Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 2 Clara Hanya Ingin Menikah

Clara tidak mau mengulur waktu. Dia segera mengambil pakaian yang dia kenakan semalam, lalu memakainya. Dengan tubuh lemas, dia berjalan perlahan ke kamar mandi. Setelah mandi, dia mendengar suara ponsel di dalam tas. Clara duduk di tepi kasur sambil mengeluarkan ponsel dari tas. Ternyata bibinya yang telepon. Telepon dari bibinya membuat hatinya tertekan. Clara menarik napas dalam-dalam, kemudian menjawab panggilan telepon dari bibinya. Belum sempat mengatakan sesuatu, terdengar suara bibinya yang sedang marah. "Gadis sialan! Ke mana saja kamu semalam? Aku menyuruhmu diskusi kerja sama dengan Pak Joshua, kamu malah memukul kepalanya. Kamu merasa dirimu hebat, ya?" "Apa kamu tahu konsekuensi dari menyinggung Pak Joshua? Terserah kalau kamu mau menanggung akibatnya, tapi jangan libatkan aku, pamanmu dan juga Grup Lesmana." "Clara, aku mau memperingatkanmu. Kalau hari ini kamu nggak minta maaf kepada Pak Joshua dan memulihkan kerugian Grup Lesmana, jangan harap kamu bisa mendapatkan barang peninggalan orang tuamu." Mendengar kalimat terakhir yang diucapkan bibinya, Clara mengepalkan tangan dengan erat. Sambil menahan emosi, Clara menjawab, "Ya, aku mengerti." "Baguslah kalau kamu mengerti. Kalau nggak, kamu akan menyesal!" Setelah itu, bibinya langsung menutup telepon. Clara memejamkan mata sambil menggenggam ponselnya dengan erat. Beberapa saat kemudian, emosinya mereda. Kebencian yang terlihat di matanya pun menghilang. Dia ingin segera melepaskan diri dari belenggu ini. Dia tidak mau dikendalikan keluarganya lagi. Agar bisa melawan mereka dan masuk ke dewan direksi di Grup Lesmana, dia harus merebut saham yang ditinggalkan kakeknya. Syarat dari kakeknya untuk mendapatkan saham Grup Lesmana adalah menikah. Menikah ... Tiba-tiba, dia punya ide nekat dalam benaknya. Clara menenangkan dirinya yang panik. Lalu, dia keluar kamar sambil menyembunyikan kepanikannya. Namun, saat berhadapan langsung dengan Ivan, mentalnya kembali jatuh. Ivan duduk di tengah sofa ruang tamu sambil menyilangkan kakinya. Meskipun sedang bersantai, aura pria itu masih terasa menakutkan. Tangan kanan pria itu bersandar di lutut, sedangkan tangan kirinya memegang rokok. Pria itu masih terdiam, tetapi aura yang dipancarkannya begitu kuat, seolah segala sesuatu di sekitarnya ikut terpengaruh. "Pak ... Pak Ivan." Clara mengatakan dengan suara gemetar. Ivan tampak mulai jenuh menunggu. Gumpalan asap rokok keluar dari bibir tipisnya. Ivan memandang Clara melalui kepulan asap. Tatapan pria itu membuat Clara merinding. Saat dia tidak tahu harus berbuat apa, pria itu tiba-tiba berbicara. "Duduk." Kata-katanya singkat, tetapi sangat berwibawa. Clara menggigit bibirnya, kemudian duduk di sofa samping Ivan. Bau tembakau sangat kuat, sedangkan Clara tidak terbiasa dengan bau rokok. Clara tidak kuat dengan bau rokok sampai batuk beberapa kali. Ivan meliriknya dengan acuh tak acuh, lalu mematikan rokoknya di asbak. Ivan berkata dengan serius, "Kejadian semalam juga salahku. Aku bersedia memberimu apa pun kompensasi yang kamu inginkan." Mendengar itu, Clara mengepalkan kedua tangannya di atas lutut sambil menggenggam ujung rok dengan erat. "Aku ... " Clara merasa gugup dan ragu mengungkapkan keinginannya. Ivan menunggu jawaban Clara dengan sabar. Namun, Clara hanya menundukkan kepala. Dia tidak berani menatap Ivan. Untungnya, ada rambut yang terurai di samping yang bisa menutupi sorot mata Clara yang penuh kebimbangan dan malu. Suasana menjadi hening. Akhirnya, Clara memberanikan diri menjawab, "Aku ingin menikah." Mendengar itu, tatapan Ivan berubah dingin. Suasana menjadi tegang, membuat orang merasakan tekanan yang sulit dijelaskan. Clara tetap nekat tanpa memedulikan konsekuensinya. Dia mengangkat kepala. Sambil menatap sorot mata Ivan yang tajam, dia berkata, "Aku ingin Pak Ivan menikahiku." Mendengar itu, Ivan tersenyum mengejek. "Kamu nggak mau lepas dariku?" Pria itu mengejeknya. Tatapan matanya juga penuh intimidasi. Clara menelan ludah karena gugup. Telapak tangannya berkeringat, genggaman tangannya di ujung rok juga makin erat. "Pak Ivan sendiri yang bilang aku boleh minta apa pun sebagai kompensasinya." "Pernikahan adalah pengecualian." Ivan menjawab dengan nada dingin. Clara merasa putus asa. Keberanian yang susah payah dia kumpulkan kini telah surut. Dia menundukkan kepala lagi dan bergumam, "Satu-satunya kompensasi yang kuinginkan adalah pernikahan." Ivan mengatupkan bibir. Dia mengamati gadis yang ada di hadapannya. Pria itu tampak seperti sedang menyelidiki maksud tersembunyi Clara.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.