Bab 13 Kalau Bohong Nanti Kena Karma
Dalam sekejap, mobil sport itu berhenti.
"Sudah sampai." Calvin mengingatkan.
Renata kembali tersadar seraya memandang ke luar jendela mobil. Kediaman Castillo sudah di depan matanya.
Tempat itu terasa asing sekaligus akrab baginya.
Banyak pelayan berdiri di depan pintu. Suasananya sangat meriah.
Ibu tirinya, Lila Lavinia, berdiri paling dekat pintu.
Lila mengenakan gaun satin biru safir, dengan kalung mutiara putih yang melingkar mahal di lehernya. Rambut keritingnya ditata rapi. Meskipun usianya lebih dari 40 tahun, wajahnya tetap terlihat terawat dan ditutupi riasan indah.
Dia berdiri di sana dengan wajah yang tersenyum, bagai seorang "ibu" yang menunggu putrinya pulang.
Usai membuka pintu dan keluar mobil, Rudy buru-buru menyapa sambil tersenyum lebar. "Nona, Tuan."
Rudy sudah berusia 50-an, rambutnya beruban lebih banyak sejak terakhir kali mereka bertemu.
Dia sudah bekerja sebagai kepala pelayan keluarga Castillo sejauh ingatan Renata.
Puluhan tahun berlalu dalam sekejap mata.
Lila telah mengganti jajaran pelayan keluarga Castillo, kecuali sang kepala pelayan, Rudy.
Dengan nada ramah, Renata berkata, "Paman, bagaimana kabar Paman akhir-akhir ini?"
"Berkat doa Nona, saya selalu sehat."
Rudy maju selangkah dan berbisik, "Nona, Tuan Hesa sudah lama menunggu."
"Rudy, ada apa?"
Lila berdiri di tangga dengan senyum simpul. Suaranya terdengar agak meninggi. "Siang bolong begini, jangan biarkan Calvin panas-panasan di luar."
Sambil bicara, dia juga mengalihkan tatapan pada Renata. "Nona keluarga Castillo sangat hebat sekali. Walau jarang pulang, sekali pulang langsung disambut banyak orang. Benar begitu, Renata?"
Renata menatap wajah Lila yang tersenyum dalam jarak beberapa langkah darinya.
Dia diam-diam tertawa sinis.
Kali terakhir dia kembali ke rumah keluarga Castillo seorang diri, hanya Paman Rudy yang menunggu di pintu ketika orang lain seperti buta dan tidak bisa melihat.
Apakah Lila berpikir sambutan semeriah ini hanya untuknya?
Mereka begini hanya takut pada CEO Grup Lewis di sebelahnya.
Dia memasang senyum dan meraih lengan Calvin tanpa canggung. "Sayang, ayo masuk."
Calvin melirik tangan yang melingkar di lengannya dan tersenyum puas, membiarkan Renata menggandengnya masuk.
Saat melewati Lila, langkah Renata berhenti.
Lalu, dia tersenyum lembut dan menatap Lila. "Tante Lila, belasan orang begini kamu bilang banyak? Kamu nggak tahu, sih. Ratusan orang sudah menunggu di luar waktu aku pulang ke rumah Calvin. Itu baru banyak."
Melihat senyum Lila membeku, Renata menambahkan, "Tentu saja, keluarga Castillo nggak bisa dibandingkan dengan keluarga Lewis. Ayahku juga nggak bisa dibandingkan sama Calvin. Jadi, rasanya nggak mungkin bisa dibuat semeriah itu."
Wajah Lila sedikit tidak tahan. "Bisa-bisanya kamu membicarakan ayahmu seperti itu? Renata, aku tahu kamu selalu berprasangka buruk tentang aku, tapi aku lebih tua darimu. Mana bisa kamu bicara seperti itu kepadaku?"
Renata membalas, "Kamu sudah tahu aku nggak suka padamu, kamu harusnya tahu aku nggak mau bicara sama kamu. Toh, itu ayahku, bukan ayahmu. Apa pun yang aku bicarakan tentang dia, itu urusanku."
"Renata!"
Wajah Lila kebiruan karena marah, tetapi dia tidak bisa menyerang karena ada Calvin di sana.
Calvin mendengarkan perbincangan dengan wajah yang tenang dan senyuman tipis.
Dia sudah lama memahami karakter Renata yang meledak-ledak pada siapa pun.
"Sayang." Suara itu berubah manis.
Renata merendahkan suaranya, menggandeng lengan Calvin lebih erat, dan tersenyum manis kepadanya. "Di luar panas sekali. Ayo, cepat masuk."
Mata tajam Calvin menatap wajah Renata selama beberapa detik, lalu mengiakan dengan lembut dan berjalan ke dalam sambil menggenggam tangan Renata.
Renata hilang fokus sejenak saat tangannya sudah digenggam.
...
Dalam ruangan penuh balon dan pita warna-warni, hiasan yang kekanak-kanakan ini sangat kontras dengan dekorasi serius di waktu-waktu biasa.
Meja kayu mahoni panjang yang ada di samping berisi kotak kado indah dalam berbagai ukuran.
Seluruh vila dipenuhi kegembiraan perayaan ulang tahun.
Renata menyingkirkan senyum di wajahnya dan melihat sekeliling vila dengan tenang. Dia melihat Hesa sedang duduk di sofa. Berpakaian lengkap, memegang koran di tangannya, dan berhadapan dengan secangkir teh yang mengepul.
Sepertinya, dis sudah menunggu lama.
Renata tertawa dalam hati. Yang dia tunggu adalah menantu yang bisa dia andalkan di dunia bisnis, bukan putrinya.
Melihat tatapan Hesa beralih kepadanya, Renata pun membuang muka.
Hesa menangkap ekspresi Renata di matanya, lalu melirik tangan mereka yang bergandengan.
Dia meletakkan koran ke meja, melepas kacamatanya, lalu bangkit dari duduknya. "Calvin," sapanya.
Calvin tidak angkuh seperti biasanya dan balik menyapa dengan sopan. "Ayah."
Renata tidak menghiraukan Hesa dan langsung masuk ke ruangan di samping.
...
Di ruang tersebut ada altar peringatan, bertuliskan "Istriku Tercinta, Riana Yovita."
Betapa ironis. Renata menyeringai sinis saat membacanya.
Wanita dalam foto hitam putih di altar itu punya mata berbinar dan wajah lembut nan menawan. Ada sedikit kemiripan dengan Renata juga di sana.
Renata menjadi pendiam dan tenang begitu memasuki ruangan ini.
Dia melihat wanita di foto itu dalam diam, matanya berkaca-kaca.
Calvin mengikutinya masuk entah sejak kapan. Dengan tangan di saku, dia bersandar malas pada kusen pintu, menatap Renata dengan mata tertunduk.
Garis wajah wanita itu tajam. Bibir tipisnya terkatup, sementara pipi putih dan halus miliknya ditutupi selapis kesedihan.
Tanpa kata, Renata hanya menyalakan dupa dan menatap kosong ke depan.
Jarang sekali dia bisa tenang dan diam.
Calvin tidak mengganggunya, hanya menatap dengan tenang dan menangkap semua ekspresi di wajahnya.
Suasana sangat sunyi.
Suara Renata yang terdengar sangat pelan tiba-tiba berkata, "Lima belas tahun ... "
Dia pun tertawa pelan. "Aku nyaris lupa bagaimana wajahnya andai nggak sering-sering lihat fotonya."
Dia terus bicara sendiri. "Sejak ibuku meninggal, nggak ada yang merayakan ulang tahunku."
Sungguh konyol. Begitu dia masuk vila tadi, dia iri pada seorang anak berusia enam tahun.
Calvin mengatupkan bibirnya dalam diam. Matanya selalu tertuju pada pipi Renata.
"Kamu mau pesta ulang tahun?"
Calvin seperti tengah mengajukan pertanyaan yang serius.
Renata menoleh begitu mendengar suara itu, kemudian tersenyum dengan mata berbinar. "Kamu mau menemaniku merayakan ulang tahunku?"
Tahun lalu, ulang tahunnya dihabiskan dengan lembur di kantor.
Tahun sebelumnya, dia merayakan hari ulang tahunnya sendirian.
Tahun sebelumnya lagi ... dia lupa.
Dia hanya bertanya asal, tidak berharap Calvin akan setuju.
Lagi pula, hari ulang tahun adalah peringatan atas pertemuan dia dan ibunya.
Dia tidak ingin merayakan ulang tahunnya. Dia hanya merindukan ibunya ...
Calvin tidak berkata apa-apa. Dia hanya berjalan santai ke depan untuk menyalakan tiga batang dupa, lalu membungkuk tiga kali di depan foto Riana dengan sangat serius.
Ketika berdiri lagi di samping Renata, bibirnya tampak mengulas senyum ringan. "Boleh saja."
Renata merasakan kehangatan dalam hatinya, tetapi dia sengaja memalingkan mukanya. "Siapa peduli?" tanyanya.
Calvin tersenyum. "Renata, aku akan merayakan ulang tahunmu yang selanjutnya bersama kamu."
Renata perlahan bicara, "Jangan berbohong di depan ibuku, nanti kamu kena karma."
Calvin mengangkat alisnya. "Yang mendapat karma aku. Apa yang kamu takutkan?"