Bab 13 Mengemis Ingin Tidur Bersama
"Kamu nggak tahu?" Kemarin, sebelum pergi, Ariana ingat Leonard mengatakan soal rapat video.
"Pak Leonard nggak bilang apa-apa dan aku juga nggak dapat pemberitahuan."
Silvia adalah sekretaris utama Leonard yang bertugas mengatur semua jadwal bosnya.
Namun, Silvia tidak tahu menahu soal rapat semalam.
Ariana diam-diam curiga Leonard berbohong.
Hanya saja, masih ada kemungkinan pria itu sakit karena semalam berhujan-hujan. Bisa jadi rapat semalam ikut ditunda.
"Mungkin aku yang salah ingat. Aku pikir semalam Pak Leonard ada rapat video."
Saat makan siang, Leonard mengirim pesan untuk mengajak Ariana makan malam dan membahas soal pengobatan ibunya.
Ariana tanpa ragu menyetujuinya.
Sepulang kerja, dia langsung mengemasi barang-barangnya. Namun, Leonard tiba-tiba menelepon dan mengabari bahwa ada acara mendadak yang harus dia hadiri.
Dengan kecewa, Ariana menjawab, "Nggak apa-apa, pekerjaanmu lebih penting. Kalau sudah selesai, cepat istirahat. Soal pengobatan Ibu masih bisa nanti kalau kamu ada waktu."
Setelah panggilan berakhir, Ariana tertunduk lesu.
Ibunya sudah koma selama dua puluh tahun. Jadi, saat mendengar ada peluang untuk sembuh, dia ingin cepat-cepat mengupayakan pengobatan ibunya.
Ariana hanya bisa menghibur diri. Tidak apa-apa, masih ada hari esok.
Baru saja keluar dari gedung Grup Sinclair, Ariana melihat sosok cantik yang dikenalnya.
"Hai, Ariana! Kamu pasti kaget, 'kan?"
Martha berdiri di samping mobilnya dan melambaikan tangan.
"Lo, bukannya kamu ke luar kota?" tanya Ariana yang terkejut dan langsung menghampiri sahabatnya.
Setelah masuk mobil, Martha menjelaskan sambil menyetir, "Pekerjaan penerjemahanku sudah selesai, jadi sisanya aku serahkan saja ke teman-teman. Aku mau cepat pulang biar bisa ketemu kamu."
Ariana dan Martha adalah teman satu universitas. Meskipun jurusan mereka berbeda, dahulu mereka teman satu kamar.
Setelah lulus, Martha fokus ke penerjemahan dan sekarang menjalankan studio sendiri. Kariernya saat ini sedang menanjak dan dia sering memimpin proyeknya sendiri.
"Aku nggak apa-apa kok. Kamu nggak perlu buru-buru pulang."
Ariana tahu bahwa Martha pulang lebih awal karena khawatir.
Mobil mereka berhenti di depan sebuah restoran dan keduanya segera turun.
"Nanti kamu pikir aku teman yang nggak setia. Lagian, aku mau cepat-cepat pulang buat istirahat."
Martha menjawab dengan gurauan. Namun, setelah duduk dan memesan makanan, ekspresi Martha berubah serius. "Sebenarnya, ada apa antara kamu dan Leonard?"
Ariana pun menceritakan secara singkat masalahnya.
"Leonard suka sama Mia? Biarpun bukan keluarga sedarah, tapi Mia memanggil Leonard dengan sebutan 'om'. Apa mereka nggak punya malu?" Martha marah dan terkejut mendengar cerita Ariana. "Hubunganmu sama Leonard sudah berjalan selama delapan tahun. Bisa-bisanya dia berbuat begini!"
Dia mengutuk Mia yang berpura-pura lugu, padahal pelakor. Dia tidak habis pikir, Leonard bisa menyukai perempuan macam itu.
Akhirnya, Martha berkomentar dengan marah, "Sesetia apa pun, pria memang nggak pernah puas. Mata mereka selalu saja jelalatan."
Ariana hanya tersenyum pahit.
"Tapi, kamu betulan mau balik ke vila? Kamu bisa memaafkan pria macam itu?" tanya Martha.
"Aku tetap harus memikirkan keluargaku. Aku nggak boleh egois. Lagian, dia sudah mencari ahli saraf untuk mengobati ibuku. Aku mau coba memaafkannya," ujar Ariana dengan lesu sambil mengusap-usap pinggiran gelas.
"Mungkin dia sudah menyadari kesalahannya."
Manusia terkadang memang tidak bisa memilih jalan hidupnya. Meskipun kesal, Martha juga tidak bisa berbuat apa-apa. Namun, dia seperti memikirkan sesuatu dan ekspresinya terlihat sedikit senang.
"Tapi, kamu juga sudah tidur sama cowok lain, jadi kamu nggak rugi."
Ariana hanya menceritakan soal kejadian malam itu di bar. Dia tidak menyebut nama Danzel. Mendengar ucapan Martha, Ariana hampir saja menyemburkan air yang dia minum.
Tidak ada untungnya! Dia justru sangat menyesal!
Tiba-tiba, Martha menatap ke belakang Ariana dan ekspresinya berubah.
Ariana menoleh.
Danzel dan Daniel masuk dari pintu depan dan berjalan ke arah mereka.
Mengapa pria itu bisa berada di sini?
Ariana buru-buru berbalik, pura-pura tidak melihat.
"Wah, kamu mengejar-ngejar aku sampai ke sini?" Daniel tersenyum pada Martha.
"Siapa juga yang mengejar-ngejar kamu? Mending aku menerjemahkan sepuluh buku tebal daripada mengikuti kamu!" jawab Martha sinis.
Ariana tahu bahwa Martha sudah bertunangan dengan pria yang diam-diam Martha cintai sejak lama.
Namun, cinta Martha seperti bertepuk sebelah tangan. Jadi, Martha merasa tidak perlu mengenalkan pria itu pada Ariana.
"Martha, apa masih belum cukup kamu mengikuti aku ke mana-mana? Kalau memang kamu benci sama aku, batalkan saja pertunangan ini," kata Daniel sambil tersenyum meski nada bicaranya mengejek.
Martha menggenggam pisau dan garpunya erat-erat, lalu tiba-tiba berdiri mengacungkan pisaunya ke arah Daniel.
"Apa kamu buta? Nggak lihat kalau aku lagi makan sama sahabatku?"
"Kamu mau membunuhku?" Daniel menepis tangan Martha, lalu menoleh ke arah Ariana. "Sahabat?"
Ariana merasakan bahwa semua mata tertuju padanya.
Dia tidak bisa berpura-pura lagi dan terpaksa memperkenalkan diri, "Halo, saya teman kuliah dan sahabat Martha, Ariana Evans."
Dia sengaja mengabaikan ekspresi kaget Danzel. Untungnya, pria itu juga tidak menunjukkan reaksi berlebihan.
"Kamu pacarnya Leonard, 'kan? Eh ... tunangan. Kalian mau menikah bulan depan, ya?" Daniel menatap Ariana dengan sedikit bingung.
Tanpa menunggu jawaban Ariana, Daniel bertanya kepada Danzel yang ada di sebelahnya. "Kamu calon kakak iparnya, 'kan? Kamu pasti kenal."
Danzel melirik Daniel. "Kayaknya kamu lebih kenal dia daripada aku."
"Aku sering lihat perempuan cantik, jadi ingatanku tajam," sahut Daniel sambil cengengesan.
Martha mendengus. "Nggak ada untungnya diingat-ingat sama kamu."
Kemudian, dengan wajah galak, Martha berkata kepada Danzel, "Bilang sama Leonard, Ariana bukan orang yang bisa dia permainkan. Masih banyak cowok di dunia ini, nggak cuma Leonard saja. Jangan kira Ariana nggak laku. Beberapa hari kemarin ada cowok ganteng yang mengemis mau tidur sama dia, tapi Ariana tetap tahu batas ... "
Mendengar perkataan Martha, Ariana ingin cepat-cepat membekap mulut sahabatnya itu. Namun, langkahnya terhalang meja.
Saat ini, rasanya dia ingin segera menghilang.
Danzel menatap Ariana dengan senyum tipis dan nada penuh arti yang hanya bisa dimengerti oleh Ariana.
"Mengemis ingin tidur dengan dia?"