Bab 14 Apa Haknya!
Tok, tok, tok!
Terdengar suara ketukan di pintu, diikuti suara Hesa.
"Calvin, ayo, temani aku minum teh."
Calvin menjawabnya, melirik wajah Renata yang agak canggung, lalu berjalan pergi sambil tersenyum.
...
Sementara itu, di aula.
Hesa menyodorkan secangkir teh ke hadapannya. "Calvin, aku dengar dari Renata, kamu sangat sibuk akhir-akhir ini."
"Benar." Bibir Calvin membentuk senyuman sempurna.
Hesa meneguk tehnya dan berkata, "Grup Lestari Sejahtera tengah dapat momentum besar. Wajar saja kalau kamu sibuk. Tapi ... sesibuk-sibuknya kamu, jangan lupa urus keluarga."
Tentu saja Calvin tahu alasan Hesa memanggilnya sendirian tanpa Renata.
Dia bersandar di sofa dan memainkan pemantik api emasnya. Wajah rupawan itu berkelap-kelip diterpa cahaya api.
"Ayah tenang saja, hubungan kami sangat baik."
Hesa menatap ekspresi Calvin dan tetap diam.
Jika hubungan mereka benar-benar baik, mengapa tidak kunjung punya anak setelah tiga tahun menikah?
...
Renata melihat dua orang itu sedang mengobrol begitu kembali ke aula. Mungkin membicarakan bisnis.
Dia tidak terlalu tertarik, sehingga dia pergi ke halaman belakang.
Ini sedang musim panas. Bunga-bunga di halaman belakang pun bermekaran.
Renata ingat, sewaktu dia masih kecil, ibunya suka sekali merawat bunga-bunga di halaman belakang saat sedang senggang.
Kata ibunya, bunga dan tanaman punya vitalitas yang sangat kuat. Sekalipun dipindah ke tanah lain, mereka dapat bertahan hidup asal diberi sinar matahari dan air yang cukup.
"Bi Wulan, sudah berapa kali kubilang, cabang ini harus dipotong."
Lila datang ke halaman belakang. Sambil berkacak pinggang, dia mengangkat jari lentiknya dan menunjuk ke cabang bunga yang tumbuh sempurna.
Bi Wulan sebagai pelayan di rumah itu pun mengikuti Lila sambil memegang gunting, lalu memotong cabang tanpa berucap sepatah kata pun.
Sambil mengangguk, dia berkata, "Maaf, Nyonya. Ini terlewat oleh saya. Awalnya, saya kira cabang ini bisa mekar, tapi setelah disiram dan dipupuk tetap nggak kuncup sama sekali."
Setahun setelah kematian Riana, Lila dan putrinya pindah menuju Kediaman Castillo. Lila mengganti semua pelayan di keluarga Castillo, seolah-olah dia adalah nyonya rumah.
Jelita, yang sudah 11 tahun merawat Renata, juga disuruh pergi.
Pada awalnya, Hesa tidak setuju.
Namun, di bawah tekanan Lila, Hesa tidak berkata apa-apa lagi.
Saat itu, Renata masih muda dan pendiam. Meskipun dia sangat menolak, dia tidak bisa mengubah apa pun.
Lebih dari sepuluh tahun Bi Wulan bekerja di keluarga Castillo, Renata sudah mengetahui seperti apa karakternya.
Lila melirik ke arah Renata, lalu meninggikan suara untuk berbicara ke arah Bi Wulan. "Tanaman berbunga dan berbuah itu hukum alam. Cabang yang nggak berbunga seperti tadi baiknya dipangkas dari awal. Apalagi sampai tiga tahun, sia-sia kalau dipelihara terus."
"Benar, Nyonya benar adanya."
Bi Wulan berkata sambil mencibir, "Mirip ayam betina yang nggak bertelur, buang-buang makanan kalau dipelihara terus. Lebih baik cepat-cepat disembelih."
Keduanya saling bersahutan satu sama lain.
Renata mendengus mendengar semua ini. Kata-kata itu tidak lebih dari menyindir pernikahannya dengan Calvin yang belum juga dikaruniai anak setelah tiga tahun.
Dia tidak kesal, hanya menyilangkan tangan dan berjalan maju sambil tersenyum hangat. "Bi Wulan, makan malamnya sudah siap?"
"Oh, Nona Renata."
Kata-kata Bi Wulan terdengar sopan, tetapi rasa muak di matanya tetap serupa dengan kata-kata majikannya. "Makan malamnya sedang disiapkan ..."
Sebelum dia selesai bicara, Renata tertawa pelan dan bertanya, "Artinya, kamu nggak bekerja dengan baik?"
Bi Wulan tertegun sejenak, matanya agak mengelak. "Saya ..."
Renata menarik gunting dari tangannya, matanya tertuju ke arah mata gunting yang tajam itu. "Makan malamnya belum siap, tapi masih sempat keluar memangkas tanaman? Bi Wulan, kamu nggak bisa membedakan prioritas yang lebih penting, ya?"
Dia mengangkat matanya dan mendengus ringan. "Waktu Bi Jelita di sini, dia bisa mengatur segalanya dengan sempurna. Bahkan, dia ingat jam berapa aku makan dan jam berapa aku minum."
Dia seketika mengacungkan gunting itu ke arah Bi Wulan ... hingga wanita itu sangat ketakutan sampai tidak berani bernapas.
Mata Lila sontak terbelalak, ikut terkejut.
Dengan suara "klik", sekuntum bunga yang mekar sempurna jatuh ke tanah di samping Bi Wulan.
Renata menyeringai melihat rasa malu yang terpancar di wajah Bi Wulan, begitu lirih saat berkata, "Baik sekali kerjamu. Sebagai pelayan, bukannya memikirkan urusan sendiri, malah memikirkan ayam orang lain bertelur atau nggak. Bi Wulan, pekerjaanmu terlalu sedikit, ya?"
Meskipun tersenyum dengan tenang, kata-kata yang diucapkan Renata mengandung wibawa dan kekejaman yang tidak terlihat.
Renata punya sifat pemarah. Semua orang di keluarga Castillo pun tahu soal itu.
Bi Wulan hampir mengira gunting itu akan jatuh menimpa dirinya, tetapi dia sadar saat cabang bunga yang terpotong rapi jatuh di kakinya.
Dia menatap Lila hati-hati, lalu pergi usai melihat sorot mata Lila.
"Nyonya, Nona Renata, saya ke dapur dulu dan memeriksa makan malamnya."
Setelah Bi Wulan pergi, tersisa dua orang di halaman belakang.
Renata tidak bicara, hanya menatap Lila sambil tersenyum tipis.
Lila tanpa sadar melirik gunting di tangan Renata. Bilah tajamnya bersinar menyilaukan di bawah sinar matahari.
Dia masih ketakutan, sehingga dia menenangkan diri dan berkata, "Renata, aku yang meminta Bi Wulan datang kemari membenahi bunga-bunga. Kamu nggak pantas bicara seperti itu."
Sambil mengulas senyum yang tidak sampai ujung mata, Renata hanya bertanya, "Nggak pantas? Oke. Kalau begitu, aku nggak bicara soal dia. Bagaimana kalau tentang kamu saja?"
Renata tidak menaruh hormat sedikit pun pada Lila sejak dia pulang. Karena di sekitar tidak ada orang lain, Lila berhenti pura-pura. Dia meninggikan suaranya dan berkata, "Renata, aku tahu kamu nggak suka aku, tapi jangan lupa. Kalau bukan karena Revina, apa mungkin statusmu bisa menjadi Nyonya dari keluarga Lewis?"
Renata mengerti maksud Lila. Ibu kandungnya sudah tiada dan ayah kandungnya tidak peduli padanya.
Jika dia tidak menikah dengan keluarga Lewis, keluarga terkaya di kota ini, kata-katanya tidak mungkin punya kekuatan apa-apa di keluarga Castillo.
Hah!
Menurut Lila, Renata harus berterima kasih kepadanya serta anak itu?
Dia menatap wajah sinis Lila dan tersenyum menghina. "Tante Lila, kamu salah paham, ya? Kalian yang dulu memohon-mohon biar Revina nggak menikah dengan Calvin. Menangis, teriak-teriak, bahkan mengancam bunuh diri ke Ayah. Malah aku yang sudah membantumu. Oke saja kalau kalian nggak mau terima kasih, tapi kenapa sekarang menyerangku begini?"
"Aku harus mengingatkan sesuatu kepadamu." Renata melangkah maju dan menatap Lila lekat-lekat.
Lila merasa tubuhnya bergidik menerima tatapan jahat itu. "Apa?"
Jari Renata melingkar pada kalung mutiara yang menggantung di leher Lila. Matanya bergerak ke atas, bertemu mata Lila yang agak kebingungan.
"Tante Lila, kalau ibuku nggak meninggal, mungkinkah kamu bisa masuk gerbang keluargaku dan duduk di posisi Nyonya dari keluarga Castillo?"
Sorot matanya sangat tajam hingga Lila pucat pasi dan mundur terhuyung. Namun, Renata menarik kalung mutiara di lehernya kuat-kuat agar tetap berdiri di sana.
"Kalung mutiara ini sangat mahal. Kamu belum pernah lihat barang sebagus ini sebelum menikah dengan ayahku, 'kan?"
Ada senyum sinis terukir di wajah lembut Renata. "Kalau bukan karena ibuku, apa kamu pikir bisa dapat kehidupan sebagai istri keluarga kaya yang nggak perlu bekerja apa-apa?"
Dia melepaskan kalung mutiara dari leher Lila, kemudian tangan Renata bergerak ke atas, merapikan kerah gaun Lila dengan perhatian penuh.
"Tante Lila, kamu harus bersyukur. Paham?"
Dia mengangkat dagunya dan tersenyum cerah pada Lila, tetapi ada hinaan yang terpancar jelas dari senyumannya.
Semua kekayaan yang dinikmati Lila saat ini adalah peninggalan ibunya. Apa hak wanita itu bersikap sombong di hadapannya!