Bab 18 Gila!
Terlalu gila!
Sepatu hak tinggi menghantam lantai dengan suara yang tajam.
Renata melangkah perlahan menuju ruang makan.
"Renata, tadi ..."
Lila hendak berbicara, tetapi Renata langsung memotongnya.
Dia berhenti di samping Stevan dan tersenyum lembut. "Stevan, beri tahu Kakak. Yang ingin makan iga itu kamu?"
Stevan menatap Renata dengan mata lebarnya dan menggeleng jujur. "Bukan aku ... Kak Revina yang ingin makan iga ..."
"Stevan!" Revina langsung berdiri dan menuding pada adiknya. "Aku itu kakakmu! Jangan bersekongkol dengan orang luar!"
Renata tersenyum tanpa kata. Kilatan cahaya tajam melintas di matanya, tetapi menghilang dalam sekejap.
Dia berjalan perlahan ke sisi Revina, mengangkat tangan ke bahunya, lalu mendorongnya ke bawah agar duduk kembali.
Dia mengambil sepiring iga babi asam manis yang belum disentuh sejak pertama keluar dan menuangkan semuanya di piring Revina tanpa menyisakan sedikit pun.
Revina memandangi iga yang sangat banyak di piringnya dan berteriak, "Renata, apa-apaan ini?"
"Kamu suka makan ini, 'kan? Habiskan semuanya kalau begitu!"
Renata menarik kursi di sebelah Revina dan duduk di sana. Dia menunjuk ke piring itu dengan dagunya, tampak tenang saat berkata, "Aku punya banyak waktu. Jadi, aku akan mengawasimu makan. Kamu nggak boleh pergi sebelum semuanya habis."
"Renata, apa ..."
Saat Lila hendak bicara, Renata mengambil sebuah gelas anggur dan melemparkannya ke lantai. Pecahan kaca berhamburan ke segala arah.
"Ini bukan giliranmu bicara!"
Dia melirik Lila dengan tatapan dingin, lalu kembali menatap Revina. "Kalau ada yang menghentikanku lagi, aku nggak bisa jamin apa yang mungkin terjadi selanjutnya."
Dia menambahkan dengan senyuman ringan, "Mungkin aku akan membunuh orang atau membakar sesuatu."
Tangannya terangkat, membuat gestur ledakan. "Dor! Mungkin aku akan membakar rumah ini sampai habis, biar kita semua mati bersama!"
Gila!
Terlalu gila!
Tekanan darah Hesa memuncak. Lila langsung memberinya obat penurun tekanan darah.
Tidak ada yang berani menghentikan Renata, bahkan Revina hanya bisa mengambil sendoknya dan mulai memakan iga babi asam manis yang paling tidak disukainya.
Renata mengawasinya makan tanpa bicara lagi.
...
Langit diterangi cahaya bulan dan Calvin sedang merokok di luar.
Cahaya api berkelap-kelip samar menyinari wajah tampannya.
Suara langkah kaki Rudy terdengar dari belakang.
"Tuan Calvin, saya diberi pesan dari Tuan Hesa, tolong cepat bawa pergi Nona Renata. Rumah ini mungkin akan dijungkir balik kalau dia dibiarkan lebih lama lagi di sini."
Calvin tiba-tiba tersenyum setelah mendengarnya dan mematikan rokok yang belum habis di tangannya.
"Aku mengerti."
Sebelum dia pergi, Rudy dengan ramah berkata, "Tuan, saya bisa lihat rasa sayangmu kepada Nona Renata. Nyonya di surga pasti merasa lega."
Calvin hanya tersenyum tipis tanpa berkomentar.
"Nona Renata sangat menderita. Sejak Nyonya pergi saat dia sepuluh tahun, nggak ada seorang pun yang bisa menjadi teman bicaranya di rumah sebesar ini."
Rudy mendesah, "Sejak kedatangan Nyonya Lila dan Nona Revina, hidup Nona Renata lebih sulit lagi. Tuan Hesa lebih memihak Nona Revina ..."
Tiba di sini, Rudy menghela napas berat, tidak bisa melanjutkan.
"Pokoknya, Nona Renata terlalu menderita selama bertahun-tahun. Saya sangat kasihan melihatnya."
Senyuman lega menggantikan kecemasan di wajah Rudy yang telah penuh kerutan. "Hidup Nona Renata perlahan membaik dengan menikahimu. Nggak akan ada yang bisa menindas lagi."
"Sebagai pelayan, saya nggak punya kuasa apa-apa. Saya cuma berharap Tuan Calvin bersedia memperlakukan Nona Renata dengan baik sampai akhir hayat. Jangan sampai dia menderita lagi."
Calvin menunduk dan terdiam selama beberapa detik. Wajah tenangnya tidak menggambarkan emosi apa pun.
Pada akhirnya, dia hanya menanggapi dengan suara gumaman pelan.
...
Ruang makan hening, hanya terdengar suara dentingan sendok bertemu piring.
Sepiring iga itu baru setengah habis. Revina sudah tidak sanggup menelan. Dengan berlinang air mata, dia melihat Lila dengan tatapan memohon.
Lila menoleh kepada Hesa, hendak berkata sesuatu. Namun, Renata memberinya lirikan dari samping. Kata-kata itu berakhir tertahan di ujung lidahnya.
Langkah kaki terdengar di ruang makan yang besar itu, lalu Renata merasakan pergelangan tangannya digenggam.
Renata mendongak, bertemu mata dengan Calvin yang tersenyum lembut.
Kepada Hesa, pria itu berpamitan, "Ayah, aku masih ada urusan malam ini. Jadi, kami pulang dulu."
Hesa sudah tidak sabar ingin dia membawa pergi Renata. Lelaki paruh baya itu pun cepat-cepat melambaikan tangannya.
Calvin menarik Renata dari kursi dengan cukup kuat.
Revina menatap Calvin sang penyelamat dengan mata berkaca-kaca. "Kak Calvin ..."
"Kamu panggil dia apa?"
Renata melotot padanya dan berkata dengan nada dingin. "Walaupun aku nggak menganggapmu sebagai adik, kamu harus memanggilnya 'Kakak Ipar' mulai sekarang!"
Dia tidak peduli alasan Revina selalu menatap Calvin dengan sorot mata berbeda.
Sebagai seorang wanita, dia tahu tatapan itu mengandung arti lain.
Lila dan putrinya telah menguasai ayahnya dan seluruh keluarga Castillo. Dia tidak akan pernah membiarkan Revina menguasai suaminya juga!
Pelajarannya sudah cukup. Dia tidak ingin tinggal lebih lama lagi.
Dia melirik Stevan yang duduk terdiam di pojok dan melembutkan suaranya. "Stevan, maaf. Kakak sudah merusak hari ulang tahunmu hari ini."
Stevan mengerjapkan mata lebarnya dan berkata penuh kesungguhan. "Nggak apa-apa, Kak."
"Kakak akan memberimu ganti lain kali, oke?"
Anak berusia enam tahun itu mengangguk serius. "Oke."
Sebelum pergi, Calvin menyempatkan diri untuk berkata pada Lila. "Makan malam hari ini sangat enak. Terima kasih, Tante Lila."
Suaranya tenang dan santai. Wajahnya tidak membeberkan emosi apa pun.
Namun, kata-kata yang dia ucapkan membawa hawa dingin yang membuat kulit Lila merinding.
...
Lampu jalan bersinar terang, mobil sport melaju kencang di jalan yang luas.
Renata duduk mengamati ribuan lampu rumah-rumah yang ada di luar jendela. Barulah dia mendapat ketenangannya lagi.
Dia merasa hampir tidak bisa bernapas setelah meninggalkan vila keluarga Castillo.
Calvin menggigit sebatang rokok. Jasnya dilepas, menampilkan kemeja hitam dengan kerah yang sedikit terbuka. Lengan bajunya ditekuk sampai ke siku.
Dia melirik Renata melalui kaca spion. "Barusan itu ada apa?"
Renata hanya lelah. Keluarga Castillo telah menguras begitu banyak tenaganya hingga dia tidak punya cukup kekuatan untuk berdebat.
Tanpa melirik sedikit pun, dia menempelkan dahinya ke jendela dan mengatupkan bibir tipisnya erat-erat.
Melalui kaca spion, Calvin hanya bisa melihat rambut panjangnya yang tergerai, menutupi separuh wajahnya. Menyamarkan emosi yang ada di sana.
Calvin kehilangan kesabaran. "Renata, jawab pertanyaanku!"
Suaranya tidak sekeras itu, tetapi rasa tidak sabar terpancar jelas dari nada bicaranya.
"Calvin."
Renata tiba-tiba membuka mulut, suaranya sangat pelan.
Sangat pelan hingga hampir tidak terdengar andai Calvin tidak sedang menunggu jawabannya.
Dia bertanya, "Sejak hari aku menikah denganmu dan pindah ke rumahmu, apa pernah di meja makan ada iga babi asam manis?"