Bab 11 Cemburu Melihat Pria Lain Memberinya Kopi
"Renata!"
Mira berteriak keras sambil membelalakkan matanya.
Renata mengejek, "Seorang wakil berani bicara begitu padaku?"
Kekuatan Renata tidak main-main karena wajah Mira sontak merah dan bengkak.
Mira sangat marah hingga ingin sekali mencabik-cabik wajah yang masih tenang itu!
"Mira, biar kuperingatkan. Kalau kamu berani pukul orang-orangku lagi, sumpah, tanganku akan mendarat di mukamu lagi!"
Renata memberinya tatapan dingin nan menakutkan. "Kalau kamu merasa aku nggak pantas menjabat posisi ini, buktikan kalau kamu pantas menggantikanku. Nggak usah sok di depanku kalau nggak punya kemampuan. Membuatku muak saja."
Dia lalu menoleh sembari tersenyum pada Yunny yang menunduk tanpa berani mengucapkan sepatah kata. "Yunny, perona pipimu agak tipis hari ini, ya? Ingin kutampar juga biar lebih merah?"
Yunny menunduk lebih dalam lagi. "Nggak perlu, Bu Renata."
"Renata, apa yang kamu banggakan?"
Mira menuding pada Renata sambil menutupi pipinya yang merah dan bengkak. "Kamu sudah membuat Grup Lestari Sejahtera tersinggung. Seluruh Global Mandiri akan ikut menderita bersamamu. Apa kamu pikir perusahaan masih mau memaafkanmu?"
Renata tersenyum makin lebar dan merentangkan tangannya tanpa peduli. "Ya sudah. Ayo, hancur sama-sama."
Tanpa melirik Mira lagi, dia memanggil Adriani dan Renny ke ruang kerjanya.
Mira menatap punggung Renata dengan amarah mendalam.
"Cuma direktur desain, apanya yang bisa dibanggakan!"
...
Begitu masuk ruangan, Renata menarik napas dalam-dalam sambil buru-buru melepaskan tangannya yang dibalut kain kasa. Rasa nyerinya sampai membuat dia mengerang.
Sial. Terbiasa memakai tangan kanan, membuat Renata lupa dan menampar Mira dengan tangan yang terluka.
"Kak Renata, apa aku salah bicara?"
Adriani menatap Renata dengan hati-hati. Bekas jari masih terlihat jelas di wajahnya.
Kebencian Mira kepada Renata nyaris menjadi rahasia umum di penjuru kantor. Namun, ini kali pertama keduanya bertengkar di depan umum.
Adriani merasa ini terjadi karena ulahnya yang kurang hati-hati saat bicara. Akhirnya, Renata yang harus menanggung akibatnya.
"Mira menamparmu karena dia nggak punya hati. Aku menampar dia sebagai balasan yang pantas untuknya. Kamu nggak salah sama sekali."
Renata mengambil ponsel miliknya dan mentransfer sedikit amplop kepadanya. "Untuk kompensasi. Pulanglah dan istirahat hari ini."
Adriani terbelalak ketika melihat transfer dua digit yang diterima di ponselnya.
Satu tamparan seharga 20 juta rupiah!
"Selain itu," kata Renata kepada Renny. "Jangan terima proyek dari perusahaan Mahendra yang sialan itu. Sampah seperti dia nggak layak kerja sama dengan kita."
"Tapi ... Grup Lestari Sejahtera ..."
Renny pun takut saat berpikir dia telah menyinggung Grup Lestari Sejahtera.
Renata tertawa kecil. "Grup sebesar mereka nggak akan menuntut perkara dengan perusahaan kecil seperti kita."
"Kalau begitu, Pak Angga ..."
"Aku akan jelaskan situasinya saat dia pulang nanti."
Kata-kata Renata bekerja bagai pil penenang, membuat hati kedua orang itu lebih lega.
Di luar kantor, Renny bertanya dengan berbisik, "Kamu yakin orang yang jemput Kak Renata tadi malam itu CEO Lestari Sejahtera? Aku pernah dengar kalau CEO Lestari Sejahtera itu ekstrem dan pendendam. Kalau memang benar dia orangnya ... mana mungkin Kak Renata masih baik-baik saja?"
Adriani juga menjadi tidak yakin.
Dia hanya pernah melihat foto CEO Lestari Sejahtera dari majalah. Melalui cahaya lampu yang mencolok di ruang pribadi tadi malam, dia hanya berpikir orang itu sangat mirip dengan CEO Lestari Sejahtera, tetapi dia tidak 100% yakin.
"Mungkin aku salah tebak ..."
"Aduh, sebaiknya salah tebak. Aku nggak mau Kak Renata ketiban sial."
...
Sore harinya, Renata menerima telepon dari Calvin.
Pria itu hanya berkata, "Kutunggu di bawah."
Renata melirik jam dinding yang menunjukkan pukul empat sore. Tepat waktu.
Setelah turun dari kantor, dia bisa melihat mobil sport Bugatti edisi terbatas dari kejauhan, tampak sangat mencolok di pinggir jalan. Paduan warna merah tua dan hitam memberi kesan keren pada bodi mobil dan pemilik mobil sport tersebut.
Jendela mobil sport itu ditutup rapat, sehingga tidak bisa melihat orang di mobil tersebut dari luar.
Renata tersenyum kecil. Mobil sport edisi terbatas yang keren dan nomor pelat spesial, tidak ada orang lain di kota ini kecuali Calvin.
"Bu Renata!"
Saat Renata hendak menghampiri, dia kebetulan bertemu Lucas yang baru saja kembali dari lapangan. Pria itu sedang membeli kopi di lantai bawah.
Lucas adalah seorang lulusan baru yang belum lama ini memulai magang di Global Mandiri. Begitu melihat Renata, dia memberi sapaan hangat.
Renata membalas dengan senyuman sopan.
Lucas menyodorkan secangkir kopi padanya. "Bu Renata, ini buat Ibu."
Renata menolak, tetapi Lucas terlalu antusias. Pada akhirnya, dia menerima kopi itu dengan terpaksa.
Sementara itu.
Pria yang duduk dalam Bugatti meletakkan satu tangan di kemudi sembari menopang dagu. Dia memiringkan kepala dan menyipitkan mata ke luar jendela mobil. Tatapan mata sedalam laut miliknya terkunci pada dua orang yang mengobrol riang tidak jauh dari sana.
Rambut Renata disanggul rendah, terlihat santai. Dia mengenakan kemeja putih longgar lengan panjang yang digulung sedikit, memperlihatkan tangan putihnya yang ramping.
Kemeja itu dipadu celana pendek model A-line dan ikat pinggang hitam yang menonjolkan postur rampingnya. Sepatu dengan hak membuat kakinya terlihat makin tinggi dan jenjang.
Pakaian kerja yang sederhana dan kasual, tetapi menjadi sangat istimewa saat dikenakan olehnya. Semua mata pasti melihat ke arahnya.
Setiap gerakan dan senyumannya tampak sempurna.
Calvin memicingkan matanya. Melihat wanita itu tertawa hingga bercanda dengan pria lain, sebuah seringai hadir di sudut mulutnya.
Jendela mobil diketuk.
Renata berdiri di dekat mobil dan mencoba membuka pintu, tetapi tidak bisa.
Dia tidak dapat melihat ekspresi Calvin melalui kaca, tetapi Calvin bisa melihatnya.
Dia memberi isyarat "buka pintunya" dan menarik pintu mobilnya lagi, tetapi masih tidak terbuka.
Renata pun sadar kalau Calvin memang sengaja.
Tepat saat dia hendak berbalik dan pergi, jendela mobil diturunkan.
Sebuah tangan tiba-tiba terulur dan menjatuhkan kopi dari tangan Renata. Cangkir kopi itu jatuh ke tanah hingga tumpah ke mana-mana.
Renata refleks mundur selangkah. Sepercik kopi mengenai sepatu yang dikenakannya.
Kemarahannya membara.
Tepat ketika dia hendak memarahi Calvin, suara bernada dingin terdengar dari dalam mobil.
"Renata, kamu pengemis, ya?"
Calvin menatapnya dengan wajah yang benar-benar masam. Sorot matanya seolah-olah menyembunyikan pisau tajam.
Renata yang sudah marah sejak tadi pun makin marah.
"Calvin, kamu gila?"
Calvin tersenyum mengejek. "Kamu menikah denganku, tapi nggak mampu beli kopi? Rasanya lebih enak kalau dibelikan orang lain?"
Renata tertegun sejenak, lalu tertawa.
Dia sengaja bertanya, "Calvin, kamu nggak suka aku dibelikan kopi sama pria lain?"
Melihat raut muka Calvin yang makin muram, Renata pura-pura menyibakkan rambut di telinganya dan mendesah. "Ah, pusing. Ada saja yang suka mengajakku minum kopi setiap hari."
Begitu Renata selesai mengucapkan kalimat itu, Calvin menginjak pedal gas. Mobil sport tersebut melaju kencang, menjauhi Renata.
Asap knalpot menampar wajahnya.