Bab 4 Jadi, Kenapa Kamu Menikahiku?
Entah Calvin sedang marah pada Renata atau alasan lain di baliknya, tindakan pria itu malam ini sangat gila.
Dia berturut-turut melakukan hingga beberapa kali, bahkan tidak memberi Renata kesempatan untuk istirahat.
Dengan suara yang terdengar serak dan dingin, Calvin berkata, "Memohonlah padaku."
Memohon sama kamu? Mau enaknya saja, ya,' batin Renata.
"Memohon padaku lebih dulu, baru aku memohon ke kamu."
Pipi Renata sontak merona. Napasnya agak terengah-engah, peluh membasahi rambut di dahi, membuatnya terlihat makin cantik dan menggoda.
Calvin mencemooh, "Renata, sekalipun langit runtuh, kamu akan tetap menghadapinya pakai mulutmu."
…
Langit di luar jendela mulai berwarna putih keabuan.
Renata terbangun saat mendengar suara aliran air di kamar mandi.
Kedua kakinya begitu pegal serasa baru saja diamputasi. Dia duduk dengan susah payah dan menunduk sambil mengamati kulit putihnya di balik selimut yang tipis. Badannya penuh oleh bekas ciuman.
Semalam, Calvin benar-benar gila!
Saat itu, pintu kamar mandi terbuka. Calvin keluar dengan jubah tidur warna biru tua. Rambut pendeknya yang setengah kering dan berwarna kecokelatan tergerai acak di dahinya. Kerah jubahnya terbuka, menampilkan tulang selangka dan garis otot di dadanya dengan jelas.
Dengan tinggi tubuh nyaris mencapai 190 cm dipadukan fitur wajah yang sempurna, penampilannya benar-benar tanpa cela. Namun, auranya lebih kompleks … dingin, tetapi memikat. Menarik nan berbahaya.
Renata tertegun sesaat, terpaku oleh sosoknya. Sebuah kotak kecil tiba-tiba dilempar ke arah Renata, kembali menyadarkannya.
Calvin melirik Renata dengan matanya yang tajam dan dingin. Setelah itu, dia duduk di sofa sambil menyalakan sebatang rokok dan mengisapnya beberapa kali, lalu asap kelabu diembuskan hingga membentuk lingkaran.
"Minum ini," ucap Calvin.
Nada bicaranya datar, tanpa emosi sedikit pun.
Renata menunduk dan mengamati kotak kecil yang dilempar padanya. Ternyata, itu adalah sekotak pil.
Telinganya langsung berdenging. Calvin benar-benar meminta dirinya minum pil kontrasepsi darurat ini?
Bukannya obat ini bisa merusak tubuh?
"Aku minum obat ini? Enak saja!"
Dia mengambil kotak obat itu dan melemparkannya ke arah Calvin. "Kalau kamu nggak sanggup beli kondom, lebih baik kamu steril saja!"
"Aku nggak sanggup beli?"
Calvin tersenyum sinis dan berkata, "Aku bisa membeli cukup banyak sampai bisa dibuat untuk membangun vila bagimu!"
"Pergi sana!" teriak Renata, tatapannya tajam ke arah Calvin.
Calvin tertawa ringan, lalu mematikan rokok yang baru diisap beberapa kali. Dia memungut kotak pil yang dilempar Renata ke lantai. Setelah membukanya dan mengambil dua butir, dia meletakkannya di ujung lidah.
Lalu, dia berjalan cepat ke arah ranjang dan meraih belakang kepala Renata kuat-kuat seraya langsung mencium bibir Renata.
Saat pil itu ada di antara bibir dan gigi Renata, dia tiba-tiba membuka matanya lebar-lebar, kemudian alisnya berkerut. Selain rasa tembakau yang samar, ada rasa pahit yang kuat dan menyebar di mulutnya. Ternyata, Calvin si bajingan memaksakan obat di ujung lidahnya supaya masuk ke mulutnya. Dia juga memaksa Renata menelannya!
Renata mendorong Calvin dengan keras. Rasa pahit itu kuat sekali hingga dia tidak sengaja tersedak air liurnya sendiri. Tidak bisa menahan diri, Renata pun terbatuk keras.
Calvin menjilat bibir tipisnya. Mata hitamnya menatap tubuh Renata yang gemetar karena batuk. "Nggak mau minum obat, ya? Kamu mau punya anak sama aku? Mau memanfaatkan anak itu sebagai perangkap buatku?"
Wajah kecil Renata bersemu. Batuknya begitu parah sampai air matanya hampir keluar.
Dia mengangkat kepala dan mendapati wajah tampan Calvin terlihat lebih besar dengan senyum puas tersungging di bibir Calvin.
Makin bangga senyuman Calvin, Renata makin murka.
Dia meraih bantal di sebelahnya dan melempar bantal itu ke wajah Calvin tanpa ragu. "Aku nggak mau punya anak sama kamu, lebih baik sama anjing daripada melahirkan anakmu!"
Calvin menoleh dengan ekspresi dingin, lalu menghindar ke samping dengan cepat. Dia segera bangkit dari sisi tempat tidur dan melempar balik bantal yang dilempar Renata. Bantal itu melewati pipi Renata, menyapukan angin ke wajahnya.
Calvin menunjuk ke arahnya. "Kalau begitu, sebaiknya kamu beranak sama anjing saja! Aku nggak akan punya anak denganmu!"
Renata pun murka. "Kalau bukan ayahmu yang menyuruhku untuk melahirkan anakmu, memangnya aku ingin melahirkan? Belum selesai urus yang besar, sudah disuruh mengurus yang kecil. Pikirmu, aku punya banyak waktu?"
Brak!
Calvin menendang lemari di samping ranjang dengan wajah masam. "Orang yang sudah mati enam tahun lalu, baru kamu pakai sekarang buat alasan? Karena dia memintamu untuk melahirkan, kamu langsung mau, begitu?" tanya Calvin.
Renata terkejut dan hanya terdiam.
Sialan!'
Sungguh anak kelewat durhaka, bisa-bisanya dia berbicara begitu!'
"Kalau kamu nggak mau punya anak denganku, kamu …"
Kalimat itu sudah di ujung bibir, tetapi Renata melirik Calvin yang wajahnya tampak dipenuhi amarah. Dia pun menelan kembali kata "cerai" yang hampir terucap, lalu menggantinya dengan bicara, "Kalau gitu, kenapa mau menikah denganku?"
Calvin mencemooh, "Bukankah ini usaha yang kamu dapat dengan susah payah? Kamu begitu menyukai posisi Nyonya Muda dari keluarga Lewis. Jadi, aku akan membiarkan kamu duduk di sana sepuasnya!"
Renata sangat marah hingga ingin menampar Calvin sampai mati!
Tidak heran, Calvin enggan membiarkan dirinya mengajukan perceraian. Renata pun sempat berpikir bahwa Calvin cukup peduli dengan pernikahan ini.
Dia hampir berpikir … Calvin mungkin peduli juga padanya.
Renata menarik napas dalam-dalam, lalu mulai mengenakan pakaian tanpa memedulikan rasa sakit di tubuhnya.
Ketika Renata bersiap keluar, Calvin langsung menarik kasar pergelangan tangan miliknya. Dia tampak sangat tidak sabar saat bertanya, "Mau ke mana?"
"Calvin, semua ini salahku."
Renata menatapnya dan berkata dengan nada bicara penuh ketulusan.
Calvin memicingkan mata, apakah ini tanda Renata mengaku salah?
Renata menarik pergelangan tangannya dari genggaman Calvin, lalu menegaskan dan memberi penekanan pada tiap kata yang dia ucapkan. "Aku salah karena menganggapmu manusia."
Setelah mengucapkannya, Renata langsung membanting pintu. Dari dalam ruangan, langsung terdengar suara geraman Calvin. "Renata!" panggilnya.
…
Saat Renata baru duduk di mobil, ponsel di tasnya seketika berbunyi.
Orang yang menelepon adalah tante dari Calvin, Yurina.
Saat telepon tersambung, suara cemas Yurina pun terdengar. "Renata, aku dengar dari Shelvi tentang kejadian semalam. Dia bilang kamu mau cerai dengan Calvin, apa itu benar?"
Renata mengusap dahinya yang pening. Dengan sifat Shelvi yang cerewet, Renata tidak perlu pikir panjang untuk tahu bahwa Shelvi pasti melebih-lebihkan kejadian semalam.
"Tante, nggak ada apa-apa, kok."
"Baguslah kalau gitu." Yurina pun menghela napas lega, lalu melanjutkan, "Kamu jangan sampai cerai sama Calvin, ya."
Kemudian, Yurina terdengar begitu sabar saat menasihati, "Calvin memang masih kurang dewasa, karakternya juga agak aneh, tapi dulu, dia nggak seperti ini. Dia belum paham banyak hal tentang hubungan antar manusia, aku juga jarang bertemu dengannya. Kamu ini istrinya, berarti kamu harus lebih banyak membimbingnya."
Membimbingnya?
Renata diam-diam tersenyum, bagaimana dia bisa mengajari Calvin yang sikapnya bagai Dewa itu?
Yurina melanjutkan, "Dia dikirim ayahnya ke Negara Yudoria sejak kecil dan tinggal 13 tahun di sana. Aduh, seorang anak kecil hidup sendiri di negeri orang, sangat menyedihkan …"
Hati Renata seketika terenyuh tanpa alasan jelas.
Dia hanya tahu bahwa Calvin tinggal di luar negeri sejak kecil dan baru kembali ke tanah air tujuh tahun lalu usai perjodohan mereka ditetapkan.
Renata mengira, dengan latar belakang keluarga semapan itu, Calvin tentu menikmati hidup di luar negeri bersama keluarga dan teman-temannya.
"Tante, Calvin nggak tinggal sama ibunya di luar negeri?"
Akhirnya, Renata mengajukan pertanyaan mengenai hal yang ingin dia ketahui selama ini.
Beberapa tahun ini, dia tidak pernah mendengar Calvin atau siapa pun dari keluarga Lewis yang menyebutkan tentang Ibu Calvin, bahkan Ayah Renata pun tidak tahu tentang hal ini.
Renata pikir, Ibu Calvin juga sudah meninggal, tetapi ketika memperingati hari kematian Ayah Calvin tiap tahunnya, dia tidak pernah melihat batu nisan ibu mertuanya.
Selain itu, di ruang penghormatan keluarga Lewis yang ada di rumah besar mereka, tidak ada tanda peringatan untuk ibunya.
Jika ibunya belum wafat, Renata belum pernah melihatnya.
Kalau sudah meninggal, tidak ada tempat peringatannya.
Hal ini sungguh membingungkan Renata.
Setelah dia bertanya, suara di telepon menjadi hening.
Renata tiba-tiba menyadari ada yang tidak beres. Jadi, dia pun langsung meminta maaf, "Maaf, Tante, saya terlalu banyak bicara."
"Ini juga bukan hal yang nggak bisa dibicarakan," balas Yurina dengan suara yang terdengar lembut. "Ibu Calvin sakit ketika Calvin berusia empat tahun."
"Lalu, dia tinggal di Panti Wening sampai sekarang."
Hah?
Napas Renata tercekat hingga jemarinya tanpa sadar sudah menggenggam erat setir mobil sport miliknya.
Dia pernah mendengar nama Panti Wening.
Ini adalah sebuah panti mewah yang dibangun dengan dana dari keluarga Lewis.
Pasien yang tinggal di sana … semuanya adalah orang yang mengalami gangguan jiwa.