Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 7 Maukah Kau Berbagi Tempat Tidur Denganku?

"Tidak masalah." Sally melambai-lambaikan tangan menandakan tidak keberatan kepada Ayah-anak itu yang mulai meninggalkan apartemennya. Kini rumahnya kosong dalam sekejap mata. Untuk sementara, pikirannya masih berkecamuk tentang pria itu dan anaknya. Dia segera menepuk kepalanya dan bertanya pada diri sendiri ada apa sebenarnya dengan dirinya. Xander hanyalah seorang anak yang dia kenal kurang dari sehari. Tapi kenapa dia begitu enggan berpisah dengannya? Dia pikir itu pasti karena Xander sangat menggemaskan. ... Malam telah tiba dan melarut. Maybach yang menawan meninggalkan jejak di tengah gemerlapnya lampu jalan. Suasana di dalam mobil sangat hening. Xander yang merajuk memalingkan muka, bahkan malas untuk melihat ayahnya. Sementara Farrel mencubit-cubit kecil celah di antara dahinya. Kepalanya sakit. Dia juga tidak berniat untuk menenangkan putranya. Keluarganya telah salah memanjakan Xander, akibatnya temperamennya sangat susah dikendalikan. Sudah waktunya ada seseorang yang bisa membantu menangani temperamennya seperti ini. Mobil berhenti di depan pintu masuk rumah mereka. Anak itu langsung menyelinap keluar dari mobil dan berlari masuk begitu pintu terbuka. Dia bahkan tidak menanggapi salam para pelayan dan Asisten rumah saat dia berlari langsung ke kamarnya. Dia pun langsung menutup pintu kamarnya. Tiba-tiba terdengar suara keras benda-benda terjatuh. Bahkan ada suara kaca pecah. Mendengar suara itu dari luar, Asisten rumah khawatir apa yang terjadi dengan Xander. Dia terpogoh-pogoh mencari Farrel untuk mengecek anak itu. "Tuan, apa yang terjadi dengan Tuan Kecil? Dia mengamuk di dalam kamarnya. Aku harap dia tidak sedang melukai dirinya sendiri." "Abaikan saja dia", kata Farrel. Namun Asisten rumah tidak tega karena Pangeran Kecil adalah anak kesayangan Tuan dan Nyonya. Pasti akan ada masalah jika dia terluka. Jika terjadi apa-apa dengan anak itu, sudah pasti Tuan Muda Farrel akan menyesal dan merasakan menderita. "Tuan, aku rasa kau harus melihatnya. Tuan Kecil masih muda. Itu normal baginya untuk tantrum. Aku yakin dia akan mendengarkanmu jika Tuan menenangkannya dengan baik." Farrel mencubit dahinya. Dia tidak punya pilihan selain mengetuk pintu putranya. "Xander, berapa lama kau akan terus begini?" Anak itu terus mengabaikannya. Suara benda-benda yang dihempaskannya ke lantai terus berlanjut, kemudian suara isak tangis terdengar. Baik pelayan maupun Farrel mulai panik. Farrel menendang pintu dengan sergah hingga pintu itu sedikit terbuka. Sesaat anak itu sudah terkapar di lantai dengan luka di jarinya yang masih mengeluarkan darah. Pelayan itu berubah pucat karena ketakutan. Dia segera berteriak memanggil para pelayan lainnya. "Cepat! Ambilkan kotak P3K!" Farrel melangkahi puing-puing di lantai sekitar tiga langkah dan menggendong Xander. Baik kemarahan dan ketidakberdayaan tercermin di matanya. "Bahagia sekarang?" Xander mengangkat kepalanya. "Aku ingin bertemu Bibi Sally." Farrel berkata, "Tidak, sudah terlambat sekarang." Xander bersikukuh, melawan cengkeraman ayahnya. "Kalau begitu aku tidak akan membalut lukaku. Lepaskan aku! Aku sangat membencimu, ayah." Kepala Farrel semakin sakit. Dia terus meredam amarahnya dan berkata, "Kenapa kau bisa menyukainya? Bukankah kau baru saja mengenalnya kurang dari sehari!" "Aku hanya menyukainya. Dia seperti seorang Ibu bagiku” Ketika dia menyampaikan ini dengan nada sedih, pelupuk matanya memerah. Farrel termenung. Seluruh amarahnya seketika mereda. Selama ini dia mengira bahwa Xander tidak seperti anak-anak lain, yang tidak ingin mencari ibunya. Kendati, Madam Jahn pun telah mencari beberapa wanita muda dari keluarga yang cukup terpandang dan kaya untuk menjadi ibunya di masa lalu, dengan niat agar Xander memiliki keluarga yang layak, namun dia tidak pernah tertarik pada salah satu dari mereka. Sebaliknya, ia mengira wanita yang dikenalnya kurang dari 24 jam itu terasa seperti ibunya. Emosi Farrel tak karuan. Dia bahkan belum sempat untuk mengenal dan memahami wanita itu lebih dalam. "Perban dulu lukamu. Kita bisa bicarakan nanti tentang itu." "Kita akan pergi ke tempat Bibi Sally setelah kita membalutnya," Xander bersikeras. "Sudah larut sekarang." Farrel mencoba membujuknya. Xander mulai menangis lagi, air mata mulai membasahi wajahnya. "Aku tidak ingin ayah lagi. Ayah pergi saja." Pelayan rumah itu sangat khawatir. Dia segera berkata, "Tuan Muda, tolong biarkan dia melakukan apa yang dia inginkan. Jika kita tidak membalut luka sekarang, darahnya akan terus mengalir." Farrel menganggap kata-katanya itu berlebihan. Bagaimanapun, itu hanya luka sayatan. Farrel mengatupkan giginya, berpikir ragu-ragu untuk waktu yang lama. Pada akhirnya, dia tidak punya pilihan selain menyerah. "Jangan menangis lagi. Setelah kami membalutmu, aku akan membawamu ke sana." Xander berhenti menangis begitu dia mendengar apa yang dikatakan ayahnya, meskipun dia masih menangis tersedak-sedak. Begitu lukanya dibalut, Farrel membawa Xander ke mobil dan meninggalkan rumah tanpa berkata apapun. ... Sementara itu, Sally baru saja selesai mandi namun bel pintu sekali lagi berbunyi. Bingung, dia pergi untuk membuka pintu dan melihat seorang pria dan seorang anak berdiri di luar. "..." Farrel memasuki apartemen, membawa Xander bersamanya. Dia langsung saja ke intinya. "Nona Sally, jika tidak ada masalah, kami mungkin harus mengganggumu malam ini. Xander bersikeras untuk bertemu denganmu." Sally sangat gembira. Dia segera meraih Xander tanpa rasa keberatan. "Tidak masalah sama sekali." Farrel tersenyum. "Senang mendengarnya," dia lantas duduk di sofa seorang diri. Sally menatapnya dengan sedikit bingung. ‘Apakah dia ... tidak berencana untuk pergi?’ ‘Bukankah hanya Xander yang akan tinggal di sini bersamaku?’ "Tuan Jahn, kau…" "Ya?" Farrel menggunakan ekspresi yang lugas. "Karena kau tidak punya kamar cadangan, aku akan tidur di sofa." Sally semakin salah tingkah. ‘Apa maksudnya, tidur di sofa?’ ‘Apakah dia berencana bermalam di sini?’ Farrel bisa dengan jelas melihat perubahan ekspresinya yang sepertinya tidak terlalu senang akan keberadaan dia di apartemennya. Ini sangat bertolak belakang dengan kenyataan bahwa banyak wanita di Kota Jin yang sangat ingin merasakan di posisi Sally dan menjadi bagian keluarga Jahn. Ini pertama kalinya bagi Farrel mendapatkan reaksi seperti itu dan ini menjadi hal yang cukup menarik baginya. Farrel tidak mengungkapkan isi kepalanya. Dia menatapnya dengan rasa penasaran dan bertanya, " Ada masalah?" "Oh, tidak ada. Hehe… Hanya saja sofaku agak kecil. Aku yakin kau akan merasa sangat tidak nyaman, jadi mungkin kau bisa pulang dulu dan mempercayakan Xander padaku. Kau bisa menjemputnya lagi besok." ‘Dia tidak punya alasan untuk tinggal di sini!’ Bagaimanapun, dia adalah seorang wanita yang belum menikah. Jika seseorang mengetahui bahwa dia menghabiskan malam dengan pria tak dikenal, dia bisa lupakan saja untuk pernah menikah. Farrel terkekeh. "Aku bukannya bilang tidak nyaman, tapi aku akan sangat senang jika kau bisa berbagi setengah dari tempat tidurmu denganku."

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.