Bab 12 Kamu Marah?
Renata berdiri di pinggir jalan memandangi mobil sport yang membaur di tengah lalu lintas. Merasa marah sekaligus geli.
Calvin cemburu?
Ketika dia hendak mengeluarkan ponsel untuk memanggil sopir, deru mobil sport terdengar dari jauh. Bugatti tadi berhenti di depannya lagi.
Calvin mengangkat kaki panjangnya dan menendang pintu mobil di samping kursi penumpang dengan kasar.
"Cepat naik!"
Wajahnya terlihat begitu dingin dan suaranya garang.
Melihat pria itu benar-benar marah, Renata memilih untuk berhenti memancing kemarahannya dan masuk melalui pintu yang sudah ditendang hingga terbuka.
Begitu duduk, aura dingin Calvin langsung menusuknya.
"Renata, kamu cari mati?"
Renata tidak marah dan sengaja tersenyum manis kepada Calvin. "Kenapa? Kamu marah?"
Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, pria itu mendesak maju dan membuatnya tertekan ke kursi hingga tidak bisa bergerak sama sekali.
Calvin memegang sandaran kursi di belakang Renata dengan satu tangan. Tangan yang lain memegang dagunya dengan keras.
"Cal ..."
Calvin menyela dengan ciuman yang mendominasi dan kasar.
Bagai singa yang marah pada mangsanya.
Renata refleks menggerakkan kepalanya ke belakang, tetapi jemari itu memegang dagunya makin keras seraya Calvin makin memperdalam ciumannya.
Renata melirik orang-orang yang berlalu-lalang di luar jendela dan tiba-tiba merasa cemas. Dia sempat bergumam beberapa kali, tetapi Calvin tetap tidak melepaskannya.
Dia mengulurkan tangan dan mencoba mendorong dadanya, lalu mencoba mendorong bahunya. Orang di depannya tetap sekokoh gunung dan tidak bergerak.
Calvin lekas menyambar tangan usil itu, menahannya ke bawah.
Ketika jarinya menyentuh kain kasa di telapak tangan Renata, dia berhenti sejenak. Kemudian, tangannya menyelinap dan mendarat di pergelangan tangan Renata, menggenggamnya kuat-kuat.
Dengan kedua tangan tertahan, Renata tidak bisa bergerak sama sekali.
Renata agak membuka mata, saling bertemu dengan mata cokelat Calvin.
Matanya tampak sangat dalam dan tidak tertembus.
Renata seketika berpikir, dia belum bisa melihat isi hati di balik mata ini meskipun telah mengamatinya selama tiga tahun.
Seperti saat ini, dia tidak tahu apa yang membuat Calvin marah.
Ibarat anak serigala penjaga yang melindungi makanannya, tidak mau membiarkan mangsanya diincar orang lain.
Melihat pikiran Renata melayang, Calvin langsung tidak senang dan menggigit bibirnya sebagai hukuman. Renata mengernyit kesakitan.
Melihat ekspresi ini, Calvin mengangkat matanya, merasa puas. Lalu, dia menciumnya dengan lembut dan penuh kasih.
Selain aroma unik yang menyegarkan, terasa aroma tembakau di antara bibirnya. Aroma itu ringan, tidak menusuk, bahkan menyenangkan.
Setelah tiga tahun menikah, Calvin makin ahli ketika menciumnya. Dia benar-benar paham apa yang disukai Renata.
Hanya dalam beberapa gerakan, seluruh tubuh Renata lemas dan kesulitan bernapas.
Calvin tidak melepaskan sampai Renata nyaris kehabisan oksigen.
Renata terengah-engah, matanya terbelalak ke arah Calvin. Dirinya serasa hendak dimakan setiap kali berciuman.
Calvin jelas-jelas tidak menyukainya, tetapi langsung menggila tiap kali menciumnya.
Calvin duduk kembali dengan suasana hati yang jauh lebih cerah.
Dia meletakkan satu tangan di roda kemudi, mengetukkan jarinya beberapa kali, lalu melirik ke arah Renata.
Bibir yang baru saja diciumnya tampak berkilau lembut dan merona merah.
Membangkitkan keinginan untuk mencicipinya kembali.
Dia berbisik, "Kamu harusnya beruntung sedang nggak di rumah."
Tentu saja Renata mengerti maksud Calvin.
Jika sekarang di rumah, dilihat dari betapa gilanya Calvin, mungkin dia tidak akan bisa bangun dari tempat tidur selama satu malam.
Namun, dia tetap enggan untuk mengaku kalah. "Dasar nggak tahu malu," balasnya.
Orang-orang di luar jendela berjalan datang dan pergi. Kendaraan di jalanan silih berganti. Namun, pikiran pria itu tetap berkeliaran tidak karuan.
Calvin menyeringai dan tampak santai saat berkata, "Memang aku nggak tahu malu. Kenapa kamu masih kaget?"
Renata kehabisan kata-kata.
Perihal tidak tahu malu, dia benar-benar tidak bisa mengalahkan Calvin.
Calvin setengah tersenyum sambil melirik dingin ke arah kedai kopi di luar jendela mobil, lalu menginjak pedal gas. Mobil sport itu melesat pergi sekencang roket.
Saking kencangnya, Renata sampai terhempas ke belakang.
Tas di pangkuannya juga terjatuh.
Amarahnya hadir lagi. Dia ingin berkata sesuatu, tetapi mendadak tertegun saat melihat wajah Calvin dari samping.
Tidak sempat mengamati dengan baik setelah memasuki mobil, Renata baru sadar pakaian Calvin hari ini agak berbeda dari biasanya.
Rambutnya yang kecokelatan disisir ke belakang, memperjelas fitur wajahnya yang menggetarkan hati.
Dia mengenakan setelan jas berwarna hitam dengan kerah berdiri dan hiasan bordir di dada. Sederhana, tetapi elegan sekaligus berkelas, memancarkan pesona luar biasa.
Ketika memegang kemudi, samar-samar pergelangan tangannya terlihat dari balik lengan baju. Di tangan kirinya terdapat jam tangan Paul Newman yang jarang dipakai, sementara tangan kanannya dihiasi gelang manik-manik hitam yang tidak pernah lepas dari tubuhnya.
Gelang manik-manik yang biasanya terlihat tidak cocok padanya, kini sangat selaras dengan seluruh penampilannya.
Memang tidak salah dia menyukai pria ini.
Dia tiba-tiba teringat sudah jatuh cinta pada Calvin saat pandangan pertama, salah satunya mungkin karena ketertarikan fisik.
Matanya kembali tertuju ke arah jasnya. Setelah mengingat-ingat, sontak Renata tertawa.
"Calvin, aku kenal jas ini."
Calvin menyetir dengan satu tangan, melirik wajah Renata yang telah berubah dari mendung menjadi cerah. Calvin tersenyum kecil dan tidak berkata apa-apa.
Renata pun melanjutkan, "Perancang pakaian ini pasti punya sudut pandang yang tajam dan seleranya luar biasa."
Calvin tidak tahan lagi mendengarkan ucapannya. "Kalau kamu mau puji dirimu sendiri, langsung bilang saja."
Senyum Renata terlihat makin lebar.
"Ternyata, yang disebut-sebut sebagai orang kaya dermawan oleh wartawan itu kamu."
Setelan jas yang dikenakan Calvin ini adalah koleksi musim semi terbatas kelas atas dari merek mewah ternama Negara Intari, Kiton. Global Mandiri, perusahaan desain pakaian terkemuka dalam negeri, mendapat kehormatan berkolaborasi desain dengan Kiton. Renata menjadi salah satu desainer utama dalam tim itu.
Renata-lah yang mengajukan ide untuk memadukan gaya pakaian barat dengan gaya kerah berdiri.
Setelan tersebut dibeli seorang kaya dermawan misterius dengan harga puluhan miliar rupiah.
Renata tersenyum dan bertanya, "Kenapa aku belum pernah lihat kamu pakai jas ini?"
Calvin melirik, menatap matanya yang tersenyum cerah.
Dia memalingkan wajahnya dan tertawa ringan. "Jelek, aku malas pakai."
Seharusnya, ini menjadi momen yang menyenangkan, tetapi Calvin justru berkata seperti itu dan membuatnya kecewa.
Renata tidak marah. "Kalau jelek kenapa dibeli!"
Puluhan miliar rupiah!
Sayang sekali!
Calvin menjawab, "Buat amal."
Jawaban ini membuat Renata sangat ingin mencekiknya!
Renata terlalu malas untuk meladeninya. Dia tidak bicara lagi, lalu melipat tangan dan menoleh ke luar jendela.
Entah mengapa, dia jarang bersama Calvin dan sebagian besar waktu keduanya hanya dihabiskan di atas ranjang.
Saat-saat di mana mereka berdua bisa menjalin komunikasi yang tenang pun lebih jarang lagi.
Mereka selalu saling serang setiap bertemu.
Renata menghela napasnya berat. Mungkin sifat mereka berdua memang tidak cocok.
Jika bukan karena perjanjian, Calvin mungkin tidak akan pernah memilihnya.