Bab 10 Siapa Momo?
Ketika Calvin selesai mandi dan naik ke tempat tidur, Renata belum tidur dan sengaja membelakanginya.
Selimut sutra tipis terhampar di atas tubuh Renata, sementara rambut hitam bergelombang itu tergerai bagai air terjun yang mengalir.
Calvin duduk di tepi tempat tidur dan melirik tangan Renata yang terbalut perban. "Apa tanganmu sakit?"
Renata tidak menghiraukannya.
Kesabaran Calvin hanya bertahan selama beberapa detik. Setelah itu, dia mengangkat tangan dan memukul pantat Renata yang tertutup selimut tipis itu. "Aku tanya, jawablah!" seru Calvin.
Renata terkejut. Meskipun tamparan itu tidak menyakitkan, dia tetap kesal.
Dia marah pada Calvin yang sudah memutuskan untuk tidak pulang, tetapi malah kembali sesuka hati.
Apa dia menganggap rumah ini seperti hotel?
Renata pun ikut emosi saat menjawab, "Nggak sakit!"
Suara Renata yang tiba-tiba meninggi itu membuat Calvin mengernyit dan berkata, "Renata, ada apa sama sifat burukmu, sih?"
Calvin peduli pada Renata, tidak bisakah wanita itu melihat?
Setiap hari, Renata bersikap layaknya orang yang selalu membawa bom waktu. Mungkin Shelvi pun belajar darinya.
Renata berbalik dan menatap Calvin.
Saat ini dia duduk di tepi tempat tidur. Rambut cokelat yang baru dikeringkan itu tergerai di dahinya, tampak sangat halus.
Dengan wajahnya yang putih dan tampan, memang terlihat sangat menawan.
Jika tidak buka suara, penampilan Calvin terlihat cukup mirip dengan mahasiswa.
Renata memaksakan senyum palsu dan berkata, "Aku tahu temperamenku buruk. Kalau kamu nggak bisa menahannya, coba kamu renungkan sendiri, kenapa orang lain bisa menoleransinya?"
Calvin mengernyitkan dahinya lebih dalam, wajahnya ikut suram.
"Orang lain siapa?"
Renata merasa senang saat melihat wajahnya yang muram,
"Orang lain, berarti semua orang selain kamu!"
Dia mengucapkan setiap kata dengan nada menantang serta mengangkat alisnya.
Calvin tiba-tiba berbalik, kedua tangannya menggenggam erat pergelangan tangan Renata serta menekannya dengan kuat di atas tempat tidur.
Tatapan matanya langsung terfokus menuju tulang selangka Renata yang putih dan mulus itu. Dia menyipitkan matanya, lalu menunduk dan menggigit tulang selangka Renata.
Ada nyeri yang Renata rasakan, sehingga dia menarik napas dalam-dalam.
Di tulang selangka kanannya, terdapat sebuah tahi lalat kecil berwarna hitam. Hal ini menambah keseksian pada tulang selangkanya yang putih dan mulus itu.
Calvin suka menggigit bagian tubuh Renata ini.
Saat Calvin mendengar Renata mengeluarkan suara desisan, Calvin mengangkat kepalanya dan tersenyum puas.
"Hari ini, tanganmu terluka. Aku nggak akan mengganggumu. Kalau kamu berani bicara sembarangan lagi, aku akan membuatmu menangis dan memohon padaku!"
Suara rendah dan memikat itu membuat napas Renata sontak terengah-engah.
Setelah Calvin selesai berbicara, dia menggigit bibir merah Renata dengan lembut.
"Aku selalu menepati janji."
Renata menutup mulutnya patuh.
Setelah mematikan lampu, Calvin memeluk Renata.
Renata berjuang untuk melepas pelukan itu selama beberapa kali, tetapi tidak ada gunanya.
Dengan tinggi badan 188 cm, tangan dan kaki Calvin yang panjang bisa mengunci tubuh Renata dengan sangat mudah, bak mengurung anak ayam.
Dalam kegelapan, Renata berkedip dan tiba-tiba bertanya, "Calvin, kamu hidup sendiri di luar negeri waktu kecil?"
Tangan yang memeluknya itu tiba-tiba menegang sejenak.
"Nggak."
Calvin menjawab dengan suara datar, lalu menambahkan, "Ada Momo juga."
Renata langsung cemas. "Siapa Momo itu?"
"Seorang wanita, sosok wanita yang lembut."
Suara Calvin terdengar malas dan Renata tidak bisa melihat ekspresinya.
Namun, Renata bisa merasakan dengan jelas, nada suaranya melembut saat Calvin menyebut nama itu.
Ini adalah kelembutan yang jarang terlihat dalam tiga tahun pernikahannya.
Wanita yang lembut ... adalah tipe yang disukai Calvin.
Itu adalah tipe yang sangat berlawanan dengan Renata.
"Kami tidur bersama setiap hari."
Tangan besar Calvin mencubit pelan pinggang Renata, lalu dia tertawa ringan dan berkata, "Dia memiliki rasa yang jauh lebih baik daripada tanganmu."
Sudah untung, masih saja berlagak sok manis?
Renata tiba-tiba menendangnya dan berteriak, "Kalau begitu, pergi saja!"
Calvin menarik Renata lebih dekat, lalu bertanya, "Apa kamu cemburu?"
"Ya."
Renata mengakuinya dengan tegas.
Dalam kegelapan, segaris mata Calvin tiba-tiba terbuka lebar. Senyuman tampak di wajahnya.
"Aku cemburu karena suamiku pernah tidur dengan orang lain, bukan karena peduli padamu."
Renata mengatakan hal ini dengan nada bicara yang begitu menyakitkan.
Dia merasa dirinya rugi besar.
Seharusnya, dia juga tidur dengan beberapa pria sebelum menikah dengan Calvin!
Sepertinya, Calvin bisa menebak pikiran di kepala Renata. Suara Calvin yang rendah terdengar di telinga Renata.
Calvin berkata dengan nada yang terdengar membahayakan. "Renata, kalau kamu berani tidur dengan orang lain, aku nggak akan memaafkanmu!"
…
Ketika Renata bangun esok paginya, Calvin sudah tidak ada di sampingnya.
Di sampingnya, tempat yang biasa Calvin pakai untuk tidur pun sudah tidak terasa hangat lagi.
Seolah-olah, semalam Calvin tidak pulang.
Renata mencuci mukanya dan turun ke bawah. Bi Zelia sudah memerintahkan staf di dapur untuk menyiapkan sarapan.
Saat melihat Renata turun tangga, Bi Zelia mengingatkan, "Nyonya Muda, Tuan Muda meminta saya untuk beri tahu Anda. Dia bilang, tangan Anda sedang nggak nyaman. Hari ini, sopir akan mengantar Anda ke tempat kerja, lalu Tuan akan jemput Anda ke tempat Pak Hesa untuk makan malam."
Renata meminum segelas susu, lalu berkata "Kapan dia pergi?"
Entah Calvin bergerak terlalu pelan atau dirinya tidur terlalu nyenyak, Renata tidak mendengar suara sedikit pun.
"Tuan Muda sudah pergi sejak pagi. Tuan nggak sarapan di rumah," jawab Bi Zelia.
Renata membolak-balik majalah di tangannya dan bergumam, "Lagi pula, dia juga nggak akan mati kelaparan."
Mendengar gumaman itu, Bi Zelia tersenyum penuh kasih.
Dia pindah ke rumah pasangan muda ini untuk merawat dan membantu keseharian Tuan Muda dan Nyonya Muda setelah mereka menikah. Nyonya Muda biasanya punya temperamen yang sangat baik, tetapi di depan Tuan Muda, dia suka berdebat dengannya.
Tuan Muda biasanya tidak banyak bicara. Kecuali di depan Nyonya Muda saja, dia akan menunjukkan banyak ekspresi dan emosi yang biasanya tidak terlihat.
Bi Zelia menyebut pola interaksi pasangan ini sebagai senang yang kecil di tengah hubungan pasangan muda.
...
Renata menikmati sarapannya, lalu mengemudikan mobil ke kantor.
Setelah masuk ke kantor, Adriani dan Renny menghampirinya.
"Kak Renata! Apa kamu baik-baik saja?"
Adriani memperhatikan tangan Renata yang terbalut perban dan langsung bertanya, "Kak Renata, ada apa dengan tanganmu? Apa kamu terluka kemarin?"
Renata tersenyum dan menjawab, "Hanya luka luar saja."
Sebenarnya, itu hanya luka luar, tetapi dengan perban ini, lukanya seperti sangat serius.
Di sebelahnya, Renny menggigit bibirnya dan tampak seperti hendak menangis. "Tangan adalah bagian terpenting seorang desainer, semua ini salahku … aku membuat Kak Renata terluka," ujarnya.
Renata baru saja ingin menghiburnya dengan beberapa kata, tetapi suara nyaring terdengar dari belakang.
"Renata, aku dengar, kemarin kamu membuat Lestari Sejahtera Group marah?"
Renata menoleh saat mendengar suara itu. Sosok anggun nan menawan hadir di ambang pintu.
Mira mengenakan gaun mini yang ketat dengan warna merah cerah. Dia melangkah masuk dengan mengenakan sepatu hak tinggi setinggi 15 cm. Wajahnya dipoles riasan rapi, seolah-olah sedang menonton pertunjukan.
Saat melihat orang yang datang, Adriani dan Renny bersikap bagai tikus melihat kucing, langsung menunduk untuk menyapa Mira.
"Selamat pagi, Ibu Wakil Direktur."
Mira melirik mereka sejenak dengan tidak senang. "Sudah berapa kali aku bilang, hilangkan kata 'Wakil' itu!"
Renata tersenyum. "Mira, sudah tiga tahun, aku kira kamu nggak memikirkan posisi ini terus-menerus."
Tiga tahun lalu, Renata direkrut dengan gaji tinggi oleh Global Mandiri untuk mengisi jabatan Direktur Desain, menggantikan Mira yang sebelumnya diharapkan bisa naik jabatan sebagai Direktur Desain. Sejak saat itu, Mira selalu menargetnya dengan kata-kata penuh sindiran.
"Posisi Direktur seharusnya memang milik Bu Mira."
Orang yang barusan berbicara adalah asisten Mira, bernama Yunny.
Adriani tidak bisa menahan diri, lalu segera berdebat dengan wanita itu. "Kemampuan Kak Renata sudah terlihat semua orang, sebagian besar proyek perusahaan didapatkan oleh Kak Renata …"
Plak!
Suara tamparan itu terdengar keras.
Tamparan itu memotong kata-kata Adriani yang belum selesai.
Wajahnya putihnya langsung bersemu. Dia menatap Mira tidak percaya.
"Bagaimana bisa seorang asisten berani bicara begni padaku? Maksudmu, Renata yang menghidupi seluruh perusahaan, sementara kita dan yang lain hanya makan gaji buta …"
Plak!
Belum juga selesai bicara, Mira dikejutkan sebuah tamparan.