Bab 19
Ucapan Cindy membuat Adrian yang biasanya kalem terbengong sejenak.
Seolah-olah tidak memahami maksud ucapan Cindy.
Bukankah sedang membicarakan masalah tukar kamar?
Mengapa Cindy mau pindah keluar?
Sovian dan yang lain juga tercengang. Mereka merasa Cindy terlalu membesarkan masalah.
"Apa perlu begini?"
Itu bukan masalah besar.
Andri juga bersikap acuh tak acuh. "Kamu sudah bukan anak kecil, taktik lari dari rumah tidak ada gunanya di rumah Keluarga Kusnadi."
Andri juga merasa Cindy hanya sekadar berkata. Berbeda dengan Keluarga Gunawan, Keluarga Kusnadi adalah konglomerat terkenal di Kota Horia. Andri tidak percaya Cindy bersedia pergi.
Linda berpura-pura membujuk, "Cindy, kamu memang salah. Kak Adrian hanya tegur kamu, kenapa kamu lari dari rumah? Kamu terlalu emosian."
Baru pada saat ini, Adrian samar-samar menyadari ada yang tidak beres.
Adrian telah melihat sikap Sovian pada Cindy kemarin. Hanya saja, Adrian mengira itu karena Sovian belum bisa menerima seorang kakak yang muncul tiba-tiba. Akan tetapi, dari sikap Andri, Jeremy, bahkan Linda, sekarang sikap mereka tidak terlalu ramah pada Cindy.
Mereka sudah begitu di depannya, bagaimana ketika dia tidak di sana?
"Cindy, kamu ...."
Adrian mengernyit dan ingin bertanya, tetapi Cindy tidak ingin mendengar lebih lanjut.
Cindy berbalik badan dan memanggil ke dalam kamar. Tak lama kemudian, rubah yang putih dan gemuk melompat ke arah Cindy.
Cindy memeluk rubah itu, lalu mengambil tas yang dia bawa dari rumah sewaan. Seperti saat datang, Cindy langsung menuruni tangga.
Baru pada saat itu, Adrian sadar dirinya melakukan kesalahan. Adrian buru-buru mengulurkan tangan untuk menghentikan Cindy.
"Cindy, katakan saja kalau kamu merasa keberatan. Jangan ...."
Jangan terbawa emosi.
Tatapan mata Cindy tenang tak beriak saat menatap Adrian.
"Aku tidak keberatan."
Cindy hanya menyerah.
Selama ini, Cindy tahu dirinya tidak berjodoh dengan kekeluargaan.
Cindy tidak berani berharap apa yang tidak pernah diperoleh di rumah Keluarga Gunawan dalam delapan belas tahun sebelumnya akan diperoleh di rumah Keluarga Kusnadi.
Mungkin Henri benar-benar menerimanya, tetapi rumah Keluarga Kusnadi bukan rumah Henri seorang diri.
Jika tidak bisa berbaur, tidak perlu berbaur.
Cindy akhirnya sudah terbebas dari belenggu Keluarga Gunawan. Mulai sekarang, Cindy ingin hidup dengan leluasa.
Cindy yang memeluk rubah berjalan melewati Adrian, langsung pergi tanpa menoleh ke belakang.
"Kamu ... sudah bikin masalah langsung pergi? Dasar tidak bertanggung jawab!"
Melihat Cindy benar-benar pergi, Sovian menggerutu dengan suara kecil. Detik berikutnya, Calvin yang berdiri di samping menepuk kepala Sovian.
"Apa urusanmu? Cerewet terus setiap hari, diam kamu!"
Sovian pun diam setelah dipukul oleh ayahnya.
Henri yang diam dari tadi bergegas menyusul ke bawah.
Cindy berpikir Henri akan menahannya, tapi tidak disangka Henri malah meminta kepala pengurus menyiapkan mobil untuk mengantarnya.
Saat menatap Cindy, kelembutan khas Henri mewarnai wajah tampan Henri.
Cindy kebingungan.
"Kamu baru pulang. Kalau kamu terus mengalah, kamu hanya akan menjadi sasaran empuk di mata mereka. Mereka akan lebih menjadi-jadi. Sebaliknya, kalau kamu bersikap tegas dari awal seperti sekarang, mereka akan waswas."
Henri sangat senang.
Cindy tidak bisa berkata-kata.
Ternyata, Henri mengira dia mengatakan mau pindah keluar hanya untuk menegaskan sikap.
Namun, dia benar-benar mau pindah keluar.
Cindy membuka mulut dan ingin menjelaskan. "Aku bukan ...."
Namun, disela oleh Henri yang berkata dengan suara lembut.
"Kakak punya apartemen di daerah Benangin, kamu bisa tinggal di sana. Dalam dua hari ini, Kakak akan suruh asisten rumah tangga ke sana setiap hari untuk bersih-bersih rumah dan masak. Kamu tidak perlu khawatir."
Sambil berkata, Henri memicingkan mata. "Untuk masalah hari ini, Kakak pasti akan memberimu pertanggungjawaban."
Ketika bertatapan dengan mata Henri yang serius, Cindy tidak bisa berkata-kata.
Jika ada standar untuk kakak laki-laki, seharusnya seperti Henri.
Cindy menyukai kakak ini.
Saat Cindy menundukkan kepala, sebuah tangan membelai kepalanya. Gerakan yang pelan itu membawakan kehangatan yang menenangkan.
"Kamu adikku. Kalau mereka tidak sadar, Kakak akan jernihkan dan luruskan kepala mereka sampai mereka sadar."
Saat berbicara, senyuman lembut yang khas tersungging di bibir Henri, tetapi matanya menyiratkan hawa dingin yang menakutkan.
Cindy seolah-olah dapat melihat Henri tersenyum seraya meluruskan kepala saudara-saudara itu satu per satu.
Cindy menelan air liur, lalu menyahut, "Oke."
Cindy lumayan ingin melihat adegan itu.
Setelah berpikir sejenak, Cindy memasukkan Indah ke dalam mobil. Lalu, Cindy mengeluarkan dua kantong keberuntungan dari dalam tas dan memberikannya pada Henri.
"Ini jimat pelindung yang kuukir, awalnya mau kasih Kakak dan dia."
Dia yang dimaksud adalah Adrian.
Namun, karena situasi tadi, Cindy tidak ingin memberikannya secara langsung. Jadi, Cindy menitipkannya kepada Henri.
Mata Henri yang memesona berbinar ketika mendengar itu adalah buatan Cindy. Henri tersenyum seraya mengambil kantong keberuntungan. "Akan Kakak bawa setiap saat."
Cindy mengangguk dan langsung masuk ke mobil.
Henri berdiri di tempat sembari melihat mobil itu melaju pergi. Sesaat kemudian, Henri berbalik badan. Senyuman di wajah Henri digantikan oleh hawa dingin.
Adrian dan yang lain sedang menunggu di dalam ruang tamu vila. Melihat Henri masuk sendiri, mereka tahu bahwa Henri gagal meminta Cindy untuk tinggal.
Wajah Adrian tampak sedikit suram. "Cindy tidak mau tinggal?"
Alih-alih menjawab, Henri menghampiri Adrian dan berkata, "Ayah, terkait keseluruhan masalah hari ini, kurasa aku harus ceritakan secara detail padamu."
Entah mengapa, nada bicara Henri yang tenang membuat Sovian dan yang lain merinding pada saat bersamaan.
...
Di dalam mobil, Cindy tidak melirik rumah Keluarga Kusnadi di belakangnya. Lalu, Cindy mengeluarkan selembar kertas jimat dari dalam tas.
Cindy tidak menyangka identitasnya akan terungkap dengan secepat itu. Akan tetapi, jika hanya karena apa yang dia katakan saat berkunjung ke sana, Keluarga Sany tidak akan langsung menelepon Adrian tanpa menghiraukan hubungan antar kedua keluarga.
Reaksi Keluarga Sany sangat besar.
Sepertinya telah terjadi sesuatu pada Liliana.