Bab 19 Ingin Diperlakukan dengan Baik
Dia bertanya dengan tenang dan ringan, tetapi itu cukup untuk membuat Calvin terdiam.
Hampir tanpa sadar, dia mengulang kata-kata Renata di benaknya.
Renata tersenyum kecil tanpa suara melihat reaksi ini.
"Calvin."
Dia menunduk, terdengar lirih saat melanjutkan, "Kita sudah hampir tiga tahun menikah. Selama tiga tahun ini, kamu terlibat dalam 297 gosip skandal. Aku sudah membantumu menangani 296 di antaranya dan bertemu 134 orang yang digosipkan sebagai pacarmu. Tapi, kamu nggak sadar makanan itu nggak pernah ada di meja makan kita."
Sampai di sini, dia tertawa kecil.
Pura-pura menjadi pasangan mesra ternyata memang konyol.
Calvin merasa hatinya tertimpa sesuatu yang berat. Dia memegang roda kemudi erat-erat dan menginjak pedal gas, lalu memarkir mobilnya di pinggir jalan.
Pandangan matanya terkunci erat pada Renata, dipenuhi perasaan yang tidak dapat diterka.
"Renata ..."
Renata membuka pintu dan keluar dari mobil, berdiri dekat pagar di pinggir jalan. Angin musim panas bertiup menerpa wajah, membuat rambut panjangnya yang ikal berkibar seperti rumput laut.
Dia pun agak kedinginan.
Entah karena ini malam hari atau memang rasa dingin dari dalam hatinya.
Pria di belakangnya datang mengikuti dan sebuah jas hitam jatuh ke pundak Renata.
Jas khas barat dipadu kerah berdiri gaya timur, dihiasi sulaman tangan yang indah.
Pakaian itu membawakan aroma kayu yang akrab sekaligus asing baginya.
Calvin berdiri di sampingnya, tidak berkata apa-apa. Dia hanya merokok dan terus menatapnya.
"Waktu itu, usiaku sepuluh tahun."
Renata memandangi bintang-bintang di kejauhan dan berbicara pada dirinya sendiri. "Sebelum pergi sekolah, ibuku memberi pesan, memintaku menjadi anak baik. Katanya, dia akan membuatkan iga babi asam manis kesukaanku saat aku pulang."
"Ibuku kelihatan bahagia hari itu. Riasannya sangat cantik. Wanita tercantik yang pernah aku lihat."
"Baru setelahnya aku tahu kalau itu hari jadi pernikahannya dengan ayahku."
Renata menundukkan kepala, tersenyum pahit. Senyum yang pilu sekaligus mentertawakan diri sendiri.
Calvin mengamatinya dari samping. Anting berlian di telinga kirinya berkilauan memantulkan lampu jalan.
Dia hanya berdiri dan mendengarkan Renata melanjutkan.
"Tapi, sebelum waktu pulang sekolah, sopir keluargaku sudah buru-buru datang. Dia kelihatan sangat panik dan kebingungan. Aku tahu pasti terjadi sesuatu, tapi aku nggak menyangka ..."
Suaranya sedikit melengking di akhir karena tercekat. Matanya mulai berkaca-kaca.
"Aku melihat ibuku untuk terakhir kali di bak mandi kamarnya. Air di baknya merah dan tubuhnya sudah dingin."
Genangan air yang merah terang, menusuk matanya. Membuatnya meneteskan air mata.
Dia tidak tahu alasan ibunya mencium pipinya dengan lembut tadi pagi dan memintanya menantikan iga babi asam manis di sore hari, tiba-tiba bunuh diri.
Hari itu, yang dia dapat bukanlah makan malam kesukaan, tetapi kabar kematian ibunya.
Dia menoleh dan menatap Calvin. Matanya yang selalu tegar kini dipenuhi kesedihan yang mendalam.
Pandangannya kabur karena air mata, hampir tidak bisa membaca ekspresi pria di depannya.
"Selama lebih dari sepuluh tahun sejak hari itu, aku nggak pernah makan iga babi asam manis lagi."
Setetes air mata yang jernih jatuh dari sudut. Suaranya bergetar. "Karena aku pasti akan gemetaran dan muntah."
"Lila sengaja ingin melihatku menderita malam ini."
Dengan mata merah, dia bertanya, "Calvin, kamu masih ingin tanya apa yang terjadi?"
Calvin mungkin tidak bisa mengerti. Siapa yang mau meluangkan waktu untuk memahami orang yang tidak dia sukai?
Namun, Renata tidak terima mendengar Calvin sempat bertanya soal kondisinya dengan nada seperti itu.
Matanya berkaca-kaca, memaksa agar tidak ada air mata yang jatuh.
Dia seperti kucing kecil yang tidak memperlihatkan kelemahannya meski sedang terluka dan membutuhkan perhatian.
Calvin menatapnya dalam-dalam. Tangannya mendekat dan ujung jarinya mengusap sudut mata Renata, lalu menempel di pipinya.
Dengan tarikan lembut, dia membawa wanita itu ke pelukannya.
"Renata, maaf ..."
Suaranya terdengar serak, rendah, dan sangat tulus.
Calvin meminta maaf, tetapi Renata malah merasa makin sedih.
Renata menyandarkan kepalanya di pelukan itu seraya air mata mengalir deras.
Dari terisak menahan diri, berakhir menangis tersedu-sedu.
Tubuh ramping di pelukannya bergetar karena isak tangis, tetapi Calvin tiba-tiba tersenyum kecil.
"Renata, ini pertama kalinya kamu menangis di depanku."
Kecuali, menangis saat di ranjang.
Sebenarnya, Calvin mendambakan rasa menjadi seseorang yang dibutuhkan.
Bajunya basah total dengan air mata dan ingus karena kerasnya Renata menangis.
Calvin mengerutkan keningnya muak, tetapi dia hanya terdiam.
Setelah emosinya mereda, Renata perlahan berkata, "Ini juga kali pertama kamu minta maaf padaku."
"Tapi, Calvin."
Dia mendongak, matanya masih terlihat merah. "Aku nggak mau permintaan maaf darimu. Aku hanya ingin kamu memperlakukanku dengan baik."
Calvin menatapnya lama sekali, tatapan dalam yang penuh makna.
Senyum tipis mengembang di pipi tampannya. "Maksudmu?"
Renata menjawab, "Kita sudah menikah. Ini fakta yang nggak bisa diubah. Kamu juga nggak berencana ingin menceraikanku untuk saat ini. Kenapa kita nggak hidup rukun saja?"
Hidup rukun?
Wanita itu mengatakannya dengan sangat serius. Mata Calvin yang tidak tergoyahkan masih tidak menunjukkan emosi apa pun.
Sebelum dia sempat menjawab, ponselnya berdering.
Melirik nama penelepon, dia segera mengangkatnya.
Suara yang serius dan tegas terdengar dari ponsel. "Tuan Calvin, ada yang memata-matai kalian."
Sambil menutup telepon, Calvin tertawa kecil.
"Renata, gigimu bisa ompong kalau kebanyakan makan yang manis-manis."
Renata mengerutkan kening, berpikir keras untuk memecahkan makna kata-kata ini. Calvin memberinya tatapan mengejek dan berkata lagi.
"Begitu keinginan seseorang terpuaskan, keinginan yang lain akan datang tanpa ada habisnya. Seseorang yang duduk di satu posisi terlalu lama akan mulai berharap lebih."
"Renata, aku sudah memberimu lebih dari cukup ... anak yang baik nggak boleh serakah."
Suara dalamnya terdengar sangat santai. Terutama kalimat di akhir, seperti sedang menghibur pacar yang merajuk.
Akan tetapi ...
Tidak ada kehangatan di sana, bahkan terasa begitu menyakitkan.
Renata jelas mengerti maksud dari kata-katanya.
Dia menatap wajah Calvin yang menyeringai. Lalu, tiba-tiba Renata mengangkat kakinya dan menendang betis Calvin!
Pria itu tidak menghindar, bahkan menerima tendangan tersebut mentah-mentah. Wajah tampannya seketika berkerut. "Renata!"
Renata mengepalkan tinjunya dan berkata, "Salahku sendiri yang masih kurang berpengalaman. Nggak bisa membedakan antara manusia dan anjing!"
Bisa-bisanya dia berharap Calvin akan sadar diri dan hidup rukun dengannya!
Berharap kepada iblis!
Dia melepas jas di bahunya dengan kasar dan melemparkannya ke tanah.
Merasa belum puas, dia menginjaknya beberapa kali di hadapan Calvin ... hingga jas hitam itu pun ditutupi banyak jejak kaki.
Wajah Calvin berubah kelam. "Renata, kalau kamu orang lain, kamu sudah mati 100 kali!"
Renata mendengus dan menatapnya dengan dagu yang naik. "Kalau kamu orang lain, aku sudah pergi jauh-jauh sejak dulu!"
Sial, dia makin marah saat memikirkannya!
Renata melotot sebelum berjalan ke mobil sport di pinggir jalan.
Baru dua langkah, kakinya berhenti.
Dia putar balik ke arah Calvin, kemudian merogoh saku celananya untuk mencari kunci mobil. Tidak lupa menendangnya sekali lagi sebelum berbalik dan pergi.
Kali ini, Calvin menghindar. Pada akhirnya, dia pun tidak bisa menghindar dari ditinggal sendirian di tengah malam.
"Hah!"
Dia melihat mobilnya melaju makin menjauh. Renata benar-benar pergi membawa mobilnya?
Meninggalkannya di pinggir jalan tengah malam dan seorang diri?
Dia mengeluarkan ponsel dan cepat-cepat memanggil seseorang. Telepon langsung terhubung dalam dua detik.
Sebelum orang yang ditelepon sempat bicara, dia berteriak marah lebih dulu. "Kevin! Jemput aku!"