Bab 6
Semua karya seni yang dia siapkan untuk masuk universitas hancur, sehingga Orlin harus menyewa sebuah studio di luar rumah agar bisa menyelesaikan semuanya sebelum keberangkatannya ke Negara Igris.
Karena sibuk di studio, membuat Orlin sering pergi pagi pulang malam, dia hampir tidak pernah bertemu Aaron selama periode waktu ini.
Hingga akhirnya, di hari ulang tahun Carlo, dia tidak bisa menghindar lagi.
Pesta ulang tahun digelar dengan megah dan meriah, dihadiri oleh banyak orang.
Di panggung utama, Carlo berdiri bersama Paula, sementara Julia bergandengan erat dengan Aaron. Keempatnya berdiri di sana, tampak seperti keluarga harmonis yang dekat. Sebaliknya, Kyla dan Orlin tampak seperti orang luar.
Orlin merasakan suasana hati bibinya yang sedang murung. Tanpa suara, dia menggenggam tangan bibinya, memberikan dukungan. Melihat ekspresi bibinya yang penuh kesedihan, hatinya terasa perih dengan rasa bersalah.
Selama bertahun-tahun, demi mempertahankan harta warisan orang tua Orlin serta demi dirinya, Kyla harus menanggung banyak penderitaan di Keluarga Jerome. Orlin menyaksikan semua itu, membenci ketidakberdayaannya sendiri.
Khususnya malam ini, ketika melihat Carlo mempermalukan bibinya di depan orang banyak sambil memamerkan cinta lamanya. Untuk pertama kalinya, Orlin ingin membujuk bibinya untuk bercerai.
Ketika Carlo membawa Paula pergi untuk bersulang, Orlin berkata dengan suara pelan pada Kyla, "Bibi, aku tahu selama ini hidupmu di Keluarga Jerome nggak bahagia. Bagaimana kalau kamu ikut denganku ke ...."
"Kalian mau ke mana?"
Orlin mendongak, melihat Aaron yang berdiri di depan sambil menatapnya dengan ekspresi aneh.
Hatinya berdebar, tetapi dia mencoba tetap tenang. "Nggak ke mana-mana. Aku hanya berpikir untuk mengajak Bibi jalan-jalan saat liburan nanti."
Aaron tampaknya ingin mengatakan sesuatu, tetapi Julia datang dengan membawa segelas anggur, memotong pembicaraan mereka.
"Aaron, apa yang sedang kalian bicarakan?" tanya Julia.
Aaron menelan kembali kata-katanya. "Bukan apa-apa. Kenapa kamu kemari?"
"Paman Carlo memintaku memanggil Bibi Kyla. Ada sesuatu yang ingin dia bicarakan," ujar Julia.
Kyla yang tidak ingin memperburuk situasi di depan anak-anak muda, memberikan beberapa pesan pada Orlin sebelum pergi menemui Carlo.
Setelah Kyla pergi, Julia menatap Orlin sambil tersenyum. "Orlin, Paman Carlo baru saja memberitahuku kalau tanggal pertunanganku dan Aaron sudah ditentukan. Kamu pasti akan memberikan restumu, 'kan?"
Bulu mata Orlin bergetar. Dia berdiri sambil membawa gelas anggur, lalu memaksakan senyuman. "Kak, Kak Julia, aku berharap kalian bahagia."
Selesai mengatakan ini, dia menenggak habis anggur di gelasnya.
Dia tidak menyadari bahwa tatapan Aaron menjadi lebih dalam.
Senyum di wajah Julia tampak makin lebar. "Aaron, saat pernikahan kita nanti, bagaimana kalau Orlin menjadi pengiring pengantin kita?"
Genggaman Orlin pada gelasnya makin erat.
Dia mendengar suara lembut Aaron yang berujar, "Terserah padamu. Kamu bisa mengaturnya."
Orlin menahan ejekan pada dirinya sendiri, berniat meletakkan gelasnya, lalu meninggalkan tempat itu. Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi. Sebuah lampu gantung kristal di atas kepala mereka tiba-tiba jatuh.
Semuanya terjadi begitu cepat, membuat Orlin tidak sempat menghindar. Saat lampu gantung itu menghantam tubuhnya, dia melihat Aaron dengan cepat menarik Julia ke dalam pelukannya, melindunginya sambil melangkah mundur.
Rasa sakit yang luar biasa datang dari pergelangan tangan kanannya. Darah merah terus mengalir, membasahi gaunnya.
Namun, Aaron bahkan tidak meliriknya. Dia masih sibuk menenangkan Julia yang menangis ketakutan.
Insiden mendadak itu membuat semua orang panik. Kyla bergegas mendekat. Ketika dia melihat Orlin tergeletak dalam genangan darah, wajahnya langsung pucat ketakutan.
"Cepat panggil ambulans! Bawa Orlin ke rumah sakit!" Kyla mendorong lampu gantung yang menimpa Orlin, berlutut sambil menutupi pergelangan tangan Orlin yang terus mengeluarkan darah, terus menangis histeris.
Aaron akhirnya mengalihkan pandangan ke arah Orlin. Melihat tubuhnya penuh darah, dia hendak melangkah mendekat, tetapi Julia lebih dulu memeluknya erat.
"Aaron, kakiku terkilir. Sakit sekali," keluh Julia dengan suara lemah.
Kalimat itu membuat langkah Aaron terhenti. Keraguan di wajahnya hanya muncul sesaat sebelum dia membungkuk, mengangkat Julia ke dalam pelukannya, lalu memberi perintah kepada staf hotel di dekatnya.
"Siapkan mobil untuk membawanya ke rumah sakit."
Setelah itu, Aaron membawa Julia pergi dengan langkah cepat, tanpa sekali pun menoleh ke belakang.
Carlo hanya melirik Orlin yang terluka sebelum kembali menemani Paula menyambut tamu-tamu lainnya. Di tengah tatapan penuh kasihan serta ejekan dari para tamu, Kyla dengan tergesa-gesa membawa Orlin ke rumah sakit seorang diri.
Cedera Orlin sangat parah. Selain tulang lengannya retak, tendon di pergelangan tangan kanannya putus karena teriris tepi logam yang tajam. Setelah menjalani operasi selama dua jam, tendon tersebut berhasil disambungkan kembali.
Ketika Orlin dipindahkan ke ruang perawatan, Kyla duduk mengawasi di sisinya. Mengira dia telah tertidur, Kyla pun berjalan keluar ruangan dengan langkah pelan.
Namun, Orlin yang tampak tertidur ternyata membuka matanya kembali. Dia mendengar percakapan dari luar ruangan.
"Dokter, bagaimana kondisi keponakanku? Setelah pulih, apakah lukanya akan memengaruhi kemampuan menggambarnya?"
"Bu Kyla, aku sangat menyesal. Cedera di pergelangan tangan Nona Orlin terlalu parah. Meski kondisinya pulih dengan baik, kecil kemungkinan dia bisa melakukan pekerjaan yang membutuhkan ketelitian tinggi seperti menggambar. Tapi jangan kehilangan harapan, mungkin saja keajaiban terjadi di masa depan dengan rehabilitasi yang baik."
Air mata mengalir diam-diam dari sudut mata Orlin. Dia memejamkan mata, tetapi bayangan Aaron yang dengan sigap melindungi Julia terus terlintas di benaknya, bersamaan dengan perkataan dokter tadi.
Dia tahu bahwa mimpinya, bersama dengan wasiat terakhir ibunya, telah runtuh hari ini.
Dia tidak akan bisa pergi ke Negara Igris.
Malam itu, Orlin terjaga sepanjang malam.
Saat secercah cahaya pagi menerobos melalui jendela, samar-samar dia mendengar seseorang membuka pintu kamar. Dia mengira itu perawat yang datang untuk memeriksa keadaan, tetapi Orlin mendengar langkah kaki orang itu mendekat, lalu dia duduk di tepi tempat tidurnya.
Sebuah tangan lembut menyentuh wajahnya, menghapus jejak air mata dari sudut matanya.
Aroma dingin dan samar-samar itu jelas adalah aroma khas Aaron.
Orlin membuka matanya. Di bawah cahaya kamar yang temaram, Orlin menangkap emosi di mata Aaron yang tidak sempat dia sembunyikan.
Orlin ragu apakah dia salah lihat.
Dia seolah melihat penyesalan serta rasa sakit di mata Aaron.
Namun, di detik berikutnya, ekspresi Aaron kembali dingin. Dia mundur sambil berkata, "Kamu sudah bangun. Aku dengar dari Bibi Kyla kalau lukamu sangat parah. Untuk sementara, fokuslah memulihkan diri. Jangan pikirkan soal pergi ke Negara Igris."
Hati Orlin serasa tenggelam ke dasar. Dia menatap Aaron dengan tatapan tajam, serta suara yang bergetar, "Sejak kapan kamu tahu?"
"Beberapa hari lalu. Saat melewati sekolahmu, aku bertemu dengan gurumu. Dia mengatakan kalau kamu sudah mendaftar untuk belajar di luar negeri. Semua dokumenmu juga sudah selesai diurus. Kenapa kamu menyembunyikan keputusan sebesar ini dariku?"
Orlin langsung menyadari mengapa Aaron tampak aneh saat menatapnya di pesta tadi malam. Ternyata, dia sudah tahu kebohongan Orlin sejak lama.
"Jadi, kamu ingin menghentikan aku pergi ke Igris? Kamu sengaja nggak menyelamatkanku?" tanya Orlin sambil menatap Aaron dengan wajah pucat. Tangannya mencengkeram begitu kuat hingga hampir mengeluarkan darah.
Aaron mengerutkan kening. "Bagaimana bisa kamu berpikir seperti itu? Aku menyelamatkanmu atau nggak, itu nggak ada hubungannya dengan kepergianmu ke Igris. Julia memiliki mimpi untuk suatu hari nanti tampil di Aula Emas Weina. Tangannya sangat penting, dia nggak boleh terluka."
"Tangannya nggak boleh terluka, lalu bagaimana denganku? Bagaimana dengan mimpiku? Itu adalah wasiat ibuku, kamu tahu itu!" Orlin tidak lagi mampu menahan emosinya. Dia bertanya dengan suara gemetar.
"Orlin, tenanglah," kata Aaron sambil menatapnya seperti seorang anak kecil yang keras kepala. Matanya menunjukkan campuran rasa iba dan kesal. "Julia sudah memenangkan berbagai penghargaan internasional. Tapi kamu, mungkin kamu nggak memiliki bakat di bidang itu."
"Selain itu, aku nggak setuju kalau kamu menjadikan lukisan sebagai impian hanya karena alasan ibumu. Keluarga Jerome cukup kaya untuk membiayaimu. Kamu nggak perlu bekerja keras seperti itu."