Bab 8 Apa Kamu Suka Padaku?
Renata langsung ditarik masuk ke lift, lalu naik ke suite di lantai atas klub.
Saat pintu baru saja dibuka, Renata langsung terlempar ke tempat tidur.
"Renata, kamu hebat sekali. Sudah belajar bertarung?"
Suara Calvin terdengar bernada dingin, entah ekspresi apa yang tampak pada tatapan matanya.
Renata duduk di tempat tidur, lalu menunjuk pria yang sedang berdiri dan posisinya lebih tinggi darinya sambil berteriak, "Sama saja. Kamu juga datang ke sini buat cari wanita, 'kan?"
Vortex Klub adalah tempat hiburan terkenal di Kota Bintara, tempat orang-orang kaya dan berkuasa datang untuk minum dan bersantai. Tentu saja tempat ini tidak terlepas dari wanita-wanita cantik yang menemani mereka.
Calvin tiba-tiba tertawa ringan dan maju dua langkah. Dia menyandarkan satu tangannya pada ranjang empuk di sampingnya, lalu membungkuk dan mengangkat dagu Renata.
"Kamu lihat pakai matamu kalau aku sedang cari wanita?"
Jarak mereka yang terlalu dekat membuat Renata bisa mencium aroma kayu yang segar dari tubuh Calvin.
Posisi Calvin sedang membungkuk, kerah bajunya terbuka. Renata bisa melihat beberapa bekas samar di dada putih Calvin.
Itu bekas yang dia tinggalkan di tubuh Calvin semalam.
Dia memalingkan kepala, tidak mau melihatnya. Siang tadi, dirinya masih mendengar suara Kalia di telepon.
Kalau bilang dia tidak bersama Kalia, siapa yang percaya?
"Calvin." Renata memalingkan wajahnya dan suara pelannya bertanya, "Apa kamu benar-benar menyukai Kalia?"
"Nggak suka," jawab Calvin tegas. Jawaban Calvin ini membuat Renata agak terkejut.
"Jadi, untuk apa kamu datang ke sini?"
"Membahas suatu urusan."
Calvin mengangkat dagu Renata dan mengarahkan wajah gadis itu agar menatap langsung ke matanya.
Kemudian, dia bertanya sambil tersenyum tipis. "Ada yang ingin ditanyakan lagi?"
Renata menatap matanya yang indah, lalu bertanya, "Kalau kamu nggak suka, kenapa kamu masih membiarkannya berada di sekelilingmu?"
Dalam sorot mata Calvin, tersimpan senyum memikat yang membuat Renata tertegun sejenak.
Tidak bisa dipungkiri, Calvin adalah tipe yang sangat sesuai dengan selera estetikanya.
Karena itu, saat pertama kali bertemu Calvin tiga tahun lalu, Renata langsung jatuh cinta padanya.
Dia jatuh cinta pandangan pertama pada Calvin.
Namun, kalimat ini tidak bisa dia katakan kepada siapa pun.
Memang suka, tetapi dorongan untuk membunuh Calvin juga sangat nyata.
Contohnya sekarang.
Calvin tersenyum indah, tetapi kata-katanya menjengkelkan lebih daripada apa pun.
Calvin berkata, "Aku nggak suka padamu, tapi bukankah aku tetap menikahimu?"
Renata sangat marah, dia mengangkat kakinya, dan bersiap untuk menendang Calvin.
Dia sangat ingin menendangnya sampai mati!
Calvin dengan cepat menekan kaki, mengikatnya di ranjang.
Renata kembali mengangkat tangan untuk memukul, tetapi ditangkap erat oleh tangan besar Calvin.
Keunggulan dari tinggi dan tubuh Calvin terlihat sangat jelas pada saat itu.
Renata tidak bisa bergerak sedikit pun, kecuali mulutnya yang terus bicara.
"Apa karena aku nggak menganggapmu sebagai manusia, makanya perilakumu nggak seperti manusia?"
Dia mengira Calvin akan menggigit bibirnya hingga bengkak seperti biasanya. Kenyataannya, yang terjadi berikutnya membuat Renata membeku dan tidak berani bergerak.
Tatapan Calvin terkunci pada telapak tangan kanan Renata.
Di telapak tangan Renata, terdapat bercak darah merah yang menyala.
Entah kapan, telapak tangan Renata tergores pecahan kaca, bahkan dirinya tidak menyadari.
Mungkin karena terlalu marah, dia tidak merasa sakit.
Saat ini, ketika Calvin menatapnya telapak tangannya dengan tajam, sekilas nyeri baru terasa.
Dia tampak bagai seekor serigala yang bertemu bau darah.
Renata refleks berniat menarik tangannya kembali, tetapi ditahan erat oleh Calvin.
Detik berikutnya, Calvin mencium lembut telapak tangannya.
Renata tertegun sejenak, seluruh tubuhnya terasa terhipnosis, sehingga dia tidak berani bergerak.
Dia bisa merasakan sesuatu yang lembut tengah menjilat luka tangannya.
Saat Renata mendongak, yang terlihat adalah rambut cokelat Calvin yang tertata rapi.
Renata teringat akan apa yang dikatakan oleh Yurina bahwa Calvin tumbuh besar di luar negeri sendirian, dengan ayah yang keras dan ibu yang sakit.
Tidak ada yang mengajari tentang perasaan dan hubungan antar manusia. Itu membuatnya memiliki karakter yang mudah berubah dan sulit ditebak.
Hati Renata tiba-tiba terasa lembut.
Tanpa disadari, Renata mengangkat tangan kirinya dan mengusap kepala Calvin dengan lembut.
Dia bisa merasakan tubuh Calvin menegang, lalu tangannya dijauhkan dengan kasar.
Callvin kembali berdiri tegak dan menatap Renata dari atas, lalu berkata, "Renata, kamu kira aku anjing yang bisa kamu elus begitu saja?"
Sentuhan hangat Calvin masih melekat di telapak tangan kanannya. Renata mengedipkan mata dengan polos. "Kamu duluan yang berperilaku seperti anjing."
Dia belum pernah melihat orang normal yang mau membantu orang lain menjilati luka.
Wajah Calvin sontak mengeras, tatapannya pun sedingin es. "Seharusnya, kujahit mulutmu!"
Renata tersenyum. "Kalau gitu, kamu nggak akan bisa cium."
"Aku akan menggigitmu sampai mati!" ujar Calvin.
Setelah berkata demikian, Calvin menelepon saluran internal hotel dan meminta seseorang untuk mengirimkan disinfektan.
Renata tersenyum dan bertanya, "Calvin, apa kamu menyukaiku?"
Tanpa ragu, Calvin menjawab, "Kamu mimpi, ya?"
Renata masih tersenyum dan melihat ke telapak tangan yang baru saja dijilat oleh Calvin, lalu berkata, "Lihat, aku hidup dan kamu juga hidup. Nggak ada kebetulan seperti itu di dunia ini. Apa kamu menyukaiku?"
Calvin tersenyum, dengan sarkas berkata, "Kalau begitu aku akan mati?"
Renata tiba-tiba menghilangkan senyuman di wajahnya, mengangkat tangannya, lalu melepas sepatu hak tingginya untuk dilemparkan ke arah Calvin. "Memang mati saja!"
Calvin menghindar dengan gesit, kemudian berjalan ke pintu.
Sebelum pergi, dia tidak lupa untuk mengangkat kakinya dan menendang sepatu hak tinggi yang mendarat di dekat kakinya.
Renata melihat punggung Calvin yang pergi menjauh itu, merasa murka
…
Di koridor yang megah, ada beberapa pria berbaju hitam dan manajer klub.
Suara langkah sepatu kulit terdengar, para lelaki berbaju hitam berdiri di kedua sisi untuk memberi jalan.
Calvin memegang sebatang rokok di saku celananya dengan satu tangan. Ada sebatang rokok yang tersemat di tengah senyuman yang tidak jelas maknanya.
Saat pintu ruang VIP dibuka, ada beberapa pria tergeletak di tanah sambil meratap.
Salah satu pemuda itu masih dalam kondisi menyedihkan, meringkuk di tanah dengan tangan menutupi selangkangan.
Calvin melangkah maju dan menatap pria yang tergeletak di tanah dengan matanya elangnya.
"Aku dengar kamu mengenalku?"
Nadanya sangat dingin, membawa aura bahaya yang mampu membuat orang bergidik ngeri.
Wajah Mahendra tampak pucat dan keringat dingin mengalir di wajahnya. "Siapa kamu? Aku nggak mengenalmu! Apa yang ingin kamu lakukan? Aku peringatkan kamu, ada dukungan keluarga Lewis di belakangku," ujar Mahendra.
Setelah itu, dia memanggil Manajer Klub dan berteriak, "Apa yang kamu lakukan? Kenapa diam? Cepat panggil ambulans!"
Manajer Klub bergeming, pura-pura tidak mendengar.
Calvin tetap tersenyum, membuat semua orang merinding.
Dia memegang rokoknya, lalu mengisap kuat-kuat dua kali dan meniup beberapa lingkaran asap abu-abu.
Setelah itu, dengan tatapan tajamnya, dia mengarahkan rokok yang terbakar itu ke punggung tangan Mahendra, lalu memutarnya beberapa kali untuk mematikan rokok tersebut.
"Ah!"
Dari ruang VIP, tiba-tiba terdengar jeritan yang menyedihkan.
Calvin berdiri, sepatu kulitnya yang mengilap menginjak wajah Mahendra dengan keras, seolah-olah sedang menginjak seekor semut.
"Dengarkan baik-baik. Namaku Calvin."
Mahendra, yang sebelumnya masih berjuang untuk melawan, tiba-tiba berhenti saat mendengar pernyataan itu. Matanya membelalak, keringat dingin mengucur bak guyuran hujan.
Calvin, CEO dari Lestari Sejahtera Group.
Dirinya benar-benar gila dan semua orang di lingkungan ini mengetahuinya.
Menghina dirinya sama saja cari mati.
Namun, Mahendra tidak bisa membayangkan apa jadinya jika dia menyinggung keluarga Lewis.
"Tuan Calvin, apakah perlu dibawa ke rumah sakit?" tanya Manajer Klub.
Calvin tertawa ringan. "Luka sekecil ini sudah mau dibawa ke rumah sakit, memangnya dia begitu berharga?"
"Baik." Manajer Klub itu memanggil pelayan di samping dan berkata, "Tutup pintu ruang VIP, beri Pak Mahendra beberapa minuman. Biarkan mereka bersenang-senang!"