatap wajah Val yang sudah bersimbah air mata.
Napas Val tersengal, dan dadanya terasa sakit luar biasa. Seandainya saja waktu bisa di ulang kembali. Seandainya saja semua ini hanya sebuah mimpi buruk, yang berakhir dalam satu malam.
***
Siapa yang udah baca sampai sini?