Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 12 Kamu Tinggal di Sini Juga?

Ternyata itu Danzel! Ariana sama sekali tidak menyangka bahwa orang yang menemaninya di luar lift serta mengajarinya prosedur keselamatan adalah Danzel! Pantas saja tadi pria itu tahu nama Ariana. Namun, bagaimana Danzel tahu kalau Ariana terjebak di lift? "Terima kasih, Kak Danzel." "Sama-sama." Staf apartemen juga mengucapkan terima kasih kepada Danzel, lalu bertanya apakah Ariana terluka. Mereka sudah siap mengantarnya ke rumah sakit. Ariana tadi hanya ketakutan dan tidak terluka. Jadi, dia menggeleng dan menolak tawaran staf apartemen. Setelah staf apartemen pergi, Ariana menghampiri Danzel dan sekali mengucapkan terima kasih. "Terima kasih. Kak Danzel sudah menolongku lagi." Dengan ini, Danzel sudah menolongnya dua kali. Padahal selama ini Ariana berusaha menghindari Danzel. Namun, takdir malah membuatnya berutang budi pada pria itu. Apa pun itu, Ariana sangat berterima kasih. Barusan di lift, suara Danzel membuatnya tenang. Danzel menunduk dan menatap Ariana melalui kaca mata berbingkai peraknya. Setelah itu, dia mengambil payung yang disandarkan di dinding dan dengan acuh tak acuh mulai berbicara. "Terlalu lama main tarik ulur akan membuat pria muak." "Apa?" Ariana jelas bingung. Tanpa konteks, dia sama sekali tidak mengerti apa maksud pria itu. Danzel mengguncang payungnya untuk menghilangkan air. "Cepat pindah ke vila daripada kamu terjebak di lift lagi." Ariana mengerutkan kening. Setelah mencoba menghubungkan perkataan Danzel tadi dan barusan, dia akhirnya mengerti. Rasa terima kasihnya seketika menguap karena marah. "Kak Danzel pikir aku sengaja cari perhatian Leonard?" "Memang begitu kenyataannya, 'kan?" Mata Danzel berkilat sinis. "Apa kalian jadi putus?" Ariana langsung terdiam. Dia ingin putus, tetapi kenyataannya tidak semudah itu. Lagi pula, delapan tahun hubungan bukanlah sesuatu yang bisa dilepaskan begitu saja. "Kak Danzel, terima kasih karena sudah menolongku lagi. Tapi, hubunganku sama Leonard adalah urusan pribadiku. Kakak nggak perlu ikut campur." Usai berbicara, Ariana mengatupkan bibirnya erat-erat dan berjalan melewati Danzel tanpa menoleh ke belakang lagi. Meskipun lift sudah diperbaiki, Ariana masih trauma. Dia tidak naik lift dan langsung berjalan ke arah tangga. Karena marah, Ariana berjalan cepat menaiki tangga. Alhasil, baru sampai di lantai delapan, dia sudah terengah-engah dan terpaksa memperlambat langkahnya. Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki di bawah. Ariana menjulurkan kepalanya untuk melihat. Tampak Danzel menaiki tangga dengan santai. Apa pria itu belum puas ceramah sehingga merasa perlu untuk mengejar dan memberi nasihat lagi? Nada permusuhan terdengar kental di suara Ariana. "Kenapa ikut naik? Apa Kak Danzel mau terus mengejekku sampai di apartemen?" Danzel menginjakkan kaki di platform antara lantai tujuh dan delapan. Napasnya teratur. Dia tidak terlihat lelah sama sekali. "Aku mau pulang." Setelah menjawab, pria itu kembali berpetuah, "Naiklah dengan kecepatan yang stabil biar kamu nggak kehabisan napas dan cepat capek." Ariana terkejut dan spontan berseru, "Kamu juga tinggal di sini?" Danzel sudah menyalip Ariana sejak tadi. Suaranya terdengar datang dari atas. "Kenapa? Nggak boleh?" Ya sudah. Ariana tidak mau banyak bicara lagi. Mendengarkan saran Danzel, Ariana menaiki tangga lebih lambat. Kini dia hanya berjarak beberapa anak tangga di belakang Danzel. Ketika melihat pria itu terus berjalan naik, Ariana bertanya-tanya. Sebenarnya apartemen Danzel di lantai berapa? Pada akhirnya, keduanya sampai di lantai 16. Danzel berjalan ke pintu di seberang apartemen Ariana dan membuka kuncinya. "Kamu tinggal di sini?" seru Ariana kaget. Tidak hanya tinggal di gedung sama, pria itu ternyata membeli apartemen di lantai yang sama dengannya. Selama beberapa hari tinggal di sini, Ariana tidak pernah melihat atau mendengar suara dari unit seberang. Dia kira, unit itu kosong. "Baru pindah kemarin," jawab Danzel acuh tak acuh. "Masih ada yang mau ditanyakan?" Ariana menutup mulutnya. Benar juga. Ini urusan pribadi Danzel. Pria itu bebas mau tinggal di mana saja. Melihat sikap Danzel, mungkin pria itu juga tidak tahu bahwa tetangganya adalah Ariana. Tidak mungkin juga malam itu Danzel sengaja mencari-cari kesempatan untuk dekat dengannya. "Nggak ada," jawab Ariana sambil masuk ke dalam. Setelah Ariana menutup pintu, Danzel juga menutup pintunya apartemennya. Panggilan masuk dari Daniel datang tak lama kemudian. "Ada apa? Kenapa teleponmu tiba-tiba putus tadi?" tanya Daniel dengan penasaran. Tadi, Danzel sedang mengobrol dengan Daniel ketika seorang staf apartemen yang kebetulan lewat di sebelahnya menelepon teknisi. Nona Ariana, dari Unit 1, Gedung 8, lantai 16 terjebak di lift. Danzel segera menutup telepon dan berlari ke gedung bernomor delapan. Ketika melihat bahwa lift berhenti di lantai lima, dia segera berlari menaiki tangga. "Ponselku mati," jawab Danzel singkat. Keesokan paginya, Ariana bersiap-siap pergi ke kantor. Saat hendak memutar gagang pintu, dia berhenti sejenak dan mengintip ke luar melalui lubang pintu. Koridor sepi dan pintu unit seberang juga tertutup rapat. Ariana pun buru-buru keluar. Sejak kejadian malam itu, dia pikir dirinya akan jarang bertemu Danzel. Namun, mereka ternyata tinggal di satu kompleks apartemen dan bahkan bertetangga. Hubungan mereka sepertinya akan makin canggung karena akan sering bertemu. Dengan perasaan gelisah, Ariana tiba di kantor. Saat menyusun notulen rapat, dia merasa ada yang kurang, jadi dia bertanya kepada Silvia. "Apa notulen rapat Pak Leonard semalam belum dicetak?" Silvia terlihat bingung dan malah balik bertanya, "Memangnya Pak Leonard rapat semalam?"

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.