Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 3 Calvin si Gila

Calvin berjalan ke arah motornya dengan langkah panjang dan segera menaikinya. "Naiklah," ajak Calvin dengan nada dingin pada Renata. Renata menatapnya seperti tengah melihat orang gila. "Gila, ya? Kenapa harus naik kendaraan roda dua ketika aku punya kendaraan roda empat? Mobil atap terbuka milikku jauh lebih keren daripada motormu!" Setelah membalas, Renata langsung masuk ke mobilnya. Belum sempat duduk dengan nyaman, sepasang telapak tangan besar memegang lengan Renata dan menariknya, bak mengangkat anak ayam. Tanpa ada kesempatan bicara, Renata dipaksa pindah ke sisi mobil yang lain. Pintu dibuka, Renata dipaksa masuk ke mobil, kemudian pintu ditutup. Semua gerakan itu dilakukan dengan cepat dan lancar. Saat Renata mulai menyadari yang terjadi, Calvin telah duduk di kursi pengemudi. "Gila." Dia bergumam pelan, tetapi dia tidak bisa menahan senyum tipis di wajahnya. Calvin tiba-tiba mendekati Renata. Satu tangan disandarkan pada jendela mobil di samping Renata, sementara tubuhnya yang tinggi besar menutupi Renata. Detik berikutnya, bibir tipisnya menempel pada bibir lembut Renata. Calvin menciumnya begitu ganas, tanpa memberi Renata celah melawan. Renata nyaris habis napas akibat ciuman itu. "Ugh!" Setelah melawan beberapa kali, Calvin mulai mundur, lalu menggigit bibir merah Renata. Gigitannya tidak terlalu kuat, tetapi cukup bagi Renata untuk merasakan nyeri di bibirnya. Renata menutup mulut dengan tangan dan mengerutkan dahi sambil mengomel, "Kamu memang bajingan, ya?" Calvin menatapnya tajam. Mata pria itu menyipit dan terfokus pada bibir Renata yang makin merah. Dia tampak berbahaya. "Kalau kamu berani bicara tentang perceraian lagi, aku akan menjahit mulutmu!" Setelah itu, dia menginjak pedal gas dan mobil itu pun melaju kencang. Renata menutup mulutnya rapat-rapat. Calvin memang bisa melakukan apa saja ketika dia marah. … Kota Bintara di malam hari terlihat begitu terang, benar-benar kota yang tidak pernah tidur dan penuh kemewahan. Renata duduk di mobil sambil memiringkan kepala dan melihat keluar jendela. Pemandangan di luar mobil berlalu begitu cepat. Calvin mengemudi begitu cepat. Satu tangannya memegang kemudi, sementara lengan putih yang bebas terjulur santai di luar jendela. Jemari panjangnya tampak menjepit sebatang rokok yang menyala. Wajahnya yang tampan dan santai terlihat begitu menonjol, terlihat agak kontras dengan gelang manik hitam pada pergelangan tangannya yang halus. Tiba-tiba, terdengar dering ponsel. Renata pun melihat layar ponselnya untuk melihat siapa yang menelepon. Ada sebuah keraguan samar yang melintas di matanya. Dia mengerutkan kening sebelum mengangkat telepon itu. "Ada apa?" tanya Renata dengan nada dingin. Calvin meliriknya sejenak. Saat menangkap ekspresi tidak sabar di wajah Renata, dia langsung tahu siapa yang menelepon. "Renata, luangkan waktu di akhir pekan ini untuk makan bersama," kata suara di ujung telepon. Nada bicara Hesa, si penelepon, bukan sedang mengajukan permintaan, melainkan sebuah pemberitahuan. "Nggak ada waktu," tolak Renata tanpa basa-basi dan bersiap untuk menutup telepon. "Di ulang tahun yang ke-6, adikmu, Stevan, berharap kamu kembali untuk merayakan ulang tahun bersamanya." Suara Hesa terdengar penuh kasih sayang bak seorang ayah saat dia menyebut anaknya. Kasih sayang ini adalah sesuatu yang sudah lama tidak dimiliki Renata. "Oke." Sebelum menutup telepon, Hesa kembali berpesan, "Bawa Calvin juga, sudah lama aku nggak bertemu dengannya." Renata melirik Calvin yang sedang mengemudi, lalu segera mengalihkan pandangannya dan berkata, "Dia sangat sibuk …" Belum selesai Renata bicara, ponselnya tiba-tiba dirampas. Calvin memegang ponsel itu dengan tangan berototnya. Dia menatap Renata sambil menunjukkan senyuman aneh, lalu bicara dengan orang di seberang telepon. "Ayah, aku pulang sama Renata akhir pekan ini." Renata meliriknya. Pria ini memang pandai pura-pura sopan di hadapan sang ayah. Usai menutup telepon, Calvin melempar ponsel ke pangkuan Renata, lalu menginjak pedal gas. Tidak lama kemudian, mereka pun tiba di rumah. Setelah turun dari mobil, Calvin menarik pergelangan tangan Renata kuat-kuat. Belum sempat bereaksi, Renata sudah diseret masuk ke ruangan dan didorong ke dinding. Menggunakan satu tangan saja, Calvin menggenggam kedua pergelangan tangan Renata dan menekan tangan itu di atas kepala Renata. Tubuhnya menempel erat pada gadis itu. Tangan lainnya mencengkeram dagu Renata, lalu menunduk untuk mencium bibir merah wanita itu begitu ganasnya, bagai serigala yang kelaparan. Dia tidak memberi kesempatan bagi Renata untuk melawan. Di belakang mereka, dinding terasa dingin sekaligus keras ... hingga Renata hampir kehabisan napas karena ciuman itu. Dia tidak bisa mundur sedikit pun. Calvin si gila mencium bagai tengah membunuh seseorang! Ini bukan kali pertama Renata dan Calvin berciuman. Akan tetapi, setiap kali berciuman, Renata selalu kehabisan napas dan hanya bisa mendesah lemah sebagai tanda perlawanan. Calvin ini kelewat gila. Makin keras perlawanan Renata, pria itu justru makin bersemangat. Sorot mengejek di matanya tampak makin dalam. Dia mencengkeram pinggang ramping Renata dengan satu tangan dan melekatkan ciuman lebih dalam, seperti ingin merebut semua oksigen dari Renata. Saat Renata nyaris kehabisan tenaga, Calvin melepaskannya. Tatapan matanya penuh senyum jahil karena berhasil mempermainkan Renata. "Kalau aku nggak pulang, kamu nggak bisa tidur, tapi kalau aku pulang, kamu malah nggak tahan, 'kan?" Renata merasakan jantungnya berdegap kencang. Dia segera menarik napas dalam-dalam. Wajahnya yang halus dan putih juga terlihat agak kemerahan karena kekurangan oksigen, terlihat sangat menggoda. Di vila yang lampunya tidak dinyalakan itu, mata tajam Calvin terus menatap Renata. Jakunnya bergerak naik turun, seolah-olah dia tidak bisa mengendalikan diri. Baik secara tubuh maupun penampilan, Renata memang cukup menarik. Mulutnya ini ... seolah-olah sudah diracuni. "Calvin, kalau kamu ingin menjadi duda, jangan pakai cara rendahan macam itu!" Napas Renata masih terengah-engah. Tangan besar itu menahan tengkuknya dan menariknya ke depan. Calvin tersenyum dengan ekspresi penuh rayuan, suaranya dalam dan menggoda. "Menduda itu nggak menarik, tapi aku bisa tidur denganmu." Begitu Calvin selesai bicara, Renata mendorong keras pria itu. "Anjing saja lebih tahu malu daripada kamu!" teriak Renata. Tubuh tinggi Calvin tetap tidak bergerak. Dia hanya mengulas senyum jahat dan berkata, "Kekuatanmu cuma sebesar itu?" "Lepaskan …" Belum sempat Renata selesai membalas, tubuhnya seketika diangkat. Calvin menggendong Renata di bahunya dengan satu tangan dan membawanya ke lantai dua, kemudian melemparkan dirinya ke tempat tidur. Saat itu, posisi Renata setengah duduk, sehingga hanya bisa melihat pria di atasnya. "Cal …" Tubuh besar pria itu menekannya. Calvin meletakkan tangan di belakang kepala Renata sebelum menggigit bibir Renata kuat-kuat, tidak memberi Renata kesempatan sedikit pun untuk menolak. Calvin begitu terampil saat membuka ritsleting gaun Renata, mengejutkan wanita itu dengan rasa dingin yang langsung menyapu kulitnya. Setelah tiga tahun menikah, meskipun Calvin tidak mencintai dirinya, mereka telah melakukan hal seperti ini sejak hari pernikahan mereka. Renata teringat pada malam ketika dia memperoleh sertifikat pernikahannya bersama Calvin. Sejak malam hingga subuh, kulit putihnya dipenuhi lebam. Tulang-tulang di tubuhnya sangat nyeri hingga dia tidak bisa mengangkatnya sama sekali, seolah-olah telah ditabrak mobil besar berulang kali. Dia tidak tahu apakah Calvin tengah melampiaskan nafsu atau meluapkan kebencian. Plak! Sebuah tamparan keras mengembalikan pikiran Renata dari lamunannya. Setelah tepukan ringan itu, dia baru menyadari gaun beserta lapisan dalam yang dikenakannya telah dilucuti oleh Calvin entah sejak kapan. "Masih sempat memikirkan hal lain?" Calvin menyunggingkan senyuman sinis. Tatapannya begitu dalam, bahkan terlihat tanpa batas. Bagaimanapun juga, saat ini, kondisi Renata serasa tengah berbaring sebagai ikan di atas talenan Calvin. Dia tidak bisa kabur dan hanya bisa berdebat. Renata tersenyum dan menjawab, "Aku bertanya-tanya, ada pria lain yang lebih pandai melayaniku dibandingkan kamu nggak, ya." Raut wajah Calvin langsung mengeras. Dia menggertakkan giginya dan berkata, "Aku rasa, kamu ingin mati." Renata terpejam pasrah, dia memang kebanyakan bicara!

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.