Bab 5
Ketika kembali ke rumah, langit sudah gelap.
Orlin teringat bahwa karya yang akan dia gunakan untuk masuk ke universitas belum selesai, jadi dia berencana pergi ke ruang lukis untuk memeriksanya.
Baru saja sampai di pintu, dia melihat para pelayan sedang membersihkan serta menata ruangan di dalam.
Penyangga yang biasanya diletakkan di dekat jendela telah menghilang, digantikan oleh sebuah piano impor yang mahal.
Semua lukisan dan catnya lenyap, digantikan dengan tumpukan partitur musik serta barang-barang milik Julia.
"Di mana lukisan-lukisanku?" tanya Orlin pada pelayan itu dengan suara yang bergetar.
Lukisan-lukisan itu bukan hanya hasil kerja kerasnya, tetapi yang paling penting adalah, salah satu di antaranya merupakan karya terakhir ibunya sebelum meninggal.
Kedua orang tua Orlin mengalami kecelakaan mobil saat perjalanan pulang setelah pergi melukis di pedesaan.
Nenek Orlin percaya bahwa lukisan-lukisan itulah yang membawa sial, hingga menyebabkan kematian putranya. Karena itu, dia membakar semua karya ibunya.
Namun, Orlin berhasil menyelamatkan satu lukisan dengan berlari ke dalam api, meski tangannya terbakar.
Lukisan itu adalah satu-satunya peninggalan terakhir ibunya.
Orlin sangat menghargainya. Bahkan Aaron pun tidak pernah sembarangan menyentuhnya. Namun, sekarang lukisan itu sudah hilang.
Melihat Orlin yang menangis dengan panik, para pelayan tampak kebingungan, tidak tahu harus menjawab apa. Tiba-tiba, suara lain terdengar dari belakang.
"Orlin, kamu sudah pulang." Julia melangkah masuk dengan senyuman sambil memegang sebuah buku partitur musik. Saat melihat Orlin menangis, dia berpura-pura baru menyadari sesuatu, lalu berkata dengan nada menyesal, "Maaf, aku menggunakan ruang lukismu. Aaron bilang aku akan segera mengikuti kompetisi. Ruangan ini luas dan terang, sangat cocok untuk menjadi ruang latihan piano. Jadi dia menyuruhku pindah ke sini."
Orlin melangkah mendekat dengan cepat, lalu bertanya, "Di mana lukisan-lukisanku?"
"Apa maksudmu lukisan-lukisan itu?" Julia tersenyum manis ketika menjawab, "Aaron bilang semua itu nggak penting, jadi aku membuangnya. Aku menyuruh pelayan membuang semuanya."
Orlin membelalakkan mata tak percaya. Tubuhnya bergetar hebat.
Aaron tahu betapa pentingnya lukisan itu bagi Orlin. Namun, demi menyenangkan Julia, dia tega membuangnya!
"Orlin, apa kamu baik-baik saja?"
Orlin tiba-tiba mengangkat kepala, meraih tangan Julia yang mencoba menyentuhnya. Dengan mata merah, dia berteriak, "Kamu buang ke mana lukisan-lukisan itu? Kembalikan padaku!"
"Orlin, kamu menyakitiku." Julia mengerutkan kening, berpura-pura kesakitan. "Lukisan-lukisan itu sudah dibuang ke tempat sampah di luar. Mungkin sudah diangkut oleh petugas kebersihan ...."
Orlin mendorong Julia dengan keras, lalu segera berlari keluar.
Di luar, gerimis mulai turun. Orlin tidak berani membuang waktu. Satu per satu tempat sampah dia periksa. Akhirnya, dia menemukan lukisan-lukisan itu di dekat vila.
Namun, semua lukisan sudah rusak parah, penuh dengan noda minyak dan cat yang bercampur.
Terutama lukisan potret dirinya bersama Aaron. Wajahnya di lukisan itu dicoret dengan cat hitam, seperti ada seseorang yang sedang membalas dendam, membuatnya tidak bisa dikenali lagi.
Orlin tidak sempat merasa sedih. Dia berlutut di samping tempat sampah, memeriksa semuanya satu per satu, hingga akhirnya menemukan karya terakhir ibunya.
Untungnya, lukisan itu berada di bawah tumpukan lainnya sehingga hanya terkena sedikit noda.
Sambil memeluk peninggalan ibunya yang berhasil ditemukan, Orlin berjalan kembali di bawah hujan. Kesedihan dalam hatinya jauh melebihi rasa kacau dan basah kuyup di tubuhnya.
Saat melewati ruang lukis, dia melihat Aaron sedang memeluk Julia dengan penuh perhatian, menenangkan gadis itu dengan lembut.
Di sekeliling Julia, ada Carlo, Kyla, serta Paula.
Ketika Aaron mendongak, dia melihat Orlin, lalu dia berkata dengan nada dingin, "Kemarilah."
Dengan jari-jarinya yang mencengkeram bingkai lukisan, Orlin berjalan masuk dengan tubuh kaku.
Semua orang langsung mengarahkan pandangan pada dirinya.
Kyla yang melihat Orlin basah kuyup ingin mengatakan sesuatu, tetapi Aaron lebih dulu mengeluarkan suara penuh teguran.
"Aku yang menyuruh Julia pindah ke ruang lukis. Kalau kamu marah, luapkan saja padaku. Kenapa kamu harus melukai orang lain?"
"Jelas-jelas dia yang membuang lukisanku! Kamu tahu itu adalah peninggalan ibuku." Orlin menatap Aaron dengan mata memerah, tidak mau menyerah. Kemudian, dia lanjut bertanya, "Apakah itu juga idemu?"
Aaron tertegun sejenak, lalu berkata, "Julia nggak tahu apa-apa. Kamu nggak seharusnya melampiaskan kemarahanmu padanya. Segera minta maaf pada Julia, lalu aku akan melupakan semuanya."
"Aku nggak salah! Kenapa harus minta maaf?" Tubuh Orlin tampak gemetar hebat, memandang Aaron dengan penuh kekecewaan.
Wajah Aaron mulai berubah muram.
Paula langsung menghapus air mata dengan ekspresi penuh rasa sakit. "Carlo, baru saja kita mengumumkan rencana pernikahan kedua anak ini, tapi Julia sudah terluka dua kali. Orlin dan Kak Kyla sepertinya nggak menyambut kami. Kalau begitu, mungkin lebih baik aku dan Julia pindah saja."
"Omong kosong! Selama aku ada di sini, siapa yang berani mengusir kalian!" Carlo menarik tangan Paula dengan penuh rasa sayang, lalu berbalik menatap Kyla dengan tatapan tajam. "Lihat bagaimana kamu mendidik keponakanmu! Sungguh keras kepala dan nggak tahu kata menyesal! Kalau ada kejadian seperti ini lagi, kalian akan aku usir dari Keluarga Jerome! Sekarang juga, segera minta maaf pada Paula dan Julia, atau aku akan mencabut semua investasi di perusahaanmu!"
Kyla memandang suami yang telah menikah dengannya selama puluhan tahun itu. Wajahnya langsung berubah pucat pasi. Dia tahu suaminya selalu memihak Paula, tetapi dia tidak pernah menyangka Carlo akan menggunakan perusahaan sebagai ancaman demi wanita itu.
Pada saat itu, Kyla merasa semua usahanya untuk mempertahankan pernikahan ini terasa begitu konyol.
Ketika Orlin melihat wajah bibinya yang berubah pucat, hatinya dipenuhi rasa bersalah yang mendalam. Dia merasa dirinya sudah membuat bibinya menderita lagi.
"Sudahlah, Aaron, Paman Carlo. Aku yakin Orlin hanya terlalu emosional sesaat, dia nggak sengaja. Kalian maafkan saja dia, ya?" Julia yang melihat suasana sudah cukup panas, akhirnya maju menjadi penyelamat.
"Kamu memang anak yang bijaksana." Carlo memuji Julia, lalu kembali memelototi Kyla dengan marah. "Ikut denganku!"
Orlin ingin mengatakan sesuatu, tetapi Kyla hanya menepuk tangannya dengan lembut untuk menenangkannya, sebelum akhirnya mengikuti Carlo pergi.
Kini, hanya tinggal mereka bertiga di dalam ruangan.
"Orlin, lain kali jangan bertindak gegabah seperti ini lagi. Kalau sampai terjadi lagi, Kakak benar-benar akan marah," kata Julia dengan nada menggurui, seperti seorang yang lebih tua. Setelah itu, dia beralih memandang Aaron, lalu melanjutkan, "Aaron, aku sangat menyukai ruang piano ini. Tapi aroma bunga gardenia di luar jendela terlalu menyengat, aku nggak suka. Bisakah pohon itu ditebang?"
"Semua terserah padamu."
"Nggak boleh!"
Aaron dan Orlin berseru serentak.
Orlin menatap wajah dingin Aaron. Suaranya tercekat ketika berkata, "Kak, pohon itu adalah pohon yang kita tanam bersama waktu itu. Apa kamu lupa?"
"Itu hanya sebuah pohon, kenapa harus dipermasalahkan?" Aaron mengerutkan kening dengan ekspresi dingin. "Orlin, sejak kapan kamu jadi begitu nggak masuk akal?"
Orlin menatapnya dengan tatapan tak percaya, bibirnya bergetar, wajahnya memucat.
Pohon itu adalah pohon yang Aaron tanamkan sendiri untuknya saat Orlin berusia delapan tahun.
Pria itu dulu berkata, selama pohon itu ada di sini, rumah Orlin juga ada di sini.
Setiap kali bunga gardenia bermekaran, dia juga akan selalu ada di sana.
Aaron dan Orlin tidak akan terpisah, bersama selamanya.
Dia ... sudah melupakan semuanya.
Orlin tertawa pahit, rasa getir memenuhi hatinya. "Tapi Kak, itu adalah yang terakhir."
Sejak Julia pindah ke rumah Keluarga Jerome, semua yang pernah menjadi miliknya telah direnggut satu per satu.
Ayunan yang dulu dibangun oleh Aaron untuknya dibongkar, diganti dengan gazebo untuk Julia.
Rumah kaca berisi bunga gardenia yang dirawat dengan penuh perhatian telah diubah menjadi bunga lili, bunga favorit Julia.
Sekarang, bahkan kenangan terakhir mereka bersama akan dihancurkan.
Aaron menatapnya dengan tatapan dingin, tidak berkata apa-apa, seolah diam-diam menyetujui permintaan Julia.
Cahaya di mata Orlin padam sepenuhnya. Dia tersenyum sinis, lalu berbalik untuk berjalan keluar.
Dia memutuskan bahwa dia sendiri yang akan menebang pohon itu.