Bab 3
"Maaf, Bibi. Ini semua salahku sampai membuatmu terlibat." Orlin menundukkan kepala dengan suasana hati yang sangat tertekan.
Kyla dengan hati-hati mengoleskan salep untuk luka bakar di tangan Orlin. Ketika melihat keponakannya yang merasa bersalah, dia hanya bisa menghela napas. "Ini karena Bibi yang nggak berdaya, sampai kamu harus menanggung semua ini."
Dulu, Kyla dan Carlo pernah menjalani kehidupan yang harmonis dan penuh kasih.
Kyla berpikir Carlo benar-benar mencintainya. Hingga suatu hari, kakak dan kakak iparnya meninggal dunia. Tidak ada lagi yang bisa diandalkan dari pihak keluarganya. Selain itu, perusahaan yang mereka dirikan pun menghadapi masalah besar. Pada saat itu, perlakuan Carlo terhadapnya mulai berubah dingin.
Demi melindungi perusahaan peninggalan kakaknya dan membesarkan Orlin, Kyla hanya bisa menahan semuanya, berusaha menjaga keharmonisan serta kedamaian di Keluarga Jerome.
Hingga empat tahun lalu, Carlo membawa Paula dan putrinya ke rumah ini.
Melihat wajah Paula yang mirip dengannya, Kyla akhirnya sadar. Carlo menikahinya hanya karena dia mirip dengan cinta pertamanya.
Sejak saat kedatangan Paula itu, hidupnya di Keluarga Jerome jadi makin penuh penderitaan.
Kyla menekan perasaan getirnya, lalu dengan lembut membantu Orlin membalut lukanya. "Tanganmu terluka, apa kamu masih bisa menyelesaikan lukisanmu?"
Orlin mengangguk, memaksakan senyuman, lalu membalas, "Bibi, Bibi tenang saja. Aku sudah hampir menyelesaikannya. Menjadi pelukis terkenal dan mengadakan pameran lukisan di seluruh negeri adalah impian ibuku. Aku pasti akan mewujudkannya."
"Baguslah kalau begitu." Kyla tampak ragu sejenak sebelum bertanya, "Apa kamu sudah memberi tahu Aaron kalau kamu akan pergi ke luar negeri?"
Ekspresi Orlin membeku. Dia menundukkan kepala, tak mengeluarkan suara sedikit pun.
Kyla membereskan obat-obatan, lalu berdiri sambil menepuk lembut bahu Orlin. "Bagaimanapun juga, dia yang sudah merawatmu selama bertahun-tahun ini. Sebaiknya kamu mencari waktu untuk memberitahunya."
"Baiklah," jawab Orlin dengan suara pelan.
Kyla pun pergi membawa kotak obat.
Orlin mengganti pakaian dengan yang bersih. Begitu dia membuka pintu kamar, dia langsung melihat Aaron dan Julia yang sedang bersiap masuk ke kamar mereka.
Ketika tatapan Aaron tertuju pada perban di tangan Orlin, langkahnya terhenti.
"Apa kamu terluka?" tanya Aaron yang secara refleks mendekat, ingin meraih tangan Orlin untuk memeriksanya.
Namun, Orlin dengan cepat menyembunyikan tangan itu di belakang punggungnya, menghindari sentuhan Aaron.
Keduanya tertegun sejenak.
Orlin tidak berani menatap wajah Aaron. Dia berkata dengan suara pelan, "Aku baik-baik saja."
Julia, yang tangannya juga baru saja diperban, memutar bola matanya sebelum berkata dengan nada terkejut, "Orlin, kamu nggak sedang mencoba meniruku untuk menarik perhatian kakakmu, 'kan?"
Wajah Aaron langsung berubah muram. Dia menatap Orlin dengan pandangan yang penuh kekecewaan.
Mungkin karena terlalu sering dikecewakan, Orlin mulai merasa kebal terhadap rasa sakit di hatinya. Dia tidak menjelaskan apa-apa, tidak ingin lagi berusaha menjelaskan.
Bagaimanapun juga, Aaron tidak akan percaya padanya.
Orlin menahan rasa perih di dadanya, mengangkat kepala untuk menatap Aaron, lalu berujar, "Kak, aku mau pindah ...."
Namun, sebelum dia selesai bicara, Julia tiba-tiba melangkah maju, menggenggam lengan Aaron sambil berkata manja, "Aaron, aku ingin lebih dekat denganmu. Apa boleh aku pindah ke lantai atas?"
Sejak pindah ke vila ini, Orlin dan Aaron tinggal di lantai tiga. Kamar Orlin adalah ruangan yang dirancang dan didekorasi langsung oleh Aaron. Kamar itu adalah yang terbesar, serta memiliki pencahayaan terbaik di seluruh vila.
Kamar Aaron berada tepat di seberang kamarnya. Pilihan ini sengaja dibuat Aaron agar pria itu lebih mudah merawat Orlin.
Namun, sekarang Orlin sadar bahwa sudah saatnya dia menyerahkan kamar itu kepada calon menantu di keluarga ini.
"Kamar yang tersisa terlalu kecil. Aku khawatir kamu akan merasa nggak nyaman tinggal di sana," kata Aaron sambil mengernyitkan kening.
Apakah kata-kata ini sengaja ditujukan padanya? Apakah ini sebuah isyarat agar Orlin tahu diri, segera menyerahkan kamar itu untuk tunangannya?
Orlin tak bisa menahan senyum getirnya. Dia tertawa kecil, menyindir dirinya sendiri dengan penuh kesedihan.
"Kak, aku ingin pindah ke lantai bawah," ujar Orlin pada akhirnya.
Keduanya tidak menyangka Orlin akan tiba-tiba mengatakan hal itu. Julia menunjukkan sedikit kegembiraan di matanya, tetapi dia langsung melihat Aaron mengernyitkan kening lebih dalam. Takut Aaron akan menolak, Julia buru-buru menyela, "Benarkah, Orlin? Kalau begitu, bolehkah aku tinggal di kamarmu?"
"Ya," jawab Orlin sambil mengangguk.
Dia hanyalah anak angkat yang tinggal menumpang di Keluarga Jerome. Apa haknya untuk ikut campur soal pembagian kamar?
Aaron memandang Orlin yang terlihat tenang, merasa ada sedikit ketidaknyamanan di hatinya. Dia maju selangkah, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi Julia langsung menarik tangannya.
"Aaron, sebagai kakak, kamu ini sudah keterlaluan. Orlin sudah dewasa, sementara kita akan segera bertunangan. Tinggal sedekat ini tentu saja membuatnya merasa canggung dan nggak nyaman. Kamu seharusnya sejak dulu berpikir untuk memindahkan Orlin ke kamar lainnya," kata Julia dengan nada manja. Kemudian, dia menatap Orlin sambil tersenyum, lalu menambahkan, "Bukankah kamu juga berpikir begitu, Orlin?"
Orlin yang melihat ekspresi puas di wajah Julia, perlahan mengangguk dengan lesu.
Aaron meliriknya dengan wajah dingin. "Terserah kamu."
Setelah mengatakan ini, pria itu langsung masuk ke kamarnya.
Orlin menahan emosinya, bersiap untuk pergi, tetapi Julia menghentikannya di depan pintu.
"Orlin, kamu benar-benar baik sekali karena mau pindah kamar. Awalnya, Aaron masih bingung bagaimana cara membicarakan hal ini denganmu. Bagaimanapun juga, aku dan Aaron kadang-kadang juga membutuhkan waktu bersama seperti pasangan lainnya. Kalau kamu tinggal di sebelah, rasanya sangat nggak nyaman."
Julia mengatakan ini dengan wajah malu-malu, tetapi matanya penuh dengan tantangan dan kebanggaan.
Orlin tiba-tiba merasa sangat lelah. Ada sesuatu dalam dirinya yang terasa kosong, seolah-olah semua emosinya telah diambil pergi, menyisakan kehampaan.
...
Orlin masih memiliki waktu setengah tahun sebelum lulus. Semalam, setelah menyetujui permintaan bibinya, Kyla pagi-pagi sudah mengurus keperluan administratif dengan pihak sekolah.
Prosesnya berjalan lancar ketika Orlin tiba di sekolah.
Sebenarnya, masih ada waktu untuk mengurus semua ini. Orlin bahkan sempat ingin bertemu dengan seorang teman. Namun, temannya sedang sibuk hari itu, jadi mereka sepakat untuk bertemu besok.
Ketika kembali ke rumah, Orlin melihat para pelayan Keluarga Jerome sibuk memindahkan barang-barang. Dia langsung mengenali barang-barang itu sebagai miliknya.
Ketika berjalan ke depan pintu kamar, Orlin melihat pintu kamarnya terbuka lebar. Kondisi di dalam berantakan, sementara Julia dengan gaya seorang nyonya rumah sedang memerintah para pelayan agar mempercepat pekerjaannya.
Seorang pelayan yang membawa barang-barang itu menoleh, merasa terkejut ketika melihat Orlin yang sedang berdiri di ambang pintu. Raut wajahnya menunjukkan kepanikan.
"Nona ...."
Baru pada saat inilah Julia menyadari keberadaan Orlin. Dia melambaikan tangan kepada pelayan, memberi isyarat agar mereka melanjutkan pekerjaan, lalu berjalan mendekati Orlin sambil tersenyum. Dia menarik lengan Orlin dengan akrab, lalu berkata, "Orlin, kamu sudah pulang. Aku mulai memindahkan barang-barangmu tanpa izin. Kamu nggak marah, 'kan?"
Orlin tidak menggubrisnya. Dia hanya menatap pelayan yang buru-buru melanjutkan pekerjaannya setelah menerima isyarat dari Julia. Perasaan pahit menyelinap ke hatinya.
Dulu, Aaron sangat memanjakannya. Bahkan Carlo pun tidak boleh sembarangan masuk ke kamarnya tanpa izinnya. Namun, sekarang Julia bahkan tidak perlu memberitahunya untuk bisa dengan bebas memindahkan barang-barangnya.
Aaron benar-benar memberikan semua perhatiannya kepada Julia.
"Ya. Bagaimanapun juga, aku harus pindah cepat atau lambat," kata Orlin dengan suara pelan sambil menundukkan pandangan.
Julia menatapnya dengan senyum penuh kepuasan. Nada bicaranya setengah mengeluh, tetapi terdengar dipenuhi kebanggaan, "Ini semua salah Aaron. Aku sudah bilang padanya kalau nggak perlu terburu-buru memindahkanmu, tapi dia tetap bersikeras. Katanya, dia ingin kalau hal pertama yang dilihatnya setiap pagi ketika bangun tidur adalah aku. Kamu tahu, dia sama sekali nggak memikirkan perasaanmu, padahal kamu adalah adiknya. Benar-benar nggak perhatian, ya?"
Itu karena semua perhatiannya sudah diberikan padamu.
Ternyata, dia bahkan tidak bisa menunggu sehari pun.
Memikirkan hal ini, Orlin hanya bisa tersenyum pahit pada dirinya sendiri.
Dia melepaskan tangan Julia tanpa berkata apa-apa, lalu berjalan menuruni tangga.
Barang-barang yang telah dipindahkan semuanya ditumpuk sembarangan di ujung koridor lantai satu, di dalam kamar kecil dengan pencahayaan yang buruk. Orlin bahkan tidak ingin lagi menduga siapa yang memutuskan agar dia tinggal di sana. Bagaimanapun juga, dia akan segera pergi.
Orlin membereskan barang-barangnya sendiri, memisahkan semua hadiah dari Aaron selama bertahun-tahun ini, lalu memindahkannya ke gudang di sebelah.
Setelah dia pergi nanti, bibinya akan mengembalikan semua itu kepada Aaron.
Orlin tidak akan membawa satu pun barang miliknya, sama seperti dia dan Aaron yang tidak akan memiliki masa depan bersama.