Bab 5 Bisakah Kamu Sedikit Lebih Fokus?
Teng!
Sesuatu serasa meledak di kepala Renata.
Renata hanya duduk terdiam di mobilnya. Setelah mengakhiri telepon, dia masih belum bisa bereaksi.
Di akhir percakapan ini, sebagai orang yang lebih tua, Yurina meminta tolong kepada yang lebih muda dengan putus asa.
Dia berkata, "Renata, selama bukan kesalahan besar yang Calvin lakukan sampai nggak bisa dimaafkan, tolong jangan mudah memilih cerai darinya. Demi almarhum ayahnya."
Renata mengusap dahinya yang agak pening. Jika dia serius bercerai dengan Calvin, Hesa juga tidak akan senang.
Dia mengangkat tangan untuk melihat jam tangannya. Lantas, dia menyalakan mobil dan meninggalkan vila.
…
Di jendela lantai dua, sosok tinggi berdiri di tepi jendela sambil menatap mobil Ferrari merah yang meninggalkan halaman. Sorot mata sosok itu sungguh tajam, dalam, dan datar.
Hingga mobil merah itu menjauh, barulah dia perlahan turun dari tangga.
Tidak lama kemudian, pintu vila terbuka hingga sebuah mobil Maybach edisi terbatas warna hitam masuk.
Calvin menggoyangkan gelas anggur merah di tangan. Dia tersenyum saat menatap pria yang masuk. "Paman, masih pagi sudah datang menemuiku?" tanya Calvin.
Lalu, dia juga melihat wanita berpakaian rapi dan anggun di belakang pria itu. Dia menambahkan, "Ternyata, Sekretaris Helena juga datang?"
Helena mengangguk sopan. "Selamat pagi, Tuan Calvin."
Carlos mengamati Calvin dengan tenang.
Jubah tidur yang dikenakan Calvin terbuka dan acak-acakan. Ada jejak-jejak hubungan percintaan yang terlihat jelas di lehernya.
Dia duduk bersantai di sofa, kedua kakinya disilangkan pada meja kopi di depannya. Dia terlihat sangat acuh tak acuh.
Carlos melihat sekeliling vila dan bertanya, "Di mana Renata? Kenapa nggak kelihatan?"
Calvin mengangkat tangannya dan menjawab, "Nggak tahu."
"Kamu nggak tahu ke mana istrimu pergi?" kata Carlos marah. "Calvin, bisakah kamu sedikit lebih perhatian padanya?"
Carlos menunjuk pada banyak bekas berukuran besar di dada Calvin, dengan marah berkata, "Lihatlah seperti apa dirimu!"
"Haha." Calvin tertawa ringan dan membalas, "Dia boleh saja berpikir sesuka hati, itu urusannya."
"Justru Paman," kata Calvin sambil tersenyum tipis, lalu dia menambahkan, "Paman begitu peduli padanya, bagaimana kalau ... Paman menjadikannya sebagai tanteku?"
"Sembarangan!"
Calvin selalu membuatnya kesal. Carlos langsung pusing dan refleks menempelkan tangan di dahi sambil berkata, "Kamu benar-benar makin keterlaluan!"
Helena melihat Pak Carlos benar-benar marah, sehingga dia pun segera menenangkan, "Pak Carlos, Tuan Calvin masih muda. Dia sedang dalam masa pencarian kesenangan, jangan marah."
Helena adalah sekretaris Carlos. Sejak lulus universitas, dia selalu di samping Carlos. Helena selalu bekerja cekatan dan telaten, bicaranya juga sangat berhati-hati.
"Sekretaris Helena bicaranya paling manis, ya. Bagaimana kalau kamu menjadi tanteku, Sekretaris Helena? Bagaimana menurutmu?"
"Ini …" Helena mengangkat tatapn sejenak ke arah Carlos, lalu segera mengalihkan sorot matanya. Dia agak menunduk dan merapikan rambut di dekat telinganya. "Tuan Calvin, lelucon ini nggak bisa dianggap remeh," ujarnya.
Calvin hanya tersenyum sambil mengalihkan pandangan dari Helena dan beralih ke Carlos.
Carlos mengabaikan lelucon Calvin. Dia melempar setumpuk foto di atas meja kopi di depan Calvin. "Apa wanita ini menjadi alasanmu nggak pergi ke kantor belakangan ini?" tanyanya.
Calvin melirik sekilas. Itu adalah foto yang diambil Renata semalam, diambil dari berbagai sudut sebanyak beberapa kali.
Tidak ada yang datang ke Kuil Sukma tanpa alasan. Dia tahu bahwa Carlos datang karena hal ini.
"Kalia, 26 tahun, nggak bekerja, keluarganya menjalankan usaha logistik kecil."
Carlos, dengan kacamata bingkai emasnya, memperlihatkan ekspresi muak sambil berkata, "Calvin, sebagai CEO Grup Lewis, apa kamu benar-benar bergaul dengan orang yang nggak berkelas seperti ini?"
Senyum Calvin langsung pudar. "Paman, apa Paman sudah menyelidikinya?" tanya Calvin balik.
"Ada banyak wanita di sekitarmu. Aku harus tahu apa tujuan mereka, 'kan?"
Carlos memperhatikan wajah Calvin yang agak angkuh itu dan serius berkata, "Calvin, sebelum ayahmu meninggal, dia menyerahkan perusahaan ini padamu. Kamu harus lebih perhatian, jangan biarkan orang lain mentertawakanmu."
Calvin menghabiskan segelas anggur merahnya, lalu berdiri sambil memiringkan kepala dan tersenyum. "Di perusahaan ada Paman yang mengawasi, apa lagi yang bisa ditertawakan?"
"Lestari Sejahtera Group adalah perusahaan milik keluarga Lewis. Aku cuma seorang Wakil Presdir, apalagi aku ini orang luar. Aku hanya menangani urusan perusahaan demi kamu untuk sementara."
Carlos mengangkat tangan dan menepuk bahu Calvin, lalu menyarankan, "Calvin, pada akhirnya, perusahaan ini akan dikelola penuh olehmu. Jangan membuat masalah lagi."
"Kalau begitu, bagaimana kalau aku serahkan perusahaan pada Paman? Dengan begitu, Paman bisa mengelola perusahaan ini dengan sah."
Setelah kata-kata ini dilontarkan, suasana di sekelilingnya pun menjadi hening selama beberapa saat.
Helena terkejut sejenak. Nada suara Calvin tidak terdengar seperti bercanda, tatapan matanya juga cukup serius.
Saat Helena hendak mengangkat wajah untuk melihat Carlos, suara bentakan Carlos langsung terdengar. "Calvin, lagi-lagi kamu bicara omong kosong!"
Calvin tersenyum dan berkata, "Aku bercanda saja, Paman. Jangan dianggap serius."
"Kelak, jangan sering bicara seperti itu lagi. Jika orang lain mendengarnya, mereka akan membuat masalah besar! Selain itu …"
Carlos, dengan nada dinginnya, terdengar berkata, "Tolong perlakukan Renata dengan baik, dia menantu yang dipilih ayahmu langsung. Meski kamu nggak suka sama dia, kamu tetap harus mempertimbangkan hubungan keluarga Lewis dengan Grup Castillo. Jangan sampai media menemukan sesuatu yang memalukan kedua keluarga ini."
Sebelum pergi, Carlos juga memberi sejumlah nasihat lain.
Usai dia pergi, Calvin melirik foto di atas meja itu, kemudian mengambil ponsel dan menelepon seseorang.
Begitu telepon tersambung, Calvin bertanya dengan suara bernada dingin. "Pak Kevin, foto-foto semalam nggak dipublikasi?"
Nada bicara Calvin terdengar sangat dingin. Di sisi lain, Kevin terlihat bingung. "Pak, Pak Calvin ... Nyonya Muda nggak memberi perintah tentang foto semalam yang perlu dipublikasikan …"
Setiap tiga hari, biasanya ada berita sensasional. Sebagai asisten khusus Calvin, Kevin sudah terbiasa akan hal ini.
Biasanya, begitu ada foto terbit, paparazi langsung mengirim foto tersebut, lalu Renata memberi tahu Kevin untuk mengeluarkan banyak uang dan mengurusnya.
Beberapa foto sebelumnya menghabiskan biaya publikasi lebih dari 20 miliar rupiah, tetapi kali ini, Renata tidak memberikan instruksi apa pun.
"Dia nggak bilang apa-apa?" tanya Calvin.
"Memang sudah dibilang bahwa …" Suara Kevin makin pelan.
Calvin mengernyitkan dahinya dan bertanya, "Apa katanya?"
"Nyonya Muda … Nyonya Muda berkata …" ucap Kevin dengan terbata-bata. Dia merasa, setelah dia mengeja kata-kata ini, hari ajalnya makin dekat.
Calvin makin tidak sabar dan langsung berteriak, "Katakan!"
Kevin berpikir sejenak, lalu menjawab, "Nyonya Muda bilang, orang butuh wajah, pohon butuh kulit, tiang listrik butuh semen. Kalau Anda nggak peduli, terserah Anda!"
Kevin bicara penuh perasaan, meniru nada suara Renata saat dia meneleponnya dengan sempurna.
Begitu dia selesai bicara, dia hanya bisa mendengar kerasnya suara gelas yang pecah di seberang telepon. Lalu, telepon itu ditutup.