Bab 15 Kalau Tidak Suka, Mati Duluan Saja
Ketika Renata kembali ke aula, dia mendapati Calvin sedang menatapnya.
Dia melambaikan tangan padanya hingga pelupuk matanya yang dalam pun tampak tersenyum tipis.
Renata berjalan mendekat, lalu duduk di samping Calvin tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Hesa melirik Renata dan langsung berkata, "Calvin, kalian sudah hampir tiga tahun menikah. Sudah waktunya memikirkan untuk punya anak."
Baru saja selesai membereskan Lila, tiba-tiba didesak punya anak oleh ayahnya. Renata pusing.
Calvin menoleh padanya dengan sorot mata geli. "Renata masih muda, nggak perlu buru-buru."
Renata melihat tatapan itu, hatinya tertawa kecil.
Omong kosong!
Jelas-jelas dia yang tidak ingin punya anak!
Aneh kalau bisa punya anak setelah minum pil KB dan memakai pengaman!
Hesa ingin mengatakan sesuatu lagi, tetapi dering ponsel menyela pembicaraan mereka.
Calvin mengeluarkan ponselnya dan Renata meliriknya tajam. Itu adalah panggilan dari Kevin.
Pria itu mengerutkan kening, lalu beranjak pergi untuk menjawab telepon.
Hesa menyodorkan secangkir teh kepada Renata.
"Kenapa nggak bilang dulu mau pulang?"
"Bilang ke siapa?"
Renata meneguk tehnya yang agak pahit. "Aku nggak punya apa pun yang perlu dibicarakan dengan Lila. Aku nggak ingin bicara denganmu juga."
Jika bukan karena ulang tahun Stevan, dia enggan merepotkan diri pergi ke sini.
Dia tidak akur dengan siapa pun di keluarga Castillo kecuali Paman Rudy.
Mendapati tangan kanan Renata dibalut kain kasa, Hesa bertanya, "Tanganmu kenapa?"
Renata dengan santai menjawab, "Nggak sengaja terluka."
Mungkin lukanya sudah kering sekarang.
Hesa tampak serius. "Kamu sudah dewasa, tapi masih saja suka ceroboh."
Renata tersenyum mengejek. "Kamu sedang perhatian atau lagi menyalahkan? Kalau perhatian, nggak perlu. Kapan kamu pernah perhatian padaku sepuluh tahun ini? Kalau menyalahkan, cukup diam. Kamu nggak berhak bicara apa-apa."
Sejak usianya sepuluh tahun, entah Renata kedinginan atau kepanasan, kenyang atau lapar, tidak berhubungan dengan Hesa.
Wajah Hesa muram, bahkan tampak marah saat berkata, "Kenapa sifatmu masih sama saja?"
Renata begitu santai saat balik bertanya, "Apa yang salah dengan sifatku? Kalau menurutmu ada yang salah, kenapa kamu nggak mikir kalau yang salah itu kamu?"
Hesa melemparkan cangkirnya, membuat seluruh isinya tumpah ke atas meja.
"Sifatmu makin parah setelah menikah dengan Calvin!"
Saat Renata hendak membalas, suara Lila kembali menghantui.
"Oh. Sayang, jangan marah."
Lila duduk di sebelah Hesa dan buru-buru mengambilkan secangkir teh lagi untuknya, tetapi kata-katanya ditujukan kepada Renata.
"Renata, baru saja pulang sudah membuat ayahmu marah. Kenapa kamu nggak pengertian?"
Renata bersandar di sofa, tangannya dilipat di depan dada sembari menatap Lila dengan tatapan dingin. "Tante, mulutmu sudah mendekati tanggal kedaluwarsa, ya? Kelihatan gugup sekali tiap mau memakainya. Mengoceh terus di mana-mana. Setiap ada orang bicara selalu menyela. Aku sedang bicara dengan ayahku, kamu harus menyela juga?"
"Renata, jangan lancang!"
Karena ada Hesa, Lila serasa ingin melampiaskan amarah yang tadi nyaris meledak di halaman belakang.
"Aku nggak peduli bagaimana sikapmu kepadaku, tapi jangan begitu di depan ayahmu. Nggak bisa jaga emosimu di depan ayahmu? Ini sedang di Kediaman Castillo. Berhenti bertingkah sebagai Nyonya dari keluarga Lewis di depan ayahmu."
Renata bersandar malas di sofa. "Sifatku memang begini sampai aku mati. Kalau kamu nggak suka, mati duluan saja sana."
"Oh, benar juga." Renata tersenyum polos, lalu menambahkan, "Kamu pasti akan mati duluan sebelum aku."
"Renata!"
Suara tajam bergema melalui tangga.
"Beraninya kamu bicara seperti itu kepada ibuku?"
Renata mengangkat matanya dan melihat adik tiri yang lebih muda dua tahun darinya, Revina Castillo.
Renata memutar matanya dengan muak.
Telinga belum tenang, sudah datang satu suara lagi.
Revina menuruni tangga dengan sepatu hak setinggi lebih dari sepuluh sentimeter. Gadis itu menghampiri Renata dengan langkah yang angkuh dan merendahkan. "Kenapa kamu mengutuk ibuku?"
Renata membalas, "Kalau begitu, aku kutuk kamu saja?"
"Cukup!"
Hesa berteriak keras, meredam asap pertempuran.
"Ayah!"
Revina memutar tubuhnya dan berjalan ke arah Hesa. Dia meraih lengan Hesa dan menggoyangkannya manja. Wajahnya cemberut.
"Renata selalu berprasangka buruk pada kami. Terlebih lagi setelah menikah dengan Kak Calvin. Dia makin menginjak-injak keluarga kita. Pantaskah bersikap seperti itu?"
Renata mual menyaksikan tingkah soknya menjadi korban.
Karena mereka sempat tinggal satu atap di masa lalu, dia masih berusaha menjaga keharmonisan dan mendiamkan anak itu.
Kini, dia tidak lagi tinggal bersama keluarga Castillo. Jadi, dia tidak harus memanjakan ibu dan anak itu!
Hesa sangat marah sampai kepalanya sakit. "Kalian sudah tahu sifatnya, kenapa kalian mengganggunya!"
Ketika Calvin kembali usai menjawab telepon, dia melihat Renata menyerang semua orang di keluarga Castillo tanpa pandang bulu.
Tampaknya, wanita itu masih punya sedikit toleransi ketika bicara dengannya sehari-hari.
"Kak Calvin!"
Saat melihat Calvin, Revina menyingkirkan tatapan tajamnya dan buru-buru berjalan ke sisi Calvin sambil tersenyum.
Renata meliriknya sekilas. Dia memakai gaun seksi, riasan tebal, bahkan rambutnya ditata begitu anggun, bak hasil dari penata rias profesional. Dia pasti menghabiskan uang yang tidak sedikit untuk penampilannya hari ini.
Tatapan merayu yang diarahkannya pada Calvin membuat Renata merasa sedikit tidak nyaman.
"Sayang." Renata sengaja menghampiri Calvin lebih dulu sebelum menggandeng lengannya, begitu manis saat bertanya, "Teleponnya sudah selesai?"
"Ya." Calvin mengulurkan tangannya dan memeluk Renata.
Matanya menyapu semua orang di sana. Sambil tersenyum, tetapi suaranya bernada dingin. "Ayah, kalau Renata marah, pasti karena dia diserang lebih dulu. Nggak perlu diambil hati, aku sudah terlalu memanjakan dia."
Wanita dalam pelukannya diam-diam merasa terkejut, senyuman pada bibir Calvin pun makin mengembang.
Napas Renata terhenti. Dia tahu betul mereka berdua sedang bersandiwara, tetapi kalimat Calvin tetap membuat hatinya bergetar.
Kata-kata itu melintas bagai semilir angin, menyapu sudut hati milik Renata yang tidak kasat mata.
Mereka dapat memahami makna kalimat Calvin dengan jelas.
Lila tersadar dan buru-buru tersenyum ramah. "Calvin, Renata sudah menjadi menantu keluarga Lewis. Keluarga Castillo masih perlu bergantung padanya, mana mungkin kami menyerangnya."
Di sudut tangga, ada bayangan kecil yang mengendap-endap, mengamati orang-orang di bawah dengan bibir terkatup rapat.
Mata Renata tiba-tiba melirik ke arahnya. "Stevan?"
Stevan tersenyum saat melihat Renata. Si kecil itu berlari ke bawah dan memeluk kaki Renata.
"Kak, kamu lama sekali nggak pulang. Stevan kangen."
Dia mengangkat kepalanya dan menatap Calvin di samping Renata dengan tatapan jernih. "Stevan juga kangen Kak Calvin."
Calvin tersenyum dan berkata, "Anak manis."
Meski Stevan adalah anak dari Lila dan Hesa serta adik kandung Revina, entah mengapa dia lebih dekat dengan Renata dan Calvin. Tidak begitu dekat dengan ibu kandung dan kakak kandungnya.
Anak itu murni dan polos. Tentu saja Renata menyayanginya.
Melihat tatapan penuh harap Stevan, hatinya melembut sembari mengusap rambut pendek Stevan. "Kakak juga kangen Stevan."
"Stevan!"
Lila memasang wajah serius. "Sudah kubilang berapa kali, panggil kakakmu yang jelas. Dia itu Kak Renata. Kalau kakakmu sendiri itu Kak Revina. Sudah berapa kali kuajari, masih salah terus?"
"Cukup!" sela Hesa tidak sabar. "Biarkan dia panggil sesukanya."
Seisi ruangan riuh dengan pertengkaran. Akhirnya, Rudy datang untuk mengingatkan mereka bahwa makan malam sudah siap. Kekacauan ini pun berakhir.
Renata hanya ingin makan malam ini usai secepatnya dan segera pergi. Dia tidak ingin tinggal berlama-lama lagi.
Namun, setelah masuk ke ruang makan dan duduk di kursi, baru dia sadari betapa sulitnya makan malam ini.