Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 7

Orlin menatap Aaron dengan tatapan terkejut, seolah-olah tidak mengenalinya. Dia tidak pernah membayangkan bahwa pria yang dulu mendorongnya untuk bermimpi, yang secara pribadi menata studio seni untuknya, serta mengundang guru-guru ternama untuk membimbingnya, ternyata memiliki pemikiran seperti ini di dalam hatinya. Orlin tak bisa menahan tawa, tetapi air matanya terus mengalir tanpa henti. "Jadi Aaron, semua yang kamu katakan dan lakukan sebelumnya hanyalah kebohongan?" "Kalau kamu nggak mau menyelamatkanku, serta lebih memilih Julia, itu semua nggak apa-apa. Tapi kamu nggak perlu merendahkanku seperti ini! Merendahkan mimpiku!" "Mungkinkah aku memang serendah itu di matamu?" Pandangan Orlin mulai kabur. Dia tidak lagi bisa melihat Aaron dengan jelas. Mungkin, dia juga tidak pernah benar-benar mengenal Aaron. Dia tidak bisa membedakan, mana Aaron yang sebenarnya. Pria yang ada di hadapannya saat ini, atau yang dulu dikenalnya. Ekspresi Aaron tampak makin dingin. Matanya memancarkan kekecewaan. "Kita akan bicarakan lagi setelah kamu tenang," kata Aaron sambil bangkit berdiri. Setengah wajahnya terkena cahaya, menonjolkan sikap dinginnya. "Tapi Orlin, aku memang nggak berkewajiban untuk menyelamatkanmu, 'kan? Kamu nggak seharusnya menyalahkan orang lain." Orlin menatap Aaron, bibirnya membentuk senyuman sinis. "Jadi ini yang sebenarnya ada di hatimu." Ternyata, Aaron datang ke rumah sakit untuk memastikan bahwa dia tidak menyalahkan Julia atas kejadian malam itu. Pada saat ini, hati Orlin terasa kosong. Dia memandang Aaron, merasa bahwa perasaan kagum yang dulu pernah ada kini sepenuhnya hilang. Bahkan, dia mulai merasa Aaron adalah orang asing baginya. "Pergilah." Orlin menutup matanya, membalikkan badan untuk memunggungi Aaron. Dia tidak ingin mengatakan apa pun lagi. Aaron memandang punggungnya tanpa ekspresi selama beberapa detik, sebelum akhirnya berbalik meninggalkan ruangan. ... Kyla merasa kejadian malam itu sangat mencurigakan. Tanpa memberi tahu siapa pun, dia diam-diam menyelidiki tentang insiden tersebut. Hasilnya, dia menemukan bahwa lampu gantung malam itu telah dirusak sebelumnya. Dengan bukti di tangannya, Kyla yang marah besar memutuskan untuk langsung pulang ke vila, meski dia seharusnya menghadiri rapat malam itu. Begitu masuk, dia melihat Carlo dan Paula yang sedang bersandar dengan mesra, hampir berciuman. Dia membanting pintu dengan keras, mengejutkan keduanya hingga keduanya buru-buru menjauh. "Kenapa kamu pulang?" tanya Carlo dengan ekspresi tidak nyaman. Dia tampaknya lebih merasa terganggu oleh gangguan mendadak Kyla daripada merasa bersalah. Paula bangkit berdiri, berusaha menjelaskan dengan gugup, "Kak Kyla, jangan salah paham. Barusan mataku terasa nggak nyaman, jadi aku meminta Kak Carlo untuk membantuku melihatnya." "Tutup mulutmu!" Kyla langsung memotongnya dengan nada tajam. Paula yang belum pernah melihat Kyla semarah itu terdiam sejenak, lalu memasang wajah penuh rasa bersalah. "Maaf, Kak Kyla. Hubunganku dan Kak Carlo benar-benar nggak seperti yang kamu pikirkan. Tolong jangan salah paham." "Kyla, bisakah kamu berhenti berpikiran kotor?" Carlo bangkit berdiri dengan kesal, menatap Kyla dengan tidak sabaran. "Haruskah kamu membuat semua orang merasa nggak nyaman?" Kemudian, dia berbalik untuk menenangkan Paula dengan nada lembut, "Jangan takut, Paula. Kamu naik ke atas dulu, biar aku bicara dengannya." "Dia nggak boleh pergi!" Kyla langsung membanting bukti ke wajah Paula. "Apakah insiden di hotel itu perbuatanmu? Paula, kalau kamu ingin menyerangku, aku masih bisa menahannya. Tapi kenapa kamu juga melibatkan Orlin?" Kilatan panik melintas di mata Paula, tetapi dia segera memasang wajah sedih. "Kak Kyla, aku nggak tahu apa yang kamu bicarakan. Insiden di hotel? Aku sama sekali nggak tahu apa-apa." "Buktinya sudah ada di sini, tapi kamu masih mau menyangkal?" balas Kyla. "Cukup, Kyla!" Carlo bahkan tidak melirik bukti itu. Dia melindungi Paula di pelukannya, menatap Kyla dengan tatapan memperingatkan. "Masalah ini sampai di sini saja. Nggak ada yang boleh membicarakannya lagi." "Carlo, apa maksudmu?" Kyla merasa tubuhnya membeku. Dia tidak menyangka Carlo akan melindungi Paula hingga mengabaikan yang benar dan salah. "Orlin hanya mengalami cedera di tangannya, apa masalahnya? Lagi pula, dia sudah kita besarkan di Keluarga Jerome. Kalau dia nggak bisa bekerja mandiri, aku bisa terus menghidupinya," kata Carlo tanpa rasa bersalah. "Selain itu, soal perusahaanmu, kalau bukan karena aku, perusahaanmu sudah lama gulung tikar. Jadi pikirkan baik-baik sebelum bertindak. Kalau kamu terus mempermasalahkan ini, jangan salahkan aku kalau nanti aku bersikap tegas!" Setelah melontarkan ancaman itu, Carlo tidak lagi memedulikan Kyla. Dia membawa Paula pergi sambil membanting pintu. Kyla berdiri sendirian di ruang tamu, merasakan hawa dingin menjalar dari kepala hingga ujung kakinya. Untuk pertama kalinya, dia benar-benar ingin bercerai. Mungkin Orlin benar. Sudah saatnya dia juga meninggalkan Keluarga Jerome. ... Setelah pertengkaran tidak menyenangkan di hari itu, Aaron tidak pernah datang ke rumah sakit lagi. Sebaliknya, Julia beberapa kali datang menjenguk. Dengan semangat bercampur kesombongan, dia bercerita kepada Orlin tentang persiapan pertunangannya dengan Aaron. Meski acara pertunangan itu ditunda karena cedera Orlin, Aaron sangat serius mempersiapkannya. Semua detail dikerjakan langsung olehnya. Namun, Orlin tidak terlalu memedulikan semua itu. Dia hanya sibuk dengan urusannya sendiri, yaitu mendaftar sebagai pengajar sukarelawan. Beberapa hari yang lalu, dia secara tidak sengaja menonton sebuah film dokumenter online. Film dokumenter itu menggambarkan kesulitan anak-anak di daerah pegunungan dalam mendapatkan pendidikan. Karena kondisi kemiskinan serta keterbelakangan, guru-guru lokal tidak memiliki pelatihan yang memadai. Sementara guru dari luar daerah enggan datang karena kondisi yang berat. Film dokumenter itu dibuat untuk mendorong orang-orang mendaftar sebagai pengajar sukarelawan, membawa harapan baru bagi anak-anak di sana. Setelah menontonnya, Orlin akhirnya mengambil keputusan. Dia memutuskan untuk menjadi pengajar sukarelawan. Dia ingin memulai hidup baru, menemukan tujuan hidupnya lagi. Dia mendaftar diam-diam tanpa memberi tahu siapa pun. Tak lama kemudian, dia menerima kabar bahwa dirinya terpilih. Begitu lukanya sembuh dan dia diperbolehkan keluar dari rumah sakit, dia bisa langsung datang untuk melapor. Dia tidak menyembunyikan hal ini dari Kyla. Setelah diterima, Orlin memberi tahu bibinya dengan jujur. Meski Kyla merasa berat hati melihat Orlin harus pergi, menjalani hidup dalam kondisi yang sulit, Kyla tidak menentang pilihannya setelah melihat tekadnya. Kyla diam-diam membantu Orlin mengemas barang-barangnya, memesan tiket pesawat, serta mengatur semuanya. Pada hari dia keluar dari rumah sakit, Orlin menelepon Aaron. Telepon itu berdering lama sebelum akhirnya diangkat. "Kak, besok aku keluar dari rumah sakit. Aku sudah memesan restoran, bisakah kamu makan bersamaku? Ada hal yang ingin aku bicarakan denganmu." Setelah hidup bersama selama 15 tahun, Orlin ingin mengucapkan perpisahan dengan baik-baik sebelum dia pergi. Namun, kata-katanya disalahartikan oleh Aaron. Dia langsung mengaitkannya dengan pengakuan cinta Orlin sebelumnya, mengira Orlin masih belum menyerah. "Orlin, aku ingat kalau aku sudah memperingatkanmu sebelumnya. Bagaimana bisa kamu masih berani memikirkan hal seperti itu?" Orlin tertegun, lalu buru-buru menjelaskan, "Kak, aku benar-benar nggak punya maksud lain. Aku hanya ingin makan bersamamu, sekaligus ...." Mengucapkan selamat tinggal. Namun, dia tidak menyelesaikan kalimatnya. Aaron juga tidak bertanya lebih lanjut. Mungkin karena selama masa pemulihannya, Orlin tidak lagi mengganggunya. Jadi dia setuju untuk datang. Keesokan harinya, Orlin menunggu di restoran hingga matahari terbenam, tetapi Aaron tidak pernah datang. Karena sudah tidak ada cukup waktu lagi, Orlin akhirnya pergi bersama Kyla ke bandara. Di perjalanan, dia tidak bisa menahan diri untuk menelepon Aaron. Namun, begitu telepon tersambung, yang terdengar adalah suara Julia, "Orlin, apa kamu masih menunggu di restoran? Aaron bersama denganku sepanjang hari ini. Dia sama sekali nggak mau bertemu denganmu." "Kalau kamu masih punya harga diri, jangan ganggu dia lagi. Kalau nggak, Aaron bilang kami akan pindah rumah. Kamu nggak mungkin memaksa dia meninggalkan rumahnya sendiri, 'kan?" Hati Orlin bergetar. Dia menggigit bibirnya hingga terasa sakit, tetapi air matanya tetap jatuh tak terbendung. Kata-kata hinaan Julia terus berlanjut. Orlin yang tidak tahan lagi, langsung memutuskan sambungan telepon. Setelah menarik napas panjang, dia mengetik pesan dengan tangan gemetar, lalu mengirimkannya pada Aaron. "Kak, semoga kamu bahagia hidup tanpa aku." Pada saat itu, Orlin merasa lega sepenuhnya. Di atas jembatan, dia melemparkan ponselnya ke sungai, memutuskan semua hubungan dengan masa lalu. Sebelum naik pesawat, dia memberikan nomor kontak barunya kepada bibinya, lalu mengucapkan salam perpisahan. Kemudian, dia berjalan menuju gerbang keberangkatan dengan koper di tangannya, tanpa pernah menoleh ke belakang.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.