Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 4

Kemarin, setelah membuat janji dengan seorang teman, Orlin sudah bersiap untuk pergi pagi-pagi sekali. Orlin berdiri di tepi jalan, hendak memesan kendaraan lewat aplikasi. Tiba-tiba, seseorang menepuk bahunya dari belakang. "Orlin." Orlin menoleh, melihat Julia dengan senyum ceria sambil menggandeng lengan Aaron, berdiri di belakangnya. Untuk sesaat, pandangan Orlin bertemu dengan Aaron. Orlin tidak menghindar. Dengan tatapan tenang seperti air, dia memandang Aaron. Tidak ada lagi kehangatan yang dulu pernah ada di matanya. Dia hanya menyapa singkat dengan nada suara datar, lalu melanjutkan memesan kendaraan. Aaron merasa tidak nyaman dengan sikapnya yang begitu dingin. Ketika melihat Orlin yang pendiam, Aaron merasa dia telah banyak berubah. Aaron yang tidak bisa menahan diri, akhirnya bertanya, "Hari ini kamu nggak ada kelas di sekolah, 'kan? Mau ke mana pagi-pagi begini?" Ada kilatan keterkejutan di mata Orlin. Aaron ternyata mengetahui jadwal sekolahnya? Namun, Orlin tidak berani berpikir lebih jauh, hanya menjawab dengan suara pelan, "Aku ada janji dengan seorang teman." "Apa ...." Aaron mengernyitkan kening, seolah ingin bertanya lebih lanjut, tetapi Julia segera menarik lengan Aaron. "Orlin sudah dewasa, dia punya privasi sendiri. Kamu ini kakaknya, apa kamu mau mengatur dia seumur hidup?" kata Julia dengan nada manja. "Siapa tahu mungkin Orlin akan bertemu dengan pacarnya. Jangan tanya yang macam-macam, nanti Orlin jadi malu." Aaron melirik Orlin. Dia tidak membantah, hanya berdiri diam sambil menunduk, menatap layar ponselnya. Perasaan gusar muncul di hati Aaron. Dengan suara berat, dia berkata, "Mau pergi ke mana? Biar aku antar." Belum sempat Orlin menolak, Julia sudah menyela, "Aaron, bukankah kita sudah membuat janji temu dengan desainer untuk memilih gaun pesta tunangan kita? Kalau kita mengantar adikmu dulu, waktunya nggak akan cukup." Begitu Julia selesai bicara, Aaron langsung berkata kepada Orlin, "Kalau begitu, kamu bisa pesan mobil sendiri saja." Setelah mengatakan ini, dia membawa Julia masuk ke mobil tanpa menunggu jawaban Orlin, lalu pergi begitu saja. Orlin memandangi mobil yang makin menjauh, merasakan rasa perih yang tiba-tiba muncul di hidungnya, tetapi dia menahannya. Di kawasan vila ini, memang tidak mudah untuk memesan kendaraan. Setelah beberapa kali gagal memesan, Orlin akhirnya berjalan kaki keluar dari kompleks. Setelah berjalan cukup jauh, barulah dia berhasil mendapatkan kendaraan. Setelah menonton pameran bersama temannya, mereka mencari restoran terdekat untuk makan. Ketika Orlin memberi tahu bahwa dia akan melanjutkan studi ke luar negeri, bahkan mungkin akan menetap di sana, temannya yang bernama Cecil Harris itu tampak sangat terkejut. "Kenapa mendadak sekali? Apa kakakmu tahu? Dia setuju?" Orlin tidak tahu bagaimana menjelaskan hubungannya dengan Aaron sekarang. Dia hanya bisa berbohong dengan mengangguk. "Dia setuju. Bagaimanapun juga, kami nggak punya hubungan darah. Dia juga akan segera bertunangan. Nggak pantas kalau aku terus tinggal di sana," kata Orlin. Cecil memandangnya dengan ekspresi rumit, lalu bertanya dengan hati-hati, "Orlin, apa kamu benar-benar rela pergi ke luar negeri, meninggalkan kakakmu?" Orlin menggenggam sendoknya dengan erat, memaksakan sebuah senyuman. "Apa yang harus aku sesalkan? Aku sudah dewasa. Aku harus memulai kehidupan baru. Dia juga punya masa depan yang harus dijalani. Cepat atau lambat, kami akan berpisah." "Aku nggak menyangka kamu bisa benar-benar melepaskannya," kata Cecil dengan nada tak percaya. "Dulu kakakmu begitu baik padamu. Dia sampai menolak kesempatan masuk Universitas Alanta, lalu memilih berkuliah di kota ini hanya untuk bisa menjagamu agar tidak ditindas. Saat kamu diteror oleh seorang pria yang nggak bisa menerima penolakanmu, dia bahkan rela menerima hukuman hanya untuk menghajarnya. Ketika kamu tersesat saat wisata sekolah, dia dengan kaki yang digips tetap nekat naik ke gunung untuk mencarimu sambil membawa tongkat ...." Cecil, yang sudah berteman dengan Orlin sejak SMA, menyaksikan semua itu dengan mata kepalanya sendiri. Kenangan itu membuatnya hanya bisa menghela napas. "Bagaimana semuanya bisa berubah seperti ini?" Orlin tertegun sesaat, mengenang masa lalu. Kemudian, dia menundukkan kepala dengan tatapan muram. Cecil yang menyadari kesedihan Orlin, tidak berani menyebutkan tentang Aaron lagi. Jadi, dia segera mengganti topik pembicaraan. Setelah makan, mereka berencana kembali ke sekolah. Kebetulan, di perjalanan mereka melewati sebuah toko kue terkenal di dekat sekolah. Orlin sangat menyukai kue melati dari toko ini. Namun, karena tokonya sangat ramai, mereka hanya membuat 200 porsi setiap harinya. Meski begitu, setiap kali Orlin ingin memakannya, Aaron selalu meluangkan waktu mengantri untuk membelikannya, tak peduli seberapa sibuk dirinya. Cecil menyadari tatapan Orlin, lalu menariknya untuk ikut mengantri. "Pemilik toko ini sudah tua dan mau pensiun. Hari ini adalah hari terakhir toko ini buka. Setelah ini, kita nggak akan bisa makan lagi," ucap Cecil dengan nada menyesal. Orlin tertegun. Saat dia mengangkat kepala, pandangannya tiba-tiba bertemu dengan seorang pria di depannya. Itu adalah Aaron. Bagaimana mungkin dia ada di sini? Tatapan Orlin turun, melihat beberapa bungkus kue di tangan Aaron, termasuk kue melati kesukaannya. Aaron jelas juga tidak menyangka akan bertemu dengan Orlin di tempat ini. Dia melirik Cecil yang berdiri di depannya, lalu bertanya, "Mau beli sesuatu?" "Ya." Orlin mengangguk pelan. Aaron baru hendak bicara ketika suara pemilik toko tiba-tiba terdengar dari depan. "Kue melatinya sudah terjual habis. Silakan mencoba kue lainnya ...." Cecil yang tidak menyadari kehadiran Aaron langsung menoleh pada Orlin, lalu berkata, "Sayang sekali, kamu nggak bisa makan kue kesukaanmu ...." Namun, kalimatnya terputus saat dia melihat Aaron dengan kue di tangannya. Matanya langsung berbinar. "Kak Aaron, apa kamu tahu toko ini mau tutup dan sengaja datang membelikan kue ini untuk Orlin?" Aaron melirik Orlin, hendak menjawab ketika suara lain menyela. "Aaron, apa kamu sudah selesai membelinya?" Julia berjalan mendekat, dengan manja menggandeng lengan Aaron. Seolah baru menyadari keberadaan Orlin, dia tersenyum, lalu berkata, "Orlin, kebetulan sekali. Apa kamu juga mau membeli kue? Kue melati di toko ini memang terkenal. Aaron mendengar kalau aku belum pernah mencoba, jadi dia sengaja mampir untuk membelikanku. Tak disangka kami bertemu denganmu di sini." Cecil menatap Julia dengan tatapan bingung. Dia menggenggam tangan Orlin tanpa suara, berusaha memberinya sedikit kenyamanan. Namun, yang dia rasakan hanyalah dingin. Orlin mengerucutkan bibirnya, tidak mengatakan apa-apa. Julia tidak peduli. Dia dengan manja bertanya pada Aaron, "Apa kamu sudah membeli kue melatinya?" "Kalau kamu mau, tentu aku pasti akan membelinya," jawab Aaron dengan senyum penuh kasih. Kemudian, dia mengambil kue melati dari bungkusannya, menyerahkannya pada Julia. Julia tanpa rasa bersalah melirik Orlin dengan pandangan penuh kemenangan, lalu berkata, "Aku melihat antriannya panjang sekali. Bagaimana kalau kita berbagi kue ini dengan Orlin? Lagi pula aku juga nggak akan sanggup makan semuanya." "Baiklah." Aaron tersenyum menyetujui. Namun, dia sama sekali tidak melirik Orlin, hanya dengan asal menyerahkan satu bungkus kue kepadanya. Orlin melihat tulisan di bungkus itu yang bertuliskan kue kacang. Senyum pahit muncul di sudut bibirnya. Dia memiliki alergi berat terhadap kacang. Dulu, dia bahkan sampai dirawat di rumah sakit karenanya. Sejak saat itu, Aaron melarang makanan itu ada di rumah mereka. Namun, sekarang Aaron sudah lupa. Atau lebih tepatnya, dia tidak peduli lagi. Untungnya, Orlin sudah memutuskan untuk melepaskan Aaron. Mulai sekarang, dia hanya akan menganggapnya sebagai seorang Kakak. Pasangan itu dengan terang-terangan memamerkan kemesraan mereka. Dia melihat Aaron memberikan hal-hal yang dulu hanya untuknya kepada orang lain, bahkan melupakan alerginya. Orlin merasa hal itu tidak lagi menyakitkan. Begitu pula dengan provokasi Julia. Orlin tidak akan lagi memedulikannya, apa lagi terjebak di dalamnya. Orlin mengangkat kepala, menatap Aaron dengan tatapan tenang, lalu menolak dengan suara acuh tak acuh, "Nggak perlu, Kak. Kalau nggak ada hal lainnya, kami akan pergi dulu." Kemudian, dia menarik Cecil, pergi tanpa sedikit pun menoleh ke belakang.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.