Bab 20 Biar Bisa Dimanfaatkan Mereka?
Sementara itu, di Kediaman Castillo.
Di ruang kerja yang tertutup rapat, terdengar suara isakan Lila.
"Sayang, kamu lihat sendiri betapa keterlaluannya Renata! Revina itu anakmu juga, tapi kamu diam saja melihat dia ditindas Renata?"
Hesa berdiri di samping tempat tidur dengan tangan di belakang punggung. Wajahnya muram. "Aku sudah bilang tadi siang. Renata memang pemarah, kalian jangan sengaja membuatnya marah!"
"Kapan kami sengaja membuatnya marah? Dia anak pertama keluarga Castillo dan sekarang Nyonya Muda dari keluarga Lewis. Mana berani kami membuatnya marah?"
Lila menangis tersedu-sedu, mengusap air matanya tanpa henti. "Setelah bertahun-tahun menikah denganmu, aku membesarkan Revina dan melahirkan Stevan untukmu. Aku selalu bekerja keras tanpa pamrih selama sepuluh tahun! Tapi, Renata masih nggak mau menganggapku Ibu. Dia sangat sombong dan menyepelekanku. Kenapa kamu bisa terima begitu saja?"
Hesa pun tampak cemas ketika mendengar ini. "Dia jarang pulang, biarkan saja."
"Sebagai orang tua, aku sanggup menderita sedikit. Tapi, Revina beda. Revina juga anakmu, anak kedua keluarga Castillo."
Lila menangis tersedu-sedu. "Revina muntah-muntah terus di toilet. Aku sampai harus memanggilkan dokter dan meminumkan obat untuknya. Sayang, kamu nggak sedih lihat Revina begitu?"
Hesa mendesah. "Ajak Revina pergi belanja baju dan perhiasan kalau dia sudah sembuh nanti."
Pria itu menyodorkan sebuah kartu kredit kepada Lila. "Biarkan dia belanja sepuasnya. Anggap saja kompensasi dari ayahnya."
Lila menerima kartu itu, menyeka air matanya, dan mendesah. "Aku menyesal. Harusnya kubiarkan Revina menikah dengan Calvin sejak awal. Nggak seharusnya anak kita menderita seperti ini."
"Masalah lama, jangan diungkit lagi." Hesa mengingatkan, "Lain kali, jangan macam-macam sama Renata saat ada Calvin. Dia bukan cuma anak keluarga Castillo, tapi Nyonya Muda keluarga Lewis. Kalau Calvin marah, keluarga Castillo akan menderita."
"Aku tahu." Lila mengangguk pasrah. "Orang bilang, status ibu tiri itu sulit. Aku dulu nggak percaya. Kukira, Renata akan menerimaku suatu hari nanti kalau aku curahkan seluruh ketulusanku. Siapa sangka, 14 tahun berlalu, semua usahaku sia-sia saja."
Dia menghela napas berat.
Hesa tidak tega melihat ekspresi penuh kesedihan itu. Dia menaruh tangannya di bahu Lila untuk menghiburnya. "Jangan sedih. Kamu sudah terlalu menderita."
Lila dapat merasakan hati Hesa telah luluh, sehingga dia berkata, "Sayang, besok-besok jangan terlalu sering minta Renata pulang. Biar nggak kejadian seperti malam ini lagi."
Khawatir Hesa salah paham, dia buru-buru berkata, "Bukan apa-apa, maksudku, kamu tahu ... Renata dan Calvin masih belum punya anak setelah tiga tahun menikah. Biarlah Renata memupuk perasaan bersama Calvin, nggak perlu sering-sering pulang ke sini. Biar mereka bisa hidup berdua dengan tenang. Revina juga nggak perlu menanggung kemarahan kakaknya lagi."
Hesa berpikir sejenak dan mengangguk. "Oke."
"Selain itu ..." Lila ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi ragu-ragu.
"Ada apa?" tanya Hesa.
"Ada sesuatu yang sudah lama kupikirkan. Mungkin sudah saatnya memberitahumu."
Lila tampak malu-malu. "Stevan sering sakit beberapa waktu lalu. Waktu kamu nggak di rumah, aku minta orang pintar memeriksanya. Katanya ..."
Sambil menjelaskan, dia mengangkat kepala dan memperhatikan ekspresi Hesa.
Kesehatan Stevan memang sedang turun beberapa waktu lalu. Dia sering terkena flu dan demam setiap beberapa hari sekali.
Sudah diperiksakan ke dokter keluarga dan rumah sakit, tetapi masih saja berulang.
Karena berkaitan dengan anak laki-lakinya, Hesa segera bertanya, "Apa katanya?"
Lila maju dua langkah dan mendekatinya. "Kata orang pintar itu, masalah Stevan mungkin ada hubungannya dengan altar peringatan ibunya Renata."
Hesa mengerutkan kening. "Altar peringatan Riana?"
"Ya!" Lila mengangguk. "Meletakkan benda seperti itu di rumah bisa membawa sial, katanya. Apalagi untuk anak kecil seperti Stevan. Jadi, dia sarankan, altarnya dihilangkan saja."
"Dihilangkan?"
Hesa merenungkannya sangat lama.
Untuk menghilangkan keraguan Hesa, Lila melanjutkan, "Sayang, ibunya Renata sudah pergi cukup lama. Kita bisa ke pemakaman kalau ingin memberi penghormatan. Efeknya sungguh nggak bagus untuk Stevan. Stevan masih kecil. Dia putra kita satu-satunya, nggak boleh mempertaruhkan kesehatannya!"
Kata-kata Lila terngiang di benak Hesa dan dia mengangguk. "Ya sudah, ikuti saranmu."
...
Ponsel di tas tiba-tiba berdering. Renata melirik ke arah penelepon, lalu menekan tombol jawab di dasbor.
"Tante ..."
"Renata, kamu bertengkar lagi dengan ibu tirimu?" Kirana sudah bertanya lebih dulu sebelum Renata sempat menyapa.
Mendengar kata "ibu tiri" membuat Renata pusing.
"Dia mengeluh padamu lagi?"
Tepat sebelum Kirana menelepon Renata, Lila menangis padanya selama 20 menit, mengeluhkan betapa berat hidupnya.
"Renata, maafkan Tante kalau terlalu lancang. Tapi, Lila sudah berusaha maksimal untuk keluarga Castillo selama bertahun-tahun sejak dia datang. Sudah saatnya kamu mengubah pikiran jelekmu tentang dia."
Senyum tipis tersungging di sudut bibir Renata.
Selama 14 tahun, semua orang mengatakan, "Kamu harus terima ibu tirimu."
Namun, tidak ada yang bertanya, "Renata, apakah ibu tirimu baik kepadamu?"
"Ya," jawab Renata dengan mudah. "Asal dia pergi dari keluarga Castillo, aku nggak masalah."
"Renata, kenapa kamu keras kepala sekali!"
Kirana mendesah dan menasihati, "Ayahmu juga sulit, terjebak di antara kamu dan ibu tirimu. Kamu harus lebih pengertian dengannya."
Suara Renata menajam. "Dia kesulitan karena ulahnya sendiri!"
"Nggak bisakah kamu menjadi anak baik sedikit saja!" Kirana pun kehilangan kesabaran. "Ibumu sangat lemah lembut. Dia selalu mengajarimu untuk berbuat baik sejak kecil. Kalau ibumu masih ada, dia pasti sedih melihatmu seperti ini!"
Renata menukas, "Oke, aku harus menjadi orang baik hati, biar bisa dimanfaatkan Lila dan anaknya?"
Tidak ada yang boleh memanipulasi perasaannya dengan bawa nama ibunya ke percakapan!
Dia sudah lama tidak punya hati. Apa lagi yang bisa dimanipulasi?
Kirana tidak kuasa menghadapi Renata yang terlalu keras kepala, sehingga dia menutup telepon dengan marah.
Sambil memegang roda kemudi erat-erat, Renata mengubah arah tujuan. Awalnya, dia pulang ke rumah, tetapi beralih ke Bar Yokawa.
...
Di kolam renang sebuah vila pribadi.
Seorang pria duduk santai dengan kaki bersilang pada sebuah sofa kulit di tepi kolam renang.
Senyum meledek terhias di sudut bibirnya. Cahaya bulan terang temaram silih berganti di wajahnya yang tampan tanpa tandingan.
Di depannya, ada seorang pria paruh baya yang kepalanya dipaksa terbenam di air. Dia meronta-ronta, seperti hampir mati kehabisan napas.
Pria di pinggir kolam mengangkat tangannya dan pria paruh baya di kolam pun diangkat.
Seluruh tubuhnya basah kuyup. Dia batuk dan terengah-engah, berlutut di lantai sambil menggigil dan memohon belas kasihan.
"Tuan Calvin, saya bersumpah nggak tahu apa-apa!"